EPISTEMOLOGI
SUHRAWARDI DAN ALLAMAH THABATHABAI,
SEBUAH PERBANDINGAN *)
Oleh : Mas’oud Oumid,
Iran
Abstrak
Penghulu mazhab Iluminasi
dalam dunia filsafat (Syaikh AL-Isyraq) serta Allamah Thabathaba’i,
adalah dua orang filosof yang dianggap
satu mazhab. Kedua filosof ini membicarakan wilayah dan tema filsafat yang
sama. Namun demikian, tentu saja, kesamaan pandangan di antara mereka bukan
hanya diantara kedua filosof ini saja, tetapi juga dengan filosof-filosof
lainnya yang pernah disebutkan dalam sejarah pemikiran filsafat. Akan tetapi
dari sudut pandang yang lain, Suhrawardi dan Allamah Thabathaba’i dapat
diberikan predikat sebagai pemikir yang besar dan berpengaruh dalam dunia
filsafat.
Kedua filosof besar ini
dapat disebut sebagai peletak dasar sebuah mazhab pemikiran (mu’assis).
Wacana pemikiran filsafat setelah masa kedua filosof ini mengalami perkembangan
yang signifikan, bahkan filosof kontemporer saat ini banyak merujuk kepada
keduanya yang telah meletakkan sebuah dasar pemikiran filsafat yang sangat
kuat. Penjelasan pemikiran filsafat yang adiluhung serta metode yang kreatif
dari kedua filosof besar ini, telah memberikan ilham dan menjadi referensi yang
sangat bernilai bagi filosof-filosof yang datang setelahnya.
Tulisan ini mencoba untuk
memberikan gambaran dan memperbandingkan bagian-bagian epistemologi tertentu
dalam pemikiran dan filsafat kedua filosof besar ini. Hal itu dilakukan untuk,
selain memperlihatkan prinsip-prinsip epistemologi yang mereka anut, juga untuk
menjelaskan persamaan dan perbedaan pandangan mereka dalam bidang epistemologi
tersebut.
1. Defenisi Ilmu
Para filosof Islam menganggap
bahwa ilmu, kesadaran dan ma’rifat, adalah bagian dari konsepsi bukti
keberadaan diri, yang bebas dari genus logis dan differensia. a) Akan tetapi mereka tetap menganggap,
bahwa karena ketiga elemen ini juga tetap harus dijelaskan secara filosofis,
maka mereka akhirnya memberikan penjelasan filosofis dan analitis ketiga elemen
tersebut ketika membahas topik ilmu. Dalam mendefenisikan ilmu, Suhrawardi mengatakan:
‘Ilmu adalah kehadiran
sesuatu di dalam diri, yang bebas dari materialitas. Dengan kata lain, ‘ilmu
adalah kehadiran sesuatu yang bebas dari materialitas di dalam diri; akan
tetapi defenisi ini tidak bisa dianggap sebagai defenisi yang paling sempurna.
Alasan ketidaksempurnaan ini adalah karena adanya persepsi, baik persepsi
tentang diri, maupun persepsi tentang sesuatu yang lain (selain diri).(1)
Sementara itu, dalam mengomentari
hal yang sama, Allamah Thabathaba’i mengatakan:
Ilmu adalah kehadiran
sesuatu yang immaterial di dalam wujud immateri yang lain.(2)
Dari kedua defenisi ini, dapat
kita lihat bahwa keduanya mencakup “ilmu pahaman” (‘ilmu hushuli) dan
“ilmu dengan kehadiran” (‘ilmu hudhuri) yang meliputi “ilmu dengan
kehadiran diri” dan “ilmu dengan kehadiran sesuatu yang lain” dengan syarat
bahwa sesuatu yang lain itu bersifat immateri. Namun, di dalam defenisi tentang
‘ilmu hudhuri sesuatu yang lain, Suhrawardi juga memasukkan sesuatu yang
bersifat materi ketika dia menggunakan kata ‘sesuatu’ dalam pengertian umum (syai’).
Sebaliknya, ‘Allamah Thabathaba’i tidak memasukkan sesuatu yang bersifat materi
dalam defenisi ‘ilmu hudhuri ini, beliau justru mempersyaratkan
bahwa ‘yang diketahui’ itu harus immateri dan ilmu tidak dapat menyinggung
hal-hal yang bersifat materi.
Hal lain yang harus disebutkan
adalah keyakinan Suhrawardi yang mempercayai bahwa asal wujud dan cahaya dari
segala cahaya adalah ‘pelaku aktif’ (agent by agreement, fa’il bi
al-ridha). Cahaya dari segala cahaya (nur al-anwar) dalam
hubungannya dengan dunia pensucian dan alam materi, juga adalah pelaku aktif;
dan diantara sifat pelaku aktif itu adalah bahwa ia mengetahui efeknya sendiri,
sehingga dalam hubungannya dengan sesuatu yang lain itu, ia memahaminya dengan ‘ilmu
hudhuri. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam pandangan Suhrawardi,
upaya untuk memahami alam materi harus dilakukan dalam kerangka konsep cahaya
dari segala cahaya ini; sehingga segala sesuatu, termasuk materi, dapat
dipahami dalam cakupan ‘ilmu hudhuri. Dunia materi akan hadir dalam
cahaya dari segala cahaya tanpa perantara, karenanya tak ada penghalang
diantara keduanya.
Allamah Thabathaba’i (juga)
meyakini bahwa Wujud Wajib adalah pelaku melalui manifestasi diri. Di dalam
konteks ini, pelaku sama dengan efek. Namun, merujuk pada defenisi ilmu yang
telah disebutkan di atas, efek material (ma’lulaat maadiyah) di dalam
sifat dan kondisi kemateriannya, tidak akan bisa diketahui melalui kehadiran (hudhuri)
oleh Wujud Wajib (wajib al-wujud) tanpa sebuah perantara. Dalam kondisi
ini, tidak ada yang dapat dikatakan selain bahwa dunia materi yang sederhana
ini harus dipahami melalui kehadiran Wujud Wajib, dan karenanya kita harus
menerima (adanya konsep) ‘ilmu hudhuri melalui perantara (wasitah).
2. Eksistensi Ilmu
Para filosof Islam juga sangat
tertarik dalam menjelaskan perihal ontologi persepsi. Secara singkat, mereka
mempercayai bahwa persepsi adalah sesuatu yang bersifat immaterial. Mereka juga
telah menunjukkan sekian banyak argumentasi untuk membuktikan immaterialitas
dari beberapa, atau bahkan semua bentuk persepsi itu. Sebagai contoh, berikut
adalah beberapa premis yang telah mereka sebutkan:
- Materi dapat dibagi, tetapi persepsi tidak.
- Transformasi dan perubahan terjadi pada materi, sedangkan persepsi tidak demikian.
- Penolakan untuk menerima kompatibilitas di dalam materi, dan bukan di dalam persepsi.
- Adanya wujud partikular di dalam materi, sedangkan dalam persepsi tidak ada.
- Adanya wujud mungkin, dan kemudian materialitas di dalam materi, tidak di dalam persepsi.
·
Adanya pemisahan dan pemutusan di dalam materi,
tidak dalam persepsi.
·
Adanya waktu di dalam materi, sedangkan di dalam
persepsi tidak ada.
Di antara usaha keras para
filosof Islam adalah memperbanyak bukti-bukti immaterialitas persepsi. Dari
upaya inilah, mereka menawarkan pendapat inventif tentang isu pembuktian
immaterialitas persepsi tersebut. Di antara para filosof itu, terdapat
Suhrawardi dan Allamah Thabathaba’i yang telah berupaya keras dalam
mengemukakan pendapat inventif mereka berdua. Sebagai contoh, dengan
berdasarkan pada prinsip ‘ketidakcocokan antara yang besar di dalam yang
kecil’, yakni materi yang berukuran besar tidak bisa dimasukkan ke dalam materi
yang berukuran kecil, Suhrawardi telah membuktikan immaterialitas bentuk-bentuk
imajiner. Prinsip ini juga digunakan untuk membuktikan immaterialitas
bentuk-bentuk sensual (suwar hissiyah). Tentu saja, immaterialitas
bentuk-bentuk imaginal dan sensual tersebut dianggap sebagai bagian dari
immaterialitas ide (tajarrud mitsali). (3)
Prinsip Suhrawardi ini kemudian
diadopsi oleh Allamah Thabathaba’i dalam menjelaskan pandangan-pandangan
filosofisnya. Seperti halnya Suhrawardi, Allamah Thabathaba’i telah melakukan
usaha inovatif untuk memberikan bukti unik tentang immaterialitas persepsi.
Bahkan, Allamah Thabathaba’i ketika menyebutkan bukti-bukti tradisional dalam
menjelaskan immaterialitas persepsi, beliau juga menemukan cara yang unik dan
baru dalam menyelesaikan masalah ini. Allamah Thabathaba’i memberikan
bukti-bukti unik tersebut ketika merespon pendapat Marxisme yang
menginterpretasikan persepsi sebagai “tezz”, “anti tezz” dan “san
tezz” atau sebagai ‘bagian dari materialitas, otak dan persepsi’. Beliau
mengatakan bahwa asumsi yang menganggap bahwa persepsi hanya dilakukan oleh otak
dan karenanya bersifat material, hanya akan menjerumuskan kita ke dalam paham
idealisme, skeptisisme dan relativisme. Ketiga pemahaman ini semuanya salah,
karena itu ide tentang materialitas persepsi juga menjadi salah. Simpulan dari
argumen Allamah Thabathaba’i dapat dijelaskan dalam bentuk silogisme eksklusif
(qiyas istithna’i) berikut ini:
Jika persepsi itu bersifat
materi, maka pemahaman itu akan bermuara kepada paham idealisme, skeptisisme
dan relativisme. Idealisme, skeptisisme dan relativisme adalah pemahaman yang
salah dan tertolak. Karena itu, persepsi bukanlah sesuatu yang bersifat materi,
tetapi persepsi adalah sesuatu yang immaterial. (4)
3. Klasifikasi ‘Ilmu
Menurut Suhrawardi, secara umum
ilmu dapat dikelompokkan ke dalam ilmu pahaman (‘ilmu hushuli) dan ilmu
dengan kehadiran (‘ilmu hudhuri). Ilmu pahaman, atau ilmu ide, adalah
ilmu dimana ‘yang mengetahui’ (perceiver) memahami bentuk dan ide
tentang sesuatu ‘yang diketahui’ (perceived) di dalam dirinya sendiri.(5) Jenis ilmu yang kedua adalah ilmu dengan
kehadiran. Ilmu yang kedua ini adalah persepsi non-ide tentang sesuatu ketika
sesuatu itu hadir, bukan dari konsep dan bentuk, tetapi dari esensi dan
realitas sesuatu itu di dalam immaterialitas ‘yang mengetahui’ (knower).
Dalam pandangan Allamah
Thabathaba’i, ilmu dibagi dalam dua jenis: ‘ilmu hushuli dan ‘ilmu
hudhuri. ‘Ilmu hushuli adalah kehadiran quiditas ‘yang diketahui’ (the
known) pada ‘yang mengetahui’ (the knower), atau dengan kata lain, ‘ilmu
hushuli adalah pengetahuan yang melaluinya kita mencapai realitas dalam
bentuk gambaran. ‘Ilmu hudhuri adalah kehadiran realitas ‘yang
diketahui’ di dalam ‘yang mengetahui’. (7)
4. ‘Ilmu Hudhuri
A. Pembuktian ‘Ilmu
Hudhuri
Suhrawardi dalam beberapa
kesempatan telah melakukan penelitian untuk membuktikan dan menegaskan perihal ‘ilmu
hudhuri. Filosof ini percaya bahwa setiap orang memiliki pengetahuan
tentang esensinya dan pengetahuan tentang dirinya sendiri, sementara esensi
orang lain tidak dapat diketahuinya. Jenis pengetahuan ini bukanlah pengetahuan
konseptual, juga pengetahuan ini bukan dari bentuk-bentuk mental atau
keserupaan-keserupaan. Hal yang paling penting dalam fase ini adalah, darimana
kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan tentang esensi ini bukanlah pengetahuan
konseptual dan juga bukan pengetahuan tentang bentuk-bentuk (mental)?, atau
dengan kata lain mengapa pengetahuan tentang esensi ini disebut pengetahuan
yang diperoleh tanpa perantara? Seseorang mungkin akan mengatakan “persepsi
saya tentang esensi saya sama dengan persepsi tentang bentuk dan bahkan sama
dengan esensi saya sendiri”, atau persepsi saya tentang esensi saya adalah
konsep dan bentuk dari “saya” sendiri. Menurut Suhrawardi, jawaban dari
pertanyaan ini dapat dijelaskan dengan cara berikut: Setiap bentuk ‘yang diketahui’
atau konsep yang dipahami oleh pikiran dalam hubungannya dengan dirinya
sendiri, dimana dengan cara tertentu kebenarannya dapat diterapkan pada sesuatu
yang lain, atau sesuatu yang lain itu dapat menggunakan istilah teknis bentuk
atau konsep tersebut, maka ia disebut ‘universal’. Bentuk dan konsep
(universal) ini tidak akan pernah, dalam hubungannya dengan esensinya sendiri,
menolak masuknya penerapan-penerapan sesuatu selain dirinya.
Kenyataannya, dalam pemahaman
kita tentang diri dan esensi kita sendiri, kita melihat bahwa diri kita itu
tidak dapat diterapkan pada sesuatu yang lain, karenanya ia tidak bersifat
universal, ia justru bersifat personal dan individual. Sebaliknya, bentuk dan
konsep “saya” yang kita pahami memiliki sifat-sifat konsep sehingga ia disebut
universal. Namun, persepsi tentang esensi dan diri tidak memiliki sifat
universal tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki pengetahuan yang
bukan dari keserupaan (mitsali) dan bukan konseptual (mafhumi)
disebut ‘ilmu hudhuri. (8)
Di dalam pembuktian yang lain,
Suhrawardi menggunakan bukti ‘sesuatu yang lain’ (ghairiyyah) yang
dipahami dengan kesadaran dan cerapan batin antara “bentuk saya” dan “saya”.
Dia juga membuktikan bahwa pengetahuan tentang diri bukanlah keserupaan. Dia
percaya bahwa ketika seseorang menunjuk dirinya, yang dimaksud adalah dirinya
sebagai “saya” dan tidak ada yang dia maksud yang lain selain “saya”. Tak dapat
dibantah bahwa, dalam pemahaman ini, bentuk
yang menyerupai “saya” berbeda dengan “saya” sendiri. Jika esensi
individualitas saya adalah saya sendiri, maka bentuk yang “menyerupai saya”
pastilah sesuatu yang lain yang diberi predikat “dia”. Oleh karena itu,
persepsi tentang bentuk yang menyerupai saya bukanlah ‘saya’, bentuk itu adalah
‘dia’ (9)
Suhrawardi juga mempercayai bahwa
seseorang yang mandiri serta memahami esensi dirinya sendiri, lebih general
dibanding diri atau pikirannya, dimana penambahan terhadap diri tidak dapat
dilakukan. Alasannya adalah, tambahan bagi sesuatu akan dianggap sebagai salah satu
sifat sesuatu itu. Artinya, ketika seseorang memahami dirinya sendiri, dia
menganggap bahwa sifat-sifatnya adalah tambahan bagi dirinya. Konsekuensinya,
seseorang akan memahami dirinya terlebih dahulu sebelum memahami
sifat-sifatnya, karena pengetahuan tentang sifat-sifat sesuatu adalah cabang
dari pengetahuan tentang esensi sesuatu itu. (10)
Di dalam salah satu argumen
Allamah Thabathaba’i dalam perbandingannya dengan argumen Suhrawardi ketika menjelaskan bukti
pertamanya tentang ‘ilmu hudhuri, Thabathaba’i meletakkan pandangannya
pada teori bahwa pengetahuan manusia tentang diri dan esensinya adalah bentuk
individuasi (tashakhus) yang bersifat personal sehingga tidak dapat
diterapkan kepada sesuatu yang lain (berbeda dengan konsep dan bentuk mental).
Dari sisi yang lain, kita mengetahui bahwa individuasi berbarengan dengan wujud
dan dapat dicapai melalui wujud tersebut. Oleh karena itu, manusia memiliki
pengetahuan yang menjadi bagian dari ilmu tentang wujud (diri, al-nafs),
bukan ilmu tentang quiditas dan bentuk-bentuk mental. (11)
B. Konsep ‘Ilmu Hudhuri
Suhrawardi menyebutkan banyak
komponen yang menjadi kriteria ‘ilmu hudhuri seperti: penampakan (dhuhur)
terhadap ‘yang mengetahui’, pencakupan dan dominasi ‘yang mengetahui’ atas
‘yang diketahui’, hubungan iluminatif ‘yang diketahui’ terhadap ‘yang
mengetahui’, ketiadaan pembatas materialitas antara ‘yang mengetahui’ dan ‘yang
diketahui’ (dalam hubungannya dengan manusia). (12) Dalam
pandangan Allamah Thabathaba’i, kriteria ‘ilmu hudhuri adalah kehadiran
aktual sesuatu bagi sesuatu yang lain dan kehadiran ril ini dicapai dalam suatu
keadaan dimana basis wujud kolektif digunakan bersama serta dimensi dan
pembagian waktu dan ruang yang menjadi sifat-sifat keduanya menjadi hilang.
Penjelasannya adalah, kehadiran sesuatu di dalam sesuatu yang lain adalah wujud
yang tidak terbatasi oleh waktu (zaman) dan ruang (makan), bebas
dari ukuran luas, panjang dan pembagian yang menjadi sifat-sifat bagi materi
dan ketiadaan (di dalam filsafat wujud ini disebut immateri). Dengan demikian,
wujud pasti tidak terhijab oleh dirinya sendiri dan segala sesuatu yang secara
esensial terhubung kepadanya juga tidak akan terhalangi. Wujud memiliki
kemampuan untuk mengetahui dirinya sendiri, dan karenanya apapun yang secara
esensial terhubung padanya akan dapat diketahuinya melalui kehadiran. Dengan
kata lain, kriteria ‘ilmu hudhuri adalah keadaan dimana realitas ‘yang
diketahui’ tidak tertutupi atau tersembunyi dari realitas ‘yang mengetahui’,
dan keadaan ini terjadi hanya jika dimensi dan ekstensi waktu dan ruang sudah
tidak ada lagi di antara keduanya. Kemungkinan yang lain adalah, keadaan ini
akan terpenuhi jika terjadi unitas ril antara ‘yang mengetahui’ dan ‘yang
diketahui’ seperti halnya jika diri mengetahui dirinya sendiri, atau jika ‘yang
diketahui’ adalah cabang yang secara eksistensial terhubung kepada ‘yang
mengetahui’ seperti halnya ketika diri mengetahui efek-efek dan sifat-sifatnya
sendiri. (13)
Dari penjelasan ini, dapat
dikatakan bahwa terdapat kedekatan yang saling menguntungkan antara dua filosof
ini ketika mereka menjelaskan konsep dan keniscayaan ‘ilmu hudhuri.
Sebagai contoh, relasi iluminatif ‘yang diketahui’ terhadap ‘yang mengetahui’
dapat dijelaskan bahwa ‘yang diketahui’ terafiliasi secara eksistensial dan merupakan
derivat dari ‘yang mengetahui’. Contoh yang lain adalah, bagian dari cakupan
dan dominasi ‘yang mengetahui’ terhadap ‘yang diketahui’ terjadi ketika ‘yang
diketahui’ memperoleh manfaat afiliasi eksistensialnya dengan ‘yang
mengetahui’. Namun harus dipahami bahwa, makna cakupan (ihatah) dan
dominasi (tasallut) memiliki pengertian yang lebih general daripada
afiliasi eksistensial dalam konsep ini.
C. Jenis-jenis ‘Ilmu
Hudhuri
Dengan merujuk kepada konsep dan
argumen keniscayaan adanya ‘ilmu hudhuri yang telah dijelaskannya di
atas, Suhrawardi menyebutkan beberapa jenis ‘ilmu hudhuri seperti
berikut:
1.
‘Ilmu hudhuri terhadap diri sendiri, atau
“saya”, karena seseorang tidak mungkin terhijab terhadap dirinya sendiri.
2.
‘Ilmu hudhuri terhadap diri (nafs) dalam
hubungannya dengan fakultas-fakultas nafs. Pengetahuan ini berada
dibawah ‘kuasa iluminatif’ diri, sementara fakultas-fakultas nafs
memiliki ‘relasi iluminatif’ terhadap diri tersebut.
3.
‘Ilmu hudhuri terhadap tubuh. Suhrawardi
menganggap bahwa pengetahuan tentang tubuh pisik adalah ‘ilmu hudhuri.
Alasannya adalah, diri adalah penggerak dan memiliki kuasa atas tubuh.
4.
‘Ilmu hudhuri terhadap bentuk-bentuk atau
informasi ide, atau ‘ilmu hudhuri terhadap bentuk-bentuk yang dapat dipahami
(knowledgeable forms).
5.
‘Ilmu hudhuri sebab terhadap akibat.
6.
‘Ilmu hudhuri wujud immateri terhadap mereka
sendiri. Wujud immateri mutlak, yang lebih murni daripada wujud manusia karena
maqam ontologisnya, mengetahui Penciptanya maupun wujud non-jasadi lainnya
melalui ‘ilmu hudhuri.
Suhrawardi percaya bahwa
pengetahuan wujud immaterial (mujarradaat) yang lebih tinggi terhadap
wujud immaterial yang lebih rendah disebut ‘iluminasi’ sedangkan pengetahuan
wujud immaterial yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi disebut ‘intuisi’
(syuhud). Dalam pandangan Suhrawardi, penghalang dan hijab pengetahuan
adalah materialitas sedangkan hijab seperti ini tidak ada di alam immateri.
Oleh karena itu, setiap wujud immateri mengetahui wujud immateri lainnya
melalui ‘ilmu hudhuri (longitudinal dan latitudinal), b) yakni cahaya yang terang menerangi
cahaya yang lebih gelap, tetapi cahaya yang lebih gelap tidak mampu mencerap
sifat hakiki cahaya yang lebih terang. (14)
Menurut Allamah Thabathaba’i,
jenis-jenis ‘ilmu hudhuri adalah: pengetahuan setiap substansi terhadap
dirinya sendiri; pengetahuan setiap substansi terhadap apa saja yang terjadi di
dalam dirinya; pengetahuan diri terhadap fakultas-fakultas dan
instrumen-instrumennya yang menyifati diri itu sendiri; ‘ilmu hudhuri
manusia terhadap apa saja yang berhubungan dengan fakultas sensualnya;
pengetahuan sebab terhadap akibatnya; pengetahuan akibat terhadap sebabnya;
pengetahuan satu akibat terhadap akibat yang lain jika akibat-akibat tersebut
berasal dari sebab yang sama. (15)
Kesimpulan dari pandangan Allamah
Thabathaba’i ketika membicarakan jenis-jenis ‘ilmu hudhuri adalah
sebagai berikut: pertama, pengetahuan tentang tubuh bukanlah ‘ilmu hudhuri,
pengetahuan tersebut adalah ‘ilmu hushuli; kedua, beliau menambahkan
bahwa akibat dapat mengetahui sebabnya melalui ‘ilmu hudhuri.
D. Tingkat Kekuatan dan
Kelemahan ‘Ilmu Hudhuri
Suhrawardi mempercayai bahwa
‘ilmu hudhuri yang dicapai oleh setiap diri dan wujud immateri memiliki tingkat
kekuatan dan kelemahan yang tergantung kepada ekstensi immaterialitasnya,
persepsi terhadap esensinya, dan apa saja yang terhijab dari diri dan wujud
immateri tersebut. Persepsi terhadap esensi (dzat) dan apa saja yang
terhijab dari diri dan wujud immateri (yang lebih general dibanding berbagai
aspek esensi atau eksistensi ontologis yang berbeda-beda) memiliki tingkat
kekuatan dan kelemahan, dan jika persepsi wujud immaterial tersebut meningkat,
maka kesadarannyapun juga akan bertambah.
Sementara itu, dalam hal tingkat
kekuatan dan kelemahan ‘ilmu hudhuri ini, Allamah Thabathaba’i tidak
pernah memberikan penjelasan apa-apa.
5. ‘Ilmu Hushuli
A. Pembagian Konsepsi dan
Karakteristik-Karakteristiknya.
Di dalam ‘ilmu hushuli,
salah satu bagian yang disinggung adalah topik tentang “persepsi intelektual
konseptual” dimana salah satu usaha intelektual dan skolastik Suhrawardi adalah
untuk menjelaskan topik ini. Dalam penjelasannya, Suhrawardi menyebutkan
pembagian spesifik persepsi intelektual konseptual tersebut. Dia menyatakan
dalam bukunya ‘Talwihat’ (intimasi): “Sesuatu yang dinisbatkan dan
dilekatkan pada quiditas, maka ia pasti memiliki sifat: mental dan objektif,
atau hanya bersifat mental saja.” Di tempat yang lain Suhrawardi menulis:
“pemikiran (‘i’tibaraat) bersifat objektif atau bersifat mental”. (17)
Di dalam Hikmat al-Isyraq
(Filsafat Iluminasi) pada topik pembagian persepsi intelektual konseptual,
Suhrawardi percaya bahwa: “Predikat dan atribut keduanya dibagi dalam dua
bagian: predikat dan atribut objektif serta predikat dan atribut mental” (18)
Suhrawardi menyebutkan bahwa pemikiran mental dan atribut mental adalah “objek
pahaman sekunder” (ma’qulaat tsani). (19) c)
Dalam pandangan Suhrawardi,
atribut objektif adalah predikat yang selain memiliki wujud eksternal, juga
mempunyai bentuk di dalam akal; misalnya warna hitam atau putih, atau gerakan
dan perpindahan. Sebaliknya, atribut mental tidak mempunyai wujud eksternal
selain wujud di dalam akal saja, misalnya sesuatu yang bersifat mungkin. (20)
Di dalam beberapa tulisannya, Suhrawardi menyebutkan beberapa sifat pemahaman
mental dan ‘objek pahaman sekunder’ yang dianggap sebagai kriteria pembeda
antara ‘objek pahaman sekunder’ tersebut dengan atribut atau pahaman objektif.
Kedua jenis objek dan atribut tersebut, meskipun keduanya mempunyai hubungan
dan korelasi satu sama lain, namun pemahaman mental atau ‘objek pahaman
sekunder’ dijelaskan secara terpisah seperti berikut:
1. ‘Objek
pahaman sekunder’ hanya ada ada di dalam akal, merupakan sifat yang dinisbatkan
dan ditambahkan kepada quiditas. (21)
2.
‘Objek pahaman sekunder’ tidak memiliki batasan
sedangkan realitas objektif bersifat terbatas. (22)
3.
‘Objek pahaman sekunder’ tidak memiliki realitas di
dalam wujud ekternal. (23)
4.
‘Objek pahaman sekunder’ adalah segala sesuatu yang di
dalam kemaujudan dan eksistensi eksternalnya mengharuskan adanya repetisi
sifat-sifatnya. (24)
5.
‘Objek pahaman sekunder’ bersifat konseptual, dimana
pemahaman intelektual lebih general dibanding konsep-konsep. (25)
6.
‘Objek pahaman sekunder’ dapat disifatkan kepada
beberapa maujud. (26)
7.
‘Objek pahaman sekunder’ hanya ada di dalam pikiran. (27)
8.
‘Objek pahaman sekunder’ tidak memiliki eksistensi
eksternal yang independen. (28)
9.
‘Objek pahaman sekunder’ bukanlah bagian dari quiditas
objektif. (29)
10. ‘Objek
pahaman sekunder’ tidak bisa ditunjuk dengan indra manusia (atau dijelaskan
dengan bantuan indra, pent.). (30)
11. ‘Objek
pahaman sekunder’ adalah atribut yang secara pemahaman (‘i’tibari) tidak
mungkin terpisah dari subjeknya. Artinya, subjek ‘objek pahaman sekunder’ tidak
mungkin eksis tanpa atribut-atribut ini. (31)
Dengan melihat sifat-sifat ‘objek pahaman sekunder’ di
atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas dan karakteristik konsep atau atribut
objektif adalah kebalikan dari sifat-sifat tersebut. Demi memperjelas pandangan
Suhrawardi dalam hal kualitas konsepsi mental, sifat-sifat tersebut akan
dijelaskan dan dielaborasi secara khusus dalam topik tentang pemahaman dan
atribut partikular semisal konsep ‘kemungkinan’ seperti berikut ini:
1.
Predikat, yang digambarkan oleh suatu kemungkinan atau
yang sering disebut wujud mungkin, dapat dipahami oleh akal melalui analisis
quiditas (mahiyyah) dimana predikat tersebut dinisbatkan dan ditambahkan
kepada konsep quiditasnya. Jika kita memahami suatu quiditas partikular,
seperti halnya manusia, maka kita akan mendapatkan pemahaman tersebut melalui
proses analisa tentang ‘penting-tidaknya’ eksistensi maupun non-eksistensi
quiditas partikular tersebut seperti yang digambarkan dalam teori kemungkinan.
Penggambaran ini tidak dapat dinisbatkan kepada esensi (dzat) quiditas
eksternal, tetapi justru harus dinisbatkan dan ditambahkan kepada quiditas yang
di dalam akal, seperti halnya ketika kita mengatakan: manusia adalah wujud
mungkin. d)
2.
Penggambaran tentang suatu kemungkinan tidak memiliki
genus (jins) dan differensia (fasl) sehingga ekstensinya adalah
subjek objektif eksternalnya sendiri. ‘Ketidakpentingan’ adalah suatu kualitas
yang merupakan penggambaran wujud eksternal; karenanya, ‘ketidakpentingan’
sebagai sebuah defenisi tetapi bukan sebagai terminologi adalah suatu hal yang
mungkin.
3.
Di dalam konsep ‘kemungkinan’ (imkan), esensi
suatu ekstensi tidak mewujud secara eksternal, misalnya ‘apa yang berlawanan
dengan konsep tentang manusia’, ‘apa yang menjadi lawan sifat warna putih’, dan
lain-lain. e)
4.
Konsep ‘kemungkinan’ adalah sesuatu yang jika
dinisbatkan pada sesuatu yang akan mewujud secara eksternal dan digambarkan
secara objektif, maka kualitas objektifnya akan menyurut tak terhingga.
Kualitas tersebut juga akan menjadi realitas-realitas yang berkesinambungan dan
saling terikat yang berarti bahwa jika kemungkinan wujud dan gambaran suatu
ekstensi keduanya berada dalam satu wujud eksternal – suatu gambaran yang
dinisbatkan dan ditambahkan pada ekstensi tersebut – maka gambaran ekstensi
tersebut (sebagai wujud mungkin pertama) akan menjadi salah satu quiditas yang
sudah ada sebelumnya. Dalam kondisi ini, gambaran tersebut kemudian bisa
dipertanyakan seperti halnya pertanyaan yang dapat diajukan terhadap quiditas,
yakni tentang kepentingannya, kemungkinannya, dan ketidakmungkinannya (tiga
pokok permasalahan). Berikutnya, quiditas yang yang sudah ada ini akan menjadi
‘mungkin’ yang kedua. Pada saat tersebut, karena anggapan bahwa kemungkinan
adalah suatu gambaran objektif, maka anggapan bahwa kemungkinan kedua ini
adalah salah satu quiditas yang sudah ada sebelumnya harus diterima sebagai
wujud mungkin (mumkin al-wujud) yang kedua. Keadaan ini akan berlanjut
lagi kepada kemungkinan ketiga dimana eksistensi objektif dan kemungkinannya
harus diasumsikan kembali, dan seterusnya kemudian rangkaian keadaan-keadaan
berantai ini akan terjadi secara berulang dan berurutan. Oleh karena itu,
preposisi kejadian-kejadian suatu kemungkinan meniscayakan repetisi realitas
yang tak tak terhingga.
5.
Sifat universalitas dan kemencakupan sebuah kemungkinan
lebih general dibanding sifat sebuah konsep misalnya konsep tentang manusia,
pohon, dan lain-lain. Suatu kemungkinan adalah sebuah konsep yang mencakup
manusia, pohon, gunung, batu dan lain-lain; sedangkan sebuah konsep tentang
manusia hanya menjelaskan individualitas beberapa orang misalnya Hasan, Husain
atau yang lainnya. Satu hal yang harus ditekankan disini adalah bahwa meskipun
generalitas, universalitas dan kemencakupan konsep kemungkinan dan konsep
tentang manusia itu cenderung bersifat tak terhingga, namun jika generalitas
‘aktual’ keduanya dibandingkan dengan merujuk pada seseorang yang tertentu,
tetap saja generalitas sebuah kemungkinan itu lebih luas. Dari sudut yang lain,
dapat dikatakan bahwa sebuah kemungkinan dapat diterapkan pada banyak jenis (anwaa’)
yang kemudian diterapkan lagi pada beberapa individu; akan tetapi konsep
tentang manusia hanya dapat diterapkan pada satu jenis saja yakni per individu
manusia itu sendiri.
6.
Konsep dan predikat ‘kemungkinan’ diterapkan pada
banyak ekstensi. Misalnya, kemungkinan dapat diterapkan pada manusia, pohon,
batu, dan lain-lain. Kesemua ekstensi ini mempunyai quiditas yang berbeda satu
sama lain; akan tetapi tetap saja semuanya setara dan sederajat dalam bentuk,
yakni sebagai subjek (mawdhu’) dari predikat kemungkinan tersebut.
7.
Konsep kemungkinan tidak memiliki ruang kecuali di
dalam akal saja sebab sebuah kemungkinan tidak mempunyai wujud eksternal yang
spesifik.
8.
‘Kemungkinan’ tidak memiliki wujud eksternal independen
yang spesifik. ‘Manusia’ mempunyai wujud eksternal yang independen, tetapi
‘kemungkinan’ tidak memiliki sifat seperti itu.
9.
‘Kemungkinan’ tidak membentuk bagian-bagian atau
unsur-unsur suatu quiditas eksternal yang sudah ada sebelumnya. Warna atau
ukuran adalah bagian suatu quiditas objektif, namun ‘kemungkinan’ tidak
memiliki bagian atau unsur tersebut.
10. Gambaran
tentang ‘kemungkinan’ tidak dapat diukur dengan indra. Kita dapat menghubungkan
gambaran tertentu terhadap sebuah quiditas, tetapi kita tidak dapat menentukan
gambaran tersebut karena ia tidak memiliki ukuran eksternal dan realitas
objektif.
11. ‘Kemungkinan’
adalah sebuah gambaran yang tidak dapat dipisahkan dari subjeknya, dan sebuah
quiditas tidak dapat dipahami tanpa gambaran suatu kemungkinan.
Di dalam berbagai tulisannya, Suhrawardi
menyebutkan beberapa pemahaman intelektual (I’tibaraat ‘aqli) dan
‘objek pahaman kedua’ (ma’qulat tsani) melalui analisa beberapa
konsep. Konsep-konsep tersebut adalah: eksistensi, unitas, kenyataan (tangibility),
realitas, kemungkinan, kuantitas, ke-penting-an, keterbatasan, ketakterbatasan,
quiditas, bentuk, aksiden, universalitas, partikularitas, generalitas dan
keistimewaan, genus dan diffrensia, substansi, materi sederhana, angka-angka,
tambahan, keheningan, materi awal, dan lain-lain. (32)
Suhrawardi dalam kitabnya al-Masyari’ wa al-Mutarahat
(Jalan dan Percakapan) menjelaskan beberapa pendapat tentang konsep-konsep
tersebut di atas. Kemudian, Suhrawardi menunjukkan pendapat yang dianggap benar
yang tentunya sesuai dengan pendapatnya
sendiri.
Suhrawardi mengatakan:
Aspek-aspek intelektual dan pemahaman telah
menyebabkan kebingungan yang merusak banyak orang. Di antara mereka ada yang
percaya bahwa konsep seperti eksistensi, kemungkinan, unitas, dan lain-lain
adalah sifat yang ditambahkan kepada semua ekstensi dan konsep-konsep tersebut
mewujud di dunia eksternal. Kelompok yang lain di antara mereka ada juga yang
percaya bahwa materi dan konsep adalah tambahan terhadap quiditas walaupun
konsep-konsep ini tidak memiliki bentuk dan esensi di dunia eksternal. Dan di
antara mereka ada juga kelompok yang mewakilli orang kebanyakan yang
berpendapat bahwa konsep-konsep intelektual bukanlah sifat tambahan, pun tidak
bersifat objektif dan tidak berada di dalam akal, mereka mempercayai bahwa
konsep-konsep tersebut adalah quiditas yang ditambahkan kepada quiditas.
Suhrawardi kemudian mengatakan
bahwa pendapat yang kedualah yang benar. (33)
B. Pendapat Allamah Thabathaba’i
Dalam pandangan Allamah Thabathaba’i, terdapat empat
kelompok konsep universal yang berbeda-beda satu sama lain: Konsep ril atau
konsep esensial, konsep filosofis, konsep logis dan konsep pemahaman sosial dan
saintis. Penjelasan dari setiap kelompok persepsi konseptual ini adalah sebagai
berikut:
1.
Konsep Ril atau Konsep Esensial: yaitu suatu konsep
yang mewujud baik di dalam akal maupun di luar akal, misalnya manusia dan
pepohonan.
2.
Konsep Filosofis:
a.
Sifat-sifatnya bisa mewujud secara eksternal misalnya
eksistensi beserta karakteristik rilnya, atau bisa juga tidak mewujud secara
eksternal seperti halnya non-eksistensi (‘adm).
b.
Yaitu konsep-konsep yang dinisbatkan kepada wujud wajib
(wajib al-wujud) dan wujud mungkin (mumkin al-wujud) misalnya
pengetahuan, kehidupan, dan lain-lain.
c.
Yaitu konsep-konsep yang menjadi predikat lebih dari
satu kategori, misalnya gerak.
d.
Yaitu konsep-konsep yang tidak mempunyai suatu terma
logis (yakni genus dan diffrerensia), dan tidak bisa disebut sebagai genus bagi
quiditas.
3.
Konsep Logis: yaitu konsep yang menggambarkan sesuatu
di dalam akal, misalnya genus, differensia, dan silogisme.
4.
Konsep pemahaman logis dan saintis:
a.
Yaitu hasil aktivitas figuratif suatu persepsi yang
meminjam konsep ril untuk kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan manusia.
b.
Konsep yang dicapai dan digunakan demi kepentingan
sains serta untuk tujuan kehidupan manusia lainnya.
c.
Tidak memiliki terma logis sehingga tidak bisa
dijelaskan dengan bukti demonstratif (burhan).
d.
Berbeda dengan konsep esensial, konsep ini tidak
memiliki wujud eksternal yang sama.
e.
Pandangan yang merujuk pada konsep-konsep ini tidak
dapat dinilai benar atau salah, penilaian tentangnya dilakukan melalui
persetujuan atau penolakan terhadap tujuan-tujuan konsep tersebut.
Beberapa Perbandingan
1.
Baik Suhrawardi maupun Allamah Thabathaba’i, keduanya
mengakui bahwa persepsi konseptual dan konsep di dalam pemahaman diri manusia
adalah beragam dan berbeda-beda; akan tetapi, persepsi dan konsep tersebut
dapat dikelompokkan ke dalam dua tingkatan (primer dan sekunder, pent.). Namun,
Suhrawardi menempatkan semua konsep sekunder ke dalam satu kelompok dengan
tidak membedakan keduanya. Dengan kata
lain, Suhrawardi tidak memisahkan antara pemahaman filosofis dan pemahaman
logis. Di samping itu, Suhrawardi tidak pernah menyebutkan secara khusus jenis
persepsi yang dikenal sebagai ‘persepsi pemahaman’ di dalam karya-karyanya.
Berbeda dengan Suhrawardi, Allamah Thabathaba’i justru membagi pemahaman
sekunder menjadi dua bagian yaitu logis dan filosofis yang keduanya berbeda
satu sama lain serta mempunyai sifat dan karakteristik masing-masing. Bahkan,
Allamah Thabathaba’i di dalam diskusinya telah menyebutkan serta memberikan
perhatian khusus terhadap isu tentang ‘persepsi pemahaman’ (idrakaat
I’tibari) yang tidak pernah disebutkan oleh Suhrawardi itu.
2.
Kedua filosof ini telah menyebutkan beberapa
karakteristik konsep sekunder yang sama dalam pandangan mereka, misalnya
generalitas, non-eksistensi notabel objektif eksternal, bahwa konsep sekunder
bukanlah bagian dari quiditas eksternal, dan lain-lain.
3.
Kedua filosof ini sepaham dalam menetapkan beberapa
konsep yang dianggap sebagai konsep sekunder misalnya eksistensi,
ke-penting-an, unitas, dan lain-lain.
Namun, disamping
persamaan-persamaan di atas, Suhrawardi dan Allamah Thabathaba’i berbeda
pendapat dalam hal sebagai berikut:
1.
‘Gerak’ dalam pandangan Suhrawardi adalah konsep
objektif dari pemahaman primer, sedangkan Allamah Thabathaba’i menganggapnya
sebagai pemahaman sekunder.
2.
Beberapa konsep seperti kuantitas (miqdar),
materi pertama (hayula), dan jumlah (‘adad) dianggap sebagai
konsep sekunder oleh Suhrawardi, sementara Allamah Thabathaba’I menyebutnya
konsep ril (hakiki) dan esensial (mahawi).
3.
Di dalam konsep tentang eksistensi; meskipun keduanya
menganggap bahwa eksistensi adalah pahaman sekunder, tetapi Suhrawardi
mempercayai bahwa konsep ini menyebabkan repetisi di dalam kemaujudannya.
Berbeda dengan Suhrawardi, Allamah Thabathaba’i menolak pendapat ini. Beliau
justru berpendapat bahwa kemaujudan suatu eksistensi sifatnya esensial dan
karenanya eksistensi itu tidak menyebabkan kemaujudan yang berulang dan saling
terkait dari awal hingga akhir. Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa
eksistensi adalah maujud esensial dalam dirinya sendiri, bukan sesuatu yang
eksistensi lain ditambahkan padanya, eksistensi adalah eksistensi dalam dirinya
sendiri. (35)
Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh para filosof Islam adalah isu tentang bagian-bagian
proposisi (dalil-dalil, qadiyyah). Di dalam realitas, pertanyaan yang
diajukan dalam masalah ini adalah bentuk ‘ilmu hushuli yang muncul di
dalam bentuk satu alasan, atau lebih dari satu alasan yang tersusun dari
beberapa bagian. Dalam hubungannya dengan masalah ini, Suhrawardi menulis:
Ketahuilah bahwa setiap proposisi kategoris berhak
memiliki subjek, predikat, dan hubungan antara keduanya, yang dapat bernilai
benar, namun juga punya kemungkinan untuk ditolak. Dan di dalam pertimbangan
hubungan inilah proposisi menjadi sebuah proposisi. (36)
Dari dasar inilah Syaikh Al-Isyraq percaya bahwa sebuah
proposisi dapat bersifat kategoris dan positif, dimana proposisi tersebut
terdiri dari tiga bagian: subjek, predikat, dan hubungan antara subjek dan
predikat tersebut.
Dapat dikatakan bahwa dalam pandangan Suhrawardi,
presposisi kategoris yang bersifat positif terbagi dalam tiga bagian: subjek,
predikat, dan penilaian (hukm), atau ‘hubungan penilaian’. Bagi akal,
konsep tentang subjek dan predikat cukuplah untuk dapat digunakan dalam
memberikan penilaian, demikian juga untuk menilai hubungan antara subjek dan
predikat tersebut secara eksternal. Contohnya adalah proposisi literal, yakni
proposisi yang tingkat ekspresi maknanya adalah ‘mental’ (misalnya Zaid sedang
berdiri) dan juga secara struktur tidak lebih dari tiga bagian. Sejalan dengan
teori ini adalah ide bahwa penilaian dan hubungan penilaian bukanlah dua hal
yang berbeda, tetapi justru keduanya mengandung pengertian yang sama satu sama
lain. (37)
Dalam menjelaskan tentang proposisi kategoris yang
bersifat negatif, Suhrawardi mengatakan: “Dan proposisi negatif adalah konsep
yang negasinya menghilangkan kata kerja penghubung (al-rabitah)”. Di
dalam kalimat ini, Suhrawardi menganggap bahwa proposisi negatif adalah pemisah
antara kata kerja penghubung dan negasinya. Mungkin dapat dimengerti bahwa di
dalam proposisi negatif diperlukan empat bagian: konsepsi subjek, predikat,
hubungan penilaian, dan penilaian bahwa tidak ada hubungan di luar konteks
tersebut. Dalam menjelaskan masalah ini, akal di dalam proposisi negatif
memerlukan konsep dari subjek dan predikat, konsep tentang hubungan subjek dan
predikat tersebut, serta penilaian tentang ketidaksalinghubungan antara subjek
dan predikat di dalam realitas dan esensinya sendiri. Oleh karena itu, isi
pokok dari proposisi negatif bukanlah kata kerja penghubung dari proposisi
negatif itu, bukan pula hubungan proposisi negatif, tetapi isi pokok proposisi
negatif itu adalah negasi dari kata kerja penghubung. Allamah Thabathaba’i
telah meneliti dan menganalisa bagian-bagian proposisi di dalam dua topik tentang ‘keapaan’ yang sederhana dan majemuk (haliyaat
basitah wa murakabbah). Di dalam pandangan Allamah Thabathaba’i, setiap
pernyataan atau proposisi logis ketika berbentuk ‘keapaan’ yang majemuk (yaitu
sebuah proposisi yang mempunyai predikat yang berbeda dengan eksistensi subjek,
misalnya: manusia yang berpengetahuan) di dalam sifatnya sebagai proposisi
positif, akan terdiri dari tiga bagian yakni subjek, predikat dan penilaian.
Juga harus ditambahkan bahwa ‘hubungan penilaian’ yang berarti hubungan
predikat ke subjek, bukanlah bagian dari proposisi; dan signifikansi hubungan
penilaian ini hanyalah karena penilaian itu sendiri sebagai aksi mental yang
memerlukan hubungan untuk menjadi, bukan signifikansi sebagai hubungan
penilaian suatu proposisi. Namun, untuk mengerti suatu proposisi, hubungan
penilaian (nisbah hukmiyah) tetap harus diperlukan.
Di dalam proposisi negatif ‘keapaan’ majemuk, proposisi
hanya terdiri dari dua bagian yakni subjek dan predikat saja. Akal tidak
melakukan penilaian di dalam proposisi negatif dan tentang tidak adanya
penilaian statusnya sama dengan adanya penilaian akal di dalam proposisi
positif. Suatu hubungan imajiner dinamai “tidak” untuk menegasikannya dengan
suatu hubungan ril yang dinamai “ya”.
Di dalam proposisi positif ‘keapaan sederhana (yang
berarti proposisi yang predikatnya adalah eksistensi atau eksisten), misalnya
proposisi ‘manusia itu ada’, maka proposisi tersebut terdiri dari tiga bagian
yakni subjek predikat dan penilaian. Di dalam proposisi-proposisi ini, hubungan
penilaian tidak ada karena hubungan suatu eksistensi adalah kata kerja
penghubung, dan eksistensi non independen dan kata kerja penghubung yang selalu
didasarkan pada dua sisi yang memisahkan antara sesuatu dengan dirinya sendiri
(eksistensinya) tidak ada artinya di dalam suatu unitas mutlak tanpa adanya
perbedaan.
Oleh karena itu, di dalam proposisi-proposisi ini, tidak
diperlukan adanya hubungan relasi meskipun hanya sebagai syarat cukup (bukan syarat mutlak). Di dalam
proposisi negatif ‘keapaan’ yang sederhana, proposisi hanya terdiri dari dua
subjek dan predikat dan tidak selalu harus mempunyai penilaian maupun hubungan
penilaian. (40)
Posisi dan Nilai Benar Tidaknya Suatu Persepsi
Pada posisi dan tempat mana, atau kapan suatu tingkat
persepsi dapat dinilai benar atau salah? Kapan suatu persepsi disebut benar dan
salah?
Dalam pandangan Suhrawardi, selama kita memahami secara
akliyah satu atau beberapa pahaman tanpa satu ‘penilaian’, maka dalam status
ini kita tidak akan dapat melakukan suatu konfirmasi ataupun penolakan terhadap
sesuatu itu, kita juga tidak dapat mengatakan bahwa konsep-konsep tersebut
positif atau negatif. Dengan kata lain, konfirmasi atau penolakan predikat
suatu subjek serta membenarkan atau menyalahkan suatu pahaman (ma’quulat)
dapat dilakukan hanya jika suatu ‘penilaian’ telah kita lakukan sebelumnya.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa kebenaran atau kesalahan suatu persepsi
berhubungan dengan ‘penilaian’ dan bukan berhubungan dengan suatu konsep. Hanya
dari penilaianlah pengetahuan itu menemukan artinya, dan dari penilaian itu
pula pengetahuan dapat diklaim apakah pengetahuan itu berhubungan dengan
kebenaran atau tidak. (41)
Allamah Thabathaba’i juga berpendapat bahwa kebenaran dan
kesalahan suatu persepsi terjadi pada saat penilaian yang berhubungan dengan
faktor luar. Untuk menjelaskan pandangannya, Thabathaba’i menyebutkan empat
tingkatan persepsi dimana kebenaran dan kesalahan persepsi berhubungan dengan
tingkatan keempat. Adapun tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tingkatan
pertama yaitu perbuatan alami organ-organ sensual misalnya respon mata ketika
melihat cahaya, dan lain-lain. Dalam tingkatan ini, nilai kebenaran dan
kesalahan tidak ada, semua yang berhubungan dengan tingkatan ini hanyalah sifat
dan akibat respon organ-organ sensual tersebut.
2. Tingkatan
kedua adalah persepsi sensual, yaitu persepsi partikular terhadap benda-benda
pisik dan geometris yang merupakan persepsi sensual tunggal, misalnya persepsi
sensual terhadap sebuah meja atau sebuah kursi.
3. Tingkatan
ketiga yaitu penilaian terhadap persepsi sensual sebelum dihubungkan dengan
bentuk luar yang dipersepsi tersebut. Artinya, kita membuat penilaian
berdasarkan bentuk persepsi, bukan berdasarkan pada ada tidaknya hubungan
antara persepsi kita tentang sesuatu dengan bentuk luar sesuatu itu. Contohnya,
persepsi sensual sebuah kursi; dalam hal ini, kursi sudah didefenisikan sebagai
suatu bentuk kayu yang memiliki empat kaki dimana lengannya lebih pendek
daripada kakinya.
4. Tingkatan
keempat yaitu hubungan korespondensi serta penilaian terhadap bentuk luar
sesuatu. Dalam tingkatan ini, kita mempersepsikan sesuatu kemudian kita
memperbandingkan apakah persepsi kita itu sesuai dengan bentuk luarnya. Dan
pada tingkatan inilah, sebuah persepsi dapat dinilai salah atau dapat dianggap
benar. (42)
6. Jenis dan Proses
Terjadinya Persepsi pada Manusia
Dalam pandangan Suhrawardi, proses terjadinya ‘ilmu
hushuli dan persepsi pemahaman serta bagaimana ia dapat dibentuk, dijelaskan
seperti berikut:
A. Persepsi Indra
Suhrawardi dalam membicarakan persepsi indra telah
menjelaskan secara khusus perihal visi dan wawasan (vision and sight).
Ketika pada zamannya muncul teori-teori yang menjelaskan topik persepsi indra
seperti teori tentang ‘keluarnya cahaya dari mata’, teori tentang
‘korespondensi’ (intibaq), serta teori ‘gambaran segala sesuatu di dalam
mata’, Suhrawardi telah mengkritik teori-teori tersebut kemudian beliau
mengutarakan pendapatnya sendiri. (43)
Simpulan dari pandangan Suhrawardi perihal persepsi indra
ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bentuk yang masuk ke dalam mata, cermin
dan imajinasi (khususnya bentuk-bentuk yang besar), memiliki status yang sama.
Artinya, tidak satupun bentuk-bentuk tersebut yang meng-ada di dalam mata,
cermin maupun imajinasi (melalui bukti bahwa sesuatu yang besar tidak mungkin
masuk ke dalam sesuatu yang lebih kecil). Dari sudut yang lain, Suhrawardi juga
percaya bahwa bentuk-bentuk tersebut tidak aktual (meng-ada) di dalam otak,
udara dan lain-lain. Selanjutnya menurut beliau, bentuk-bentuk imajinasi dan
cerminan adalah frame dan bentuk ide dari bentuk-bentuk (eksternal) tersebut.
Dari sinilah kemudian disimpulkan bahwa bentuk visual tidak meng-ada di dalam
mata, otak, udara, dan lainnya; juga bahwa bentuk-bentuk visual tersebut,
seperti halnya bentuk imajinasi dan cerminan, tak lebih dari bentuk-bentuk ide
objektif yang tidak independen. Adapun defenisi visi (ibsar) menurut
Suhrawardi adalah: ‘iluminasi kehadiran diri terhadap fakultas penglihatan yang
kemudian dari fakultas inilah diri dapat melihat bentuk-bentuk ide objektif’.
Seorang pelihat di dalam penglihatannya adalah cahaya ragawi (isfahbad),
atau diri manusia itu sendiri. Di dalam proses melihat, diperlukan
kondisi-kondisi tertentu agar dihasilkan pemahaman, misalnya menghadapi sesuatu
dan konfrontasi, ketiadaan hijab antara pelihat dan yang dilihat, eksistensi
cahaya dan terang, dan lain-lain, yang kesemuanya tidak diperlukan dalam proses
iluminasi kehadiran diri yang menjadi faktor utama suatu visi. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa di dalam pandangan Suhrawardi, visi (ibsar) berarti
penglihatan terhadap bentuk-bentuk ide (suwar mitsali) yang disertai
kesiapan dan kondisi yang dipersyaratkan oleh visi tersebut. Proses ini
kemudian dapat digeneralisasi dalam hubungannya dengan persepsi sensual yang
lain dengan mengatakan bahwa menurut Suhrawardi, persepsi indra adalah
pencapaian sebuah persepsi kehadiran serta penyaksian bentuk-bentuk ide di
dalam ‘Dunia Ide’. (44) Alasan untuk argumentasi ini adalah
bahwa indra manusia yang lain tidak memiliki perbedaan esensial (mahawi)
dengan indra penglihatan.
B. Persepsi Khayali
Bentuk-bentuk imajiner tidak meng-ada di dalam imajinasi;
akan tetapi di dalam realitas, bentuk-bentuk ini justru adalah frame dan benda
di dalam ‘dunia ide’ (‘alam al-mitsal) yang tidak mencakup alam
benda-benda materi. Bentuk-bentuk benda dan ide objektif yang tidak independen
ini memiliki manifestasi walaupun tidak berada dalam manifestasi tersebut.
Manifestasi bentuk-bentuk imajiner adalah imajinasi manusia. Di dalam realitas,
imajinasi adalah cerminan diri (nafs) yang dapat disaksikan melalui
bentuk-bentuk ide tersebut. (45)
Oleh karena itu, imajinasi manusia hanyalah penyaksian dan
persepsi tentang bentuk-bentuk imajiner di dalam Dunia Ide. Singkatnya,
persepsi imajiner adalah iluminasi kehadiran (isrhaq hudhuri) dan
mentalitas diri (nafsani al-nafs) fakultas imajinasi yang melaluinya
penyaksian suatu bentuk ide objektif dapat dicapai. Juga harus ditambahkan
bahwa faktor manusia dan faktor imajiner adalah penyebab dan penyedia
manifestasi bentuk-bentuk ide tersebut.
Untuk mencapai persepsi imajiner ini, Suhrawardi
memberikan beberapa bukti yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kita
dapat memuat bentuk-bentuk imajiner yang sangat besar, misalnya gunung-gunung,
langit, dan lain-lain.
2. Bentuk-bentuk
imaginer tersebut tidak pernah melewati kondisi berikut: apakah ia meng-ada di
dalam mata, atau terhubung dengan otak material, atau meng-ada di dalam
imajinasi yang terdapat di dalam otak (di tengah otak). Akan tetapi, semua
kondisi ini tidak valid, karena bentuk-bentuk imajiner ini akan menyebabkan
peng-ada-an sesuatu yang besar di dalam sesuatu yang kecil dimana hal tersebut
adalah sesuatu yang tidak mungkin.
3. Bentuk-bentuk
imajiner tidak ada di dunia yang kita diami sekarang, karena sekiranya seperti
itu, maka pasti semua orang dapat memahami dan merasakan bentuk-bentuk tersebut
padahal dalam kenyataannya tidak demikian.
4. Bentuk-bentuk
imajiner bukanlah ketiadaan mutlak karena mempunyai efek objektif, seperti
halnya warna, ukuran, dan lain-lain. Di samping itu, bentuk-bentuk tersebut
dapat dipahami, karenanya ia pasti ada dan bukan non-eksisten.
5. Bentuk-bentuk
imajiner juga tidak ada dalam dunia akal (yang lebih umum daripada akal
longitudinal dan akal latitudinal) karena akal-akal (‘uqul) dan
cahaya-cahaya (anwar) yang ‘tinggi’ terbebas dari sifat-sifat duniawi.
Oleh karena itu bentuk-bentuk imajiner berada di suatu alam khusus yang disebut
‘ide (mitsal)
Harus dikatakan bahwa argumen ini pada satu sisi
menjelaskan kualitas persepsi khayali, pun pada sisi yang lain menjelaskan eksistensi
sebuah dunia partikular yang disebut ‘ide’. Hal lain yang harus ditambahkan
adalah, bahwa bukti ini dapat digunakan pada indra perseptif yang lain dengan
cara, yang menurut pandangan Suhrawardi, melalui penglihatan dan penyaksian
yang akan dipahami oleh ‘diri’ dimana bentuk yang berada dalam diri tidak akan
dapat disaksikan dari tempat lain, pun tidak mewujud di dalam dunia yang kita
diami ini.
Bentuk-bentuk sensual hanya dapat hadir di alam cahaya
‘ilahiyyah’ (al-nur al-isfahbadi).
C. Persepsi Intelektual
Dalam pandangan Suhrawardi, persepsi intelektual dapat
dipahami melalui kebergantungan pada ide-ide cahaya (mutsul nuri), atau
penghulu dari segala citra (arbab asnam) serta keterikatan pada akal
immaterial.
Subjek dari pengetahuan di dalam persepsi
intelektual tidak datang dari sesuatu yang telah dikenal yang daripadanya akal
dapat melepaskan (tajarrid) segala bentuk, subjek itu justru datang dari
kontemplasi objek-objek indra dan…….menjadi alasan bagi kesiapan diri untuk
penyaksian (musyahadah), dan juga alasan bagi iluminasi kehadiran dan
mental (isyraq hudhuri wa nafsani) dalam hubungannya dengan penghulu
makhluk. Persepsi intelektual manusia dapat dicapai melalui dukungan diri (nafs)
dan dukungan iluminasi kehadirannya dalam hubungannya dengan persepsi akal. (47)
Bagi Allamah Thabathaba’i,
topik tentang bagaimana pencapaian ‘ilmu hushuli, dijelaskan dalam dua
pandangan sebagai berikut:
1.
Pandangan pertama menjelaskan bahwa indra pertama kali
dilekatkan kepada tubuh dan kemudian jiwa (nafs) disatukan dan
dihubungkan dengan tubuh. Konsekuensi dari penyatuan ini adalah bahwa jiwa
disatukan dengan objek-objek indra sehingga pada akhirnya pengetahuan tentang
objek-objek tersebut semuanya dapat dicapai melalui ‘ilmu hudhuri.
Setelah tahapan ini, sebuah fakultas partikular yang disebut ‘imajinasi’ (khayal)
merubah objek-objek indra dan kehadiran (jiwa dalam objek-objek tersebut)
menjadi pengetahuan capaian dan susunan yang kemudian diberikan kepada memori.
Sekali lagi, setelah tahap (kedua) ini, yaitu setelah terjadinya bentuk-bentuk
sensual dan imajiner, selanjutnya otak dengan pekerjaan-pekerjaan khusus
misalnya membandingkan, memutuskan, dan lain-lain akan membuat bentuk-bentuk
intelektual dan universal. (48)
2.
Pandangan kedua membicarakan tentang aktivitas tubuh
ketika berhubungan dengan objek-objek yang terindrai, dimana tubuh menyiapkan
diri (nafs) untuk ‘persepsi dengan kehadiran’ yang lemah terhadap dunia
ide (‘alam al-mitsal) dan dunia akal (‘alam al-‘aql). Setelah
proses ini, diri di luar urgensi dan ke-penting-an, merubah kehadiran (untuk
aktivitas teoritis dan pengetahuan) menjadi ‘ilmu hushuli dan
membentuknya menjadi fakta-fakta sensual, imajiner dan intelektual. (49)
Secara umum, dalam pandangan
Allamah Thabathaba’i, proses umum pencapaian ‘ilmu hushuli dapat dibagi
menjadi tiga tahapan:
1.
Eksistensi dari faktor-faktor eksternal yang berurutan.
2.
Terjadinya aktivitas khusus di dalam sistem syaraf dan
sistem-sistem yang lain di dalam tubuh.
3.
Terjadinya aksi-aksi dan hukum-hukum spiritual (ruhi)
dan mental (nafsani) yang berurutan.
Perbandingan Pandangan
Seperti yang dapat dilihat
dari pandangan Suhrarwardi dan Allamah Thabathaba’i, pandangan Suhrawardi
tentang proses pencapaian ‘ilmu hushuli mempunyai kemiripan dengan
pandangan Allamah Thabathaba’i, yakni pada pandangan kedua di atas. Kedua filosof ini mengatakan
bahwa ‘ilmu hushuli dapat diperoleh karena interferensi dari, serta
hubungan dengan dunia ide dan dunia akal. Dengan kata lain, jenis-jenis
pengetahuan ini – persepsi, imajinasi, intelektual – adalah hasil hubungan
manusia dengan dunia eksistensial yang lebih tinggi yakni dunia ide dan dunia
akal. Tentu saja, harus diperjelas dari awal bahwa Allamah Thabathaba’i
menyebutkan bukti perubahan ‘ilmu hudhuri menjadi dunia ide dan dunia
akal serta perubahan ‘ilmu hudhuri menjadi ‘ilmu hushuli;
sementara Suhrawardi tidak menyebutkan masalah tersebut. Kedua, Allamah
Thabathaba’i menyebutkan hal lain tentang dua pandangan perihal klarifikasi
proses terbentuknya persepsi pahaman; sementara Suhrawardi tidak menekankan
masalah tersebut.
Perhatian dan ketaatan diri (nafs)
adalah faktor utama dalam pencapaian pengetahuan. Dalam hubungannya dengan
pencapaian ‘ilmu hushuli, Suhrawardi mengatakan bahwa jika manusia –
diri manusia – tidak sadar di dalam pemahamannya, maka ‘ilmu hushuli
tidak akan dapat dicapai. Dengan kata lain, pengetahuan tidak dapat
disederhanakan hanya sebagai pembentukan diri dan bentuk-bentuk mental, tetapi
pengetahuan adalah kesadaran diri terhadap bentuk-bentuk di dalam kondisi pencapaian
dan pengejawantahan pengetahuan itu sendiri. Suhrawardi menulis masalah ini
seperti berikut:
Kadang-kadang di dalam visi,
sebuah bentuk dapat dipahami ketika ‘pelihat’ sedang berpikir keras, walaupun
mungkin saat itu dia dalam keadaan tidak sadar. Namun, sekali dia keluar dari
ketidaksadaran ini menuju kesadaran terhadap bentuk-bentuk pahaman, maka dia
akan menyaksikan bentuk-bentuk tersebut dengan sangat jelas.
Oleh karena itu, persepsi akan
dicapai hanya melalui kesadaran dan perhatian diri. (51) Merujuk
pada pandangan ini, setiap bentuk yang dipahami, apakah itu bentuk sensual,
imajiner, atau intelektual, dapat saja terjadi sebuah kondisi dimana walaupun
pada saat itu bentuk diri dan mental telah dicapai, tetapi pengetahuan belum
dapat diperoleh karena kita masih memerlukan kesadaran dan perhatian terhadap
diri sehingga pengetahuan dan pikiran dalam pengertiannya yang hakiki dapat
dicapai. Oleh karena itu, titik pusat pengetahuan dan pikiran adalah diri
manusia itu sendiri.
Kesadaran dapat dicapai ketika;
pertama, ‘yang diketahui’ hadir di dalam diri, dan yang kedua adalah, diri
harus sadar dan punya perhatian terhadap ‘yang diketahui’ itu. Allamah
Thabathaba’i tidak menyebutkan syarat kondisi atau tambahan lain ketika
menjelaskan persepsi pahaman.
Catatan:
1.
Suhrawardi,
Opera Metaphysica et Mystica, 1, al-Talwihat. Diedit dan diberi kata pengantar
oleh Henry Corbin. Tehran: Institute d’Études et des Researches Culturelles,
1993, 24.
2.
Tabataba`i,
Allamah Muhammad Hussain, Nihayatul Hikmah. Qom: Islamic Publications Centre,
1983, 24.
3.
Shirazi,
Qutb al-Din Sharh Hikmat al-Ishraq. Tehran: Tehran University Press, 1951, 47.
4.
Tabataba`i,
Allamah Muhammad Hussain, Usul-I falsafa wa rawesh-e-ri`alism, Syahid Murtadha
Mutahhari. Qom: Islamic Publications Centre, 61, catatan kaki halaman 63,143.
5.
Suhrawardi,
Opera Metaphysica et Mystica, 2, 15.
6.
Ibid.,
77-71, 111, 484.
7.
Tabataba`i,
Allamah Muhammad Hussain, Usul-e falsafa wa rawesh-e-ri`alism, Shahid Murtadha
Mutahhari, 97, catatan kaki halaman 63, 190.
8.
Suhrawardi,
Opera Metaphysica et Mystica, 2, 70-71, 484.
9.
Ibid.,
111, 1, 484.
10. Dinani, Ghulam Hussain
Ibrahimi, Shu’a`i andisheh wa shuhud dar falsafa-ye Suhrawardi. Tehran: Hikmat
Pub. 1985, 550-551.
11. Nihayatul Hikmah, 250-260,
and: Allamah Muhammad Hussain Tabataba`i, A Collection of Treatises. Islamic
Culture Publications Centre, 1991, 280.
12. Opera Metaphysica, 1,
al-Mashari’ wa al-Mutarahat, 485, 488-489. al-Talwihat, 72-73. Volume 3, Hikmat
al-Ishraq, 140-152. Shark Hukmat al-Ishraq, 355. Shirazi, Sadr al-Din, al-Asfar
al-Arba’ah, Vol. 6, al-Mustafawi, 1368 (tahun Masehi), 68, 251. Fana`i,
Muhammad, Artikel dengan judul: Knowledge by Presence. Islamic thought
awareness, Tahun ke-3, Numbers 7-10.
13. Usul-I falsafa wa
rawesh-e-ri`alism, 195-198.
14. Usul-I falsafa wa
rawesh-e-ri`alism, 195-198.
15. Usul-e falsafa wa
rawesh-e-ri`alism, 194, 195, 197. Nihayatul Hikmah, 260. Collection of
Treatises, 277, 287, 288.
16. Opera Metaphysica et
Mystica, 1, al-Talwihat, 72.
17. Ibid., 25.
18. Ibid., 2. Hikmat al-Ishraq,
71.
19. Ibid., 1, al-Mashari’ wa
al-Mutarahat, 361.
20. Ibid., 2. Hikmat al-Ishraq,
71.
21. Ibid., 1, al-Talwihat, 21.
22. Ibid., 25.
23. Ibid.
24. Ibid., 364.
25. Ibid., 2, Hikmat al-Ishraq,
64.
26. Ibid., 64.
27. Ibid., 71.
28. Ibid., 72.
29. Ibid., 30.
30. Vol. 3, Bustan al-Qulub,
358.
31. Dinani, Ghulam Hussain
Ibrahimi, Qawa’id kulli falsafi, Vol. 2. Islamic Sciences and Cultures Research
Centre, Principle 98.
32. Opera Metaphysica, 1,
al-Talwihat, 18-22, 25. al-Mashari’ wa al-Mutarahat, 363, 364, 369, 370, 413.
Sharh Hikmat al-Ishraq, 298. Hikmat al-Ishraq (Vol. 2), 64-74, 109-110.
33. Opera Metaphysica, 1,
al-Mashari’ wa al-Mutarahat, 343.
34. Nihayatul Hikmah, 243,
256-259. Usul-e falsafa wa rawesh-e-ri`alism, 194, 195, 197.
35. Nihayatul Hikmah, 10.
36. Opera Metaphysica, 2, Hikmat
al-Ishraq, 25.
37. Usul-e falsafa wa
rawesh-e-ri`alism, 202.
38. Hikmat al-Ishraq, 26.
39. Ibid., 204-205.
40. Nihayatul Hikmah, 251-252.
Usul-e falsafa wa rawesh-e-ri`alism, 202-205.
41. Opera Metaphysica, 2, Hikmat
al-Ishraq, 30.
42. Usul-e falsafa wa
rawesh-e-ri`alism, 147-149, 151-162.
43. Opera Metaphysica, 2, Hikmat
al-Ishraq, 99-101. Shu’a`i andisheh wa shuhud dar falsafa-ye Suhrawardi,
357-358.
44. Opera Metaphysica, 2,
153-211, 216. Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Amuzesh-e falsafeh, vol. 2. Qom:
Islamic propagation centre, 1365 (tahun Masehi), 165.
45. Opera Metaphysica, 2,
212-215.
46. Sharh Hikmat al-Ishraq, 470.
47. Shu’a`i andisheh wa shuhud
dar falsafa-ye Suhrawardi, 631. Abu Rayyan, Muhammad Ali, Mabani falsafeh-ye
Ishraq az didgah Suhrawardi. Penerjemah ke dalam Bahasa Persia: Muhammad Ali
Shaikh, Beheshti University, 1993.
48. Usul-e falsafa wa
rawesh-e-ri`alism, 199-201. Collection of Treatises, 278-279.
49. Nihayatul Hikmah, 239.
50. Usul-e falsafa wa
rawesh-e-ri`alism, 74.
51. Opera Metaphysica, 1,
al-Mashari’ wa al-Mutarahat, 485.
*)
Diterjemahkan oleh Mustamin Al-Mandary, penggiat “Komunitas Mulla Sadra”
Tembagapura-Papua, dari Transcendent Philosophy Journal, Volume 3 No. 1,
Maret 2002 dengan judul “A Comparative Study of The Epistemology of
Suhrawardi and Allamah Thabathaba’i”
a)
Genus adalah suatu kategori yang membedakan sesuatu dengan yang lainnya;
sedangkan differensia, atau spesies, adalah ciri-ciri khusus pembeda
antara satu dengan yang lainnya dalam suatu genus. Differensiasi ini
adalah model pendefenisian yang diperkenalkan oleh Copi dan Cohen.
(penterjemah).
b)
Wujud immateri dapat mengetahui: (a) wujud immateri lainnya yang berada dalam
‘cahaya’ yang sama (longitudinal); (b) wujud immateri lain yang berada
dalam ‘cahaya’ yang lebih tinggi atau lebih rendah dari wujud immateri tersebut
(latitudinal). Tinggi rendahnya ‘cahaya’ ini disebut juga tingkat
‘terang-gelap’ cahaya tersebut. (penerjemah).
c)
Ma’qulaat tsani adalah prinsip-prinsip yang memerlukan pembuktian dan
tergantung kepada ma’qulaat ula. Ma’qulaat ula adalah prinsip yang
mewujud secara a priori, yang buktinya adalah dirinya sendiri. Contoh ma’qulaat
ula adalah aksioma matematis atau hukum logis, misalnya “sesuatu tidak
mungkin menjadi A dan bukan A pada waktu yang sama”. (penerjemah)
d)
Ketika kita menjelaskan manusia sebagai ‘wujud mungkin’, maka pastilah kita
tidak menunjuk seseorang yang sudah menjadi ‘wujud wajib’ secara eksternal,
manusia hanya bisa disifati dengan ‘wujud mungkin’ hanya jika dia belum mewujud
secara eksternal, dalam keadaan ini dia masih menjadi “wujud mungkin’ di dalam
akal. (penterjemah).
e)
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa ‘wujud mungkin’ hanya ada di dalam akal yang
tidak terbatas oleh waktu dan ruang, karenanya sifat ‘wujud mungkin’ tidak bisa
dibatasi oleh apapun, termasuk lawan sifat tersebut yang dipahami sebagai
ekstensi eksternal. (penterjemah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar