Oleh Akhmad
Sahal*
....
netralisasi dan depolitisasi, dengan kata lain liberalisme, itulah yang bagi
Schmitt menjadi penyebab utama kebekuan dan “kenormalan” modernitas. Dan
kenormalan ini perlu didobrak dengan cara memberi peluang bagi munculnya the
sovereign yang bisa mengambil keputusan pada/tentang state of exception. Memakai
ungkapannya sendiri, kita bisa mengatakan bahwa Schmitt mendambakan suatu dunia
yang tidak lagi dikuasai oleh deisme yang tidak mengenal mukjizat atau
intervensi dari luar sejarah.
Membaca esai Walter Benjamin “Theses on
the Philosophy of History (1940),” saya langsung disergap oleh pertanyaan: ke
manakah kesetiaan filosof Yahudi Jerman ini pada akhirnya dilekatkan: ke
materialisme historis atau teologi; dan siapakah tokoh sentral baginya,
malaikat sejarah atau sang Messiah.
Esai yang ditulis menjelang Benjamin
bunuh diri karena gagal melarikan diri dari cengkraman Nazi itu memang dengan
jelas menunjukkan pertautan Benjamin pada materialisme historis, meski yang ia
maksudkan dengan terma itu sangat berbeda dari apa yang selama ini dipahami
oleh kaum Marxis lain .
Sementara kaum Marxis pada umumnya
mendefinisikan materialisme historis dalam kerangka revolusi sosialis untuk
menciptakan masa depan yang lebih baik, Benjamin memaknainya sebagai upaya
menyelamatkan dan mengingat masa lalu dan menyusun kembali fragmen-fragmen
sejarah yang ditenggelamkan dan dibungkam agar menjadi utuh kembali. Para
penganut doktrin materialisme historis, yang nota bene merupakan anak kandung
Pencerahan, memeluk teguh the idea of progress.
Tapi Benjamin justru bersikap
sebaliknya. Ia skeptis dengan optimisme semacam itu karena menurutnya, kemajuan
tidak lain hanyalah akumulasi reruntuhan masa lalu, yang tegak berdiri di atas
tumpukan korban yang terbungkam. Tulisnya, “there is no document of
civilization which is not at the same time a document of barbarism.” Sejarah
baginya selalu ditulis oleh mereka yang menang. Akibatnya, mereka yang kalah,
yang mati, dilupakan, dianggap tidak pernah ada.
Oleh karena itu, revolusi dalam bingkai
materialisme historis dalam versi Benjamin adalah semacam , untuk meminjam
istilah Milan Kundera, perjuangan ingatan dalam melawan lupa. Tugas
materialisme historis menyerupai “malaikat keadilan” seperti pada lukisan
“Angelus Novus “karya Paul Klee, yang wajahnya mengarah ke masa lalu dan
berkehendak untuk membangunkan yang mati dan membuat utuh kembali apa yang
telah dihancurkan.
Materialisme historis versi Benjamin
ini kerap dibaca sebagai ihtiar menampik dominasi ide kemajuan yang menjadi
ciri modernitas, yang atas nama rasionalitas universal mendesakkan suatu narasi
sejarah universal dan memaksakan suatu konsep waktu yang seragam, yakni waktu
yang kosong dan homogen, yang pada gilirannya akan membungkam keragaman dan
menekan suara-suara lain.
Tidak heran kalau pandangan Benjamin
ini disejajarkan dengan konsep heteroglosia dan karnaval dari Michael Bakhtin.
Benjamin juga dianggap sebagai salah satu sumber inspirasi pascastrukturalisme,
terutama konsep genealogi Michael Foucault yang menekanakan pentingnya
“insurrection of subjugated knowledges” sebagai misi utama “perjuangan”
pascastrukturalisme.
Kesimpulan semacam itu dalam batas
tertentu memang memkiat. Tapi sejauh menyangkut esai “Theses,” ada pokok soal
yang tampaknya kurang mendapatkan perhatian.
Dalam esai tersebut, Benjamin memang
banyak merujuk kepada materialisme historis. Tapi perlu diingat, Benjamin juga
menegaskan bahwa materialisme historis mesti mendapat bimbingan dari teologi
jika ingin menang. Sejarah di mata Benjamin adalah semacam permainan catur, di
mana materialisme historis sepintas lalu tampak memegang kendali permainan,
padahal yang terjadi ia hanyalah bidak yang dikontrol oleh tangan tersembunyi
teologi.
Lagipula, malaikat sejarah ternyata
gagal karena ketika ia hendak menjalankan misinya, ia tiba-tiba terbawa badai
yang meniupnya dari surga, badai yang dinamai “kemajuan.” Benjamin lantas
berharap kepada sang Messiah, yang dalam teologi Yahudi diyakini bisa melakukan
intervensi terhadap sejarah kapan saja dan karena itu mampu menghindarkan masa
depan Yahudi dari cengkeraman waktu modern, ymenurutnya ditandai dengan
karakternya yang homoge dan kosong.
Sang Messiah inilah yang pada akhirnya,
dalam pandangan Benjamin, berhasil menunaikan tugas yang gagal ditunaikan oleh
malaikat keadilan. Atas dasar itulah Gershom Scholem, pemikir Judaisme yang
juga sobat karib Benjamin, mengklaim bahwa menjelang akhir hayatnya, kesetiaan
Benjamin sesungguhnya lebih condong ke Messianisme teologi Yahudi ketimbang ke
materialisme historis. Bahkan dalam amatan Scholem, titik temu antara Benjamin
dan kaum Marxis lain dalam soal materialisme historis hanyalah sebatas kesamaan
dalam sebutan saja.
Tapi apa peran sang Mesiah dalam kritik
Benjamin terhadap modernitas? Perlu diingat, Walter Benjamin adalah seorang
Yahudi sekuler yang tumbuh dalam tradisi kiri di Jerman awal abad 20. Ia tentu
tidak mengartikan kehadiran Mesiah secara harfiah sepertihalnya kaum
ultra-Orthodox. Selain itu, di antara Yahudi Marxis di Eropa saat itu, bukan
hanya Benjamin yang menaruh iman dan harapan kepada mesianisme sekular.
Ambil contoh George Lukacs, Marxis dari
Hungaria yang terkenal lewat bukunya “History and Class Consciousness.” Lukacs
percaya bahwa kelas proletar merupakan manifestasi nyata dari mesiah sekular
karena kelas proletarlah yang mampu melepaskan diri dari “antinomi kultur
borjuasi” dan membebaskan masyarakat dari reifikasi dan fetishisme komoditas
yang mencirikan kapitalisme.
Namun berbeda dengan Lukacs, Benjamin
tidak mengaitkan Mesianisme dengan proletariat. Bahkan ia, begitu juga
koleganya di Mazhab Frankfurt, termasuk dianggap sebagai kaum Marxis yang
skeptis dengan peran revolusioner kaum buruh.
Lantas apa arti Mesianisme bagi
Benjamin? Ia mengatakan di bagian akhir “Theses on The Philosophy of History”
bahwa konsep waktu di masa depan dalam eskatologi Yahudi sama sekali bukanlah
seperti konsep waktu modernitas, yang “homogenous, empty time.” Karena, kata
Benjamin, di masa depan, “for every second of time was the strait gate througth
which the Messiah might enter”
Bagaimana kita mesti memaknai ungkapan
tersebut? Apakah itu berarti bahwa bagi Benjamin, untuk bisa bebas dari
terkaman waktu modern yang hampa dan homogen kita memerlukan sang Mesiah yang
bisa melakukan intervensi dari luar tatanan itu sendiri, dari luar sejarah,
dari wilayah yang transenden.
Dikotomi antara modernitas dan
mesianisme ini buat saya menarik karena pandangan Benjamin tersebut punya
kemiripan dengan konsep Carl Schmitt tentang dikotomi antara situasi normal
dengan situasi darurat. Pada titik inilah saya tertarik untuk membandingkan
Walter Benjamin dengan Carl Schmitt dalam hal kritiknya terhadap modernitas dan
konsep waktu modern. Selintas perbandingan ini terdengar aneh. Bukankah
Benjamin adalah penentang dan sekaligus korban Nazisme sedangkan Schmitt adalah
pemikir Jerman pro-Nazi, yang digelari sebagai sang ahli hukum the Third Reich?
Menurut saya perbandingan semacam itu
tidak aneh sama sekali. Simaklah, misalnya, surat Walter Benjamin kepada
Schmitt pada Desember 1930 yang mendedahkan utang teoritis Benjamin kepada
Schmitt:
Esteemed Professor Schmitt,
You will receive any day from now from the publisher my book The Origin of the German Mourning Play…You will very quickly recognize how much my book is indebted to you for its presentation of the doctrine of sovereignty in the seventeenth century. Perhaps I may also say, in addition, that I have also derived from your later works, especially the “Diktatur,” a confirmation of my modes of research in the philosophy of art from yours in the philosophy of the state…
With my expression of special admiration
Your very humble
Walter Benjamin
You will receive any day from now from the publisher my book The Origin of the German Mourning Play…You will very quickly recognize how much my book is indebted to you for its presentation of the doctrine of sovereignty in the seventeenth century. Perhaps I may also say, in addition, that I have also derived from your later works, especially the “Diktatur,” a confirmation of my modes of research in the philosophy of art from yours in the philosophy of the state…
With my expression of special admiration
Your very humble
Walter Benjamin
Dari surat Benjamin kita tahu betapa
konsep Schmitt mengenai kedaulatan punya pengaruh besar terhadap telaah
Benjamin mengenai drama tragedi Jerman. Tapi lebih dari itu, pandangan Schmitt
tentang state of exception yang menjadi dasar bagi konsep kedaulatan dan
distingsi yang dibuat Schmitt antara “waktu normal” dan “waktu darurat” juga
membayang-bayangi Benjamin dalam esai-esainya, termasuk “Theses.”
Dalam Political Theology: Four Chapters
on the Concept of Sovereignty (1922), Schmitt menyatakan diktumnya yang
terkenal, “yang berdaulat adalah yang memutuskan tentang/pada situasi darurat.”
Dengan diktum itu Schmitt menegaskan kedaulatan tidak bisa didasarkan pada
norma atau aturan dalam situasi normal karena kedaulatan itu justru sumber dari
norma tersebut. Bahkan ia punya kekuatan untuk memutuskan kapan situasi normal
bermula dan kapan berakhir.
Lantas dari mana kedaulatan muncul?
Bagi Schmitt, kedaulatan terletak pada situasi darurat, yang di luar normal,
yang abnormal yang tidak bisa disandarkan pada norma apapun. Bahkan bisa
dikatakan ia bersandar pada ketiadaan, semacam creatio ex nihilo. Karena
kedaulatan berada di luar wilayah situasi normal, maka keberadaannya berkaitan
erat dengan waktu darurat, waktu abnormal. Dan karena kerangka normalitas tidak
bisa dipecah/dihentikan dari dalam, situasi darurat mesti dideklarasikan oleh
pihak dari luar situasi/masa normal tadi.
Yang menarik, Schmitt menganalogkan
“state of exception” dengan mukjizat yang datang dari Tuhan untuk menginterupsi
jalannya hukum alam yang normal. Sepertihalnya mukjizat, situasi darurat yang
menginterupsi jalannya situasi normal juga datang dari the sovereign yang
berada di luar. Bertolak dari klaim tersebut Schmitt kemudian menggebuk
liberalisme, paham yang bagi Schmitt paling merepresentasikan modernitas.
Di mata Schmitt, sistem demokrasi
liberal yang mendasarkan diri pada konstitusi modern demi melindungi hak-hak
individu adalah sistem yang memposisikan dirinya sebagai sistem yang otonom
karena ia berdasar pada rule of law yang netral. Dengan sendirinya, liberalisme
menegasikan state of exception yang menjadi lokus bagi kedaulatan yang
sesungguhnya.
Paham semacam ini dalam pandangan
Schmitt mirip dengan paham deisme yang melihat alam semesta seperti mesin yang
berjalan dengan sendirinya. Dalam dunia deistis, mukjizat tidak punya tempat,
dan peran Tuhan untuk melakukan intervensi terhadap alam semesta juga ditampik.
Di sini kita bisa melihat sejumlah
paralelisme yang menarik antara Schmitt dan Benjamin. Kalau Benjamin dalam
“Theses” mengaitkan materialisme historis dengan teologi, maka Carl Schmitt
juga menekankan betapa teori politik juga berimpitan dengan teologi. Bahkan
Schmitt lebih jauh mengklaim bahwa hampir seluruh konsep dalam tatanan politik
modern tidak lain adalah konsep-konsep teologi yang sudah tersekulerkan.
Paralelisme yang lain, sementara bagi
Benjamin dibutuhkan Mesiah untuk keluar dari dominasi waktu modern yang homogen
dan kosong, di mata Schmitt dibutuhkan situasi darurat untuk memecah kebekuan
situasi normal dari modernitas. Schmitt menulis dalam Political Theology, “in
the time of exception, the power of true life breaks through the crust of a
mechanics caught in a continuous repetition.”
Dengan kata lain, baik Benjamin dan
Schmitt sebenarnya bersandar pada kekuatan di luar sejarah dalam upayanya untuk
membongkar modernitas yang beku dan repetitif (Schmitt) atau mengelak dari
dominasi modernitas yang mendesakkan konsep waktu yang homogen dan kosong
(Benjamin).
Menariknya, tendensi semacam ini, meski
dengan fromulasi dan alur argumen yang berbeda, bisa kita temukan padanannya
dalam sejumlah kritik mutakhir terhadap modernitas dan liberalisme, seperti
Alan Badiou dan para pemikir demokrasi radikal. Di mata mereka, problem
modernitas yang cenderung mengeksklusi the other tidak bisa diatasi dengan
memperbaiki prosedur dan mekanisme konsensus dalam sistem tersebut atau dengan
mengacu kepada prinsip rasionalitas yang mendasarinya, seperti yang ditawarkan
oleh Juergen Habermas dengan rasionalitas komunikatifnya atau John Rawls dengan
liberalisme politiknya. Kenapa? Karena di mata mereka, solusi semacam ini pada
akhirnya akan semakin meringkus kenyataan yang majemuk ke dalam kesatuan,
narasi tunggal yang universal. Dan ini bertentangan secara diametral dengan
esensi demokrasi yang merayakan pluralisme.
Oleh karena itu, penyakit modernitas
hanya bisa disembuhkan dengan antidot (penawar) yang transendental, yang datang
dari luar sistem itu dan mengintervensinya. Itulah yang ditawarkan oleh para
penyokong ide demokrasi radikal seperti Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau
ketika mereka menyerukan dibangkitkannya kembali watak antagonisme yang hakiki
dari “the political.” Begitu juga ketika Alan Badiou berbicara tentang perlunya
“Kejadian” dalam politik, yakni “sesuatu peristiwa yang mengguncang dan
menerobos situasi yang ada,yang memaksakan kebetulan (forcer le hasard) ” ke
dalam saat yang sudah matang untuk diiintervensi,” tampaknya ia bersepakat
dengan gagasan “state of exception-sebagai-mukjizat” dari Carl Schmitt.
Pertanyaannya kemudian, mengapa Schmitt
dan Benjamin, yang sama-sama bersandar pada kekuatan di luar sejarah sebagai
pijakan kritiknya terhadap modernitas, menempuh jalur yang jauh berbeda, bahkan
bertentangan satu sama lain? Schmitt menjadi pro fasisme sementara Benjamin
justru bunuh diri karena ancaman fasisme.
Apakah Mesianisme Benjamin yang
bersumber dari agama Yahudi dan mukjizat Schmitt yang bertolak dari Katholik
memang secara intrinsik berbeda satu sama lain? Mungkin saja. Tapi bagaimana
kita menjelaskan fenomena George Lukacs, filosof Marxis Yahudi yang mengacu
pada Mesianisme sekular untuk membela komunisme dan akhirnya berujung sebagai
apologis bagi totalitarianisme Soviet? Bagaimana pula menjelaskan sejumlah
pemikir Katholik Jerman yang dengan keras menentang Nazisme?
Saya kira perbedaan trajectory antara
Schmitt dan Benjamin dalam hal kritik mereka terhadap modernitas perludilihat
dalam perspektif yang lebih luas, sebagai faset dari diskursus tentang
modernitas di kalangan pemikir Eropa pada awal abad 20, baik yang di kiri
maupun kanan, yang secara umum berada dalam bayang-bayang Max Weber.
Kita tahu, Weber melihat penyebaran
rasionalitas ke pelbagai sektor kehidupan yang menjadi ciri modernitas sebagai
proses disenchantment of the world. Dan proses ini, terutama dalam sektor
ekonomi, terkait dengan naiknya asketisme Protestan yang lebih menekankan
pentingnya logika kalkulatif dan rasionalitas instrumental. Ironisnya, proses
rasionalisasi yang menyeluruh pada masyarakat Eropa dalam perkembangannya
mengubah kehidupan menjadi semacam iron cage yang mencengkeram (misalnya
birokrasi, kapitalisme), yang justru menimbulkan ketidakbebasan. Dan proses
sepertinya tak terelakkan dan tak bisa dibalikkan. Tapi menurut Weber,
irasionalitas yang keras kepala ini hanyalah reaksi belaka terhadap gencarnya
rasionalisasi itu sendiri, yang muncul dari wilayah di luar atau pra sistem
rasional.
Para pemikir dari kiri (misalnya Mazhab
Frankfurt) dan kanan (Carl Schmitt) banyak dipengaruhi oleh analisis Weber, tapi
pada saat yang sama mereka menolak kesimpulannya, tentu dengan alur argumen
yang tidak selalu serasi satu sama lain. Carl Schmitt, konon pernah menjadi
murid Weber, menolak pandangan Weber bahwa irasionalitas yang menyertai
modernitas hanya reaksioner sifatnya. Menurut Schmitt, pangkal persoalannya
justru terletak pada proyek rasionalisasi itu sendiri.
Dalam hemat Schmitt, tren rasionalisasi
tidak bisa dilepaskan dari menguatnya fenomena netralisasi yang menyertai
semakin kukuhnya modernitas di Eropa.
Dalam esainya “The Age of
Neutralizations and Depolitizations,” (1929) Schmitt mengungkapkan bahwa
dinamika sejarah Barat modern dipacu oleh hasrat untuk mencari wilayah netral
yang sepenuhnya bebas dari konflik dan perseteruan. Sebagai respon terhadap perseteruan
agama dan perang antar negara yang tak henti-henti, Eropa sejak abad 16 terus
mencari semacam prinsip pengendali utama—suatu ruang pusat (Zentralgebiet)—yang
bisa berperan sebagai sumber perdamaian dan kesepakatan bersama. Ruang pusat
tersebut bisa saja berganti setiap abad, tapi tujuan utamanya tetap, yaitu
sebagai sarana netralisasi dan depolitisasi.
Demikianlah, maka teologi yang sering
menjadi sumber konflik sampai abad 16 diganti pada abad 17 oleh metafisika,
yang perannya sebagai ruang pusat jelas lebih netral. Berikutnya, metafisika
kemudian diganti oleh etika dan moralitas humanitarian pada abad 18, yang
kemudian bergeser ke wilayah ekonomi pada abad 19, dan akhirnya teknologi
menempati peran sebagai ruang sentral yang lebih netral lagi pada abad 20.
Gejala netralisasi yang menandai
semakin kukuhnya modernitas menurut Schmitt terbukti melahirkan dua anak kembar
yang sekilas bertentangan satu sama lain, tapi sesungguhnya keduanya saling
mengandaikan dan punya perangai yang sama:
Yang pertama adalah ekonomisme yang
berbasiskan cara berpikir yang kalkulatif, kuantitatif dan positivistik yang
kemudian disokong oleh teknologisme. Schmitt menegaskan bahwa dominasi dua cara
berpikir ini tidak hanya terlihat pada praktek kapitalisme modern, melainkan juga
pada demokrasi liberal di Barat. Menurut cara bepikir ini, negara dilihat
sebagai berdiri di atas rule of law yang netral.Menurut Schmitt, implikasi dari
pandangan semacam ini adalah bahwa elemen fundamental dari negara itu sendiri,
yang oleh Schmitt disebut sebagai the political, yakni distingsi antara kawan
dan lawan, menjadi hilang atau terabaikan. Menurut Schmitt, dengan matinya the
political, dengan hilangnya kemampuan untuk menentukan mana kawan mana lawan,
maka kaum liberal melihat politik dan urusan negara sebagai sekadar teknologi,
sebagai mesin yang netral.
Gejala kedua adalah romantisisme yang muncul sebagai
antitesis yang ekstrim terhadap ekonomisme. Berbeda denganekonomisme yang
bersandar pada rasionalitas instrumental, romantisisme di Eropa yang meletakkan
perasaan, emosi dan subjektivitas yang irasional sebagai tolok ukur dalam
menghadapi kenyataan.
Dalam bacaan Schmitt, ekonomisme dan
romantisisme sesungguhnya merupakan dua sisi dari koin yang sama karena
keduanya sama-sama mengabaikan realitas yang kongkret. Ekonomisme melihat
kenyataan sebagai komoditas, produk yang bisa diperjualbelikan. Karena itu, ia
jelas mengabaikan kekhasan dan kualitas yang kongkret dari kenyataan.
Sebaliknya, para penganut romantisisme mengklaim menghargai partikularitas dan
kekongkretan kenyataan. Tapi berhubung yang jadi ukuran adalah subjektivitas
mereka sendiri, maka objek-objek yang ada hanya menjadi kendaraan belaka bagi
ekpresi mereka sendiri. Dengan begitu, kekhasan setiap objek juga dikorbankan.
Tapi dosa tak terampunkan dari kaum romantis adalah kepasifan mereka, yang juga
berujung pada pengabaian terhadap the political.
Singkat kata, netralisasi dan
depolitisasi, dengan kata lain liberalisme, itulah yang bagi Schmitt menjadi
penyebab utama kebekuan dan “kenormalan” modernitas. Dan kenormalan ini perlu
didobrak dengan cara memberi peluang bagi munculnya the sovereign yang bisa
mengambil keputusan pada/tentang state of exception. Memakai ungkapannya
sendiri, kita bisa mengatakan bahwa Schmitt mendambakan suatu dunia yang tidak
lagi dikuasai oleh deisme yang tidak mengenal mukjizat atau intervensi dari
luar sejarah.
Tapi itu tidak berarti Schmitt adalah
pendukung teokrasi atau semacamnya. Jauh dari itu. Saya kira yang didambakan
Schmitt adalah tatanan a la republik klasik seperti Sparta, yang memberi tempat
kepada state of exception dan punya kemampuan menarik garis batas mana kawan
mana lawan. Dengan kata lain, Schmitt ingin melakukan radikalisasi demokrasi
dengan membuang jauh-jauh elemen liberalisme darinya, dan kemudian
membangkitkan kembali the political. Dan inilah saya kira salah satu pijakan
pemikiran yang ia gunakan ketika memutuskan untuk menjadi pendukung Hitler.
Hal semacam itu sulit kita bayangkan
terjadi pada Walter Benjamin. Memang benar bahwa Benjamin juga kenormalan
modernitas, kehidupan yang dikuasai oleh konsep waktu yang homogen dan kosong,
perlu didobrak dengan intervensi sang Mesiah, tapi sosok sang Mesiah dalam
bayangan Benjamin bukan the sovereign yang memutuskan pada momen darurat.
Penekanan Carl Schmitt yang berlebihan
kepada the political buat Benjamin sama halnya dengan estetisasi politik, yang
dengan gampang membuka peluang bagi fasisme. Schmitt ternyata terjebak dalam
mistifikasi the political dan meletakkannya dalam status yang sakral dan
irasional. Dan ini justru bertentangan dengan niatnya semula yang ingin
mentransedir diri dari irasionalitas dalam kategori modernitas Weberian.
Lalu siapakah sang Mesiah menurut
Benjamin? Dalam “Theses,” Benjamin menyatakan bahwa setiap generasi, setiap
era, termasuk era sekarang, selalu dianugerahi dengan “kekuatan mesianik yang
lemah,” dan karena itulah ia menaruh harapan agar materialisme historis tidak
terpaku pada proyek membangun masa depan, melainkan menyelamatkan masa lalu,
dengan cara mengingat momen-momen Mesianistik pada setiap zaman.
Wallahu A’lam.
* Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama
(PCI-NU) Amerika-Canada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar