Kamis, 27 September 2012

Logika dan Agama


Apakah Logika menentang agama ?

"Man tamanthaqa faqad fazandaqa" , demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, "Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir." Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif? Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mi\ungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia. Sebagai contoh perkataan ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri "Man tamanthaqa faqad fazandaqa" juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil. "Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa." Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif. Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik. Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?                 
            Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah yang amat penting; fardhu. Fardhu adalah kewajiban yang harus dilakukan. Fardhu ‘ain artinya kewajiban bagi tiap individu. Fardhu kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang (masyarakat). Setiap Muslim harus melakukan sesuatu yang di-fardhu-kan oleh Islam, walaupun dalam kasus fardhu kifayah, kewajiban ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah menunaikannya. Berfikir dengan kerangka fiqh, membuat seorang berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah. Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh dosa. Jika mubah tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang. Barang dagangannya "amal" . Labanya "pahala" = "surga". Ruginya "dosa" = "neraka". Dari sudut pandang ini, mungkin ada orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih gamblang lagi apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai Tauhid atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini , mungkin perlu kita tinjau terlebih dahulu dua istilah dalam logika matematika, necessary & sufficient condition. Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat cukup. Apa yang dimaksud dengan syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A jika keberadaan (kebenaran) A memestikan/mem-pasti-kan keberadaan (kebenaran) B.  Contohnya; B : x adalah bilangan nyata positif. A : x adalah bilangan nyata yang lebih dari 3. Maka B adalah syarat mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah suatu bilangan nyata yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan nyata yang positif). Di sisi laim apa yang dimaksud dengan syarat cukup? B disebut syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran) B men-cukup-kan atau mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan (kebenaran) A. Contohnya B : ada dua benda bermuatan listrik berada pada jarak tertentu, A : kedua benda tersebut akan saling tarik menarik atau tolak menolak. B mem-pastikan A, sebaliknya A tidak mempastikan B. Dalam filsafat, manusia didefenisikan sebagai hewan yang berfikir. Jadi jika X manusia pasti X berfikir. Berfikir adalah syarat mesti bagi ke-manusiaan. Jadi jika X tidak berfikir pasti X bukan manusia. Selanjutnya jika X berfikir maka X pasti menggunakan logika/kaidah berfkir. Jadi menggunakan logika merupakan syarat mesti bagi bagi berfikir. Jadi jika X tidak menggunakan logika pasti X tidak berfikir , dan karena itu pasti X bukan manusia. Jadi apakah berfikir dan menggunakan logika itu keharusan? Tidak. Ia bukan keharusan. Tapi suatu kemestian. Suatu keniscayaan. Thou’an au karhan. Sebagai suatu contoh lain yang sederhana, prinsip logika identitas (qanun dzatiyah), bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin kita tinggalkan dalam setiap aktifitas.                                                                                                Pada saat melihat bebek, kita yakin bahwa bebek adal bebek. Pada saat mendengar suara gitar, kita yakin bahwa tiap nada dan suara memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas , kita yakin bahwa panas tersebut memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita bisa mengharuskan logika, sedangkan ia ada "sebelum" kita "ada" dan ia selalu menyertai kemanapun kedipan mata memandang?

Rumah tua itu kosong. Namun ketika dilewati, terdengar rintihan. Kami pun berlari terbirit-birit."Pasti ada hantu di dalamnya." Demikian hadir-nya dan demikian penting prinsip non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat pun yang lolos dari kehadiran dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan yang dikutip di atas. Kalau di susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai berikut. Jika ada suara dari sebuah rumah, pasti ada yang mengeluarkan suara tersebut dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari suara itu, kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Ada berkontradiksi dengan tidak ada, dan karena kontradiksi tidak mungkin, tidak mungkin tidak ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara, yaitu (mungkin) hantu.
Ketidak-mungkinan terjadinya kontradiksi logis dalam realitas ini disebut dengan prinsip non-kontradiksi. Prinsip ini menjadi dasar sekaligus hakikat logika klasik (the very nature of classical logics). Jika diringkas secara simbolis adalah sebagai berikut, A tidak sama dengan (bukan A) dan A sama dengan A sendiri. Tidak ada satu kebenaran apapun yang bisa ditahkik tanpa menggunakan prinsip ini sebelumnya. Meyakini kebenaran prinsip non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi meyakini seluruh kebenaran lain. Dan keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata hadir dalam kesadaran setiap insan.
Orang yang meyakini prinsip non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu proposisi tertentu benar, tidak mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau proposisi tertentu benar, maka proposisi lain yang berkontradiksi dengan proposisi itu pasti salah. Sebaliknya jika suatu proposisi tertentu salah, tidak mungkin pada saat yang sama ia benar. Contohnya; jika kita meyakini proposisi bahwa " Tuhan (Allah) itu Satu." benar, maka proposisi bahwa "Tuhan (Allah) itu dua" atau "Tuhan (Allah) itu tiga" pasti salah. Kenapa ? Karena pernyataan bahwa sesuatu itu satu jelas berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan satu (yaitu dalam hal ini dua atau tiga).
Selanjutnya karena jelas bahwa proposisi "Tuhan(Allah) itu dua" atau "Tuhan(Allah) itu tiga" salah, tidak mungkin mereka benar.
Para materialis, atau lebih akurat lagi Marxis, tidak percaya pada kesahihan prinsip non-kontradiksi. Bahkan lebih jauh, mereka percaya bahwa justru kontradiksi-lah hal yang paling hakiki yang ada merupakan detak jantung seluruh gerak alam ini. Strukturnya: jika ada tesa maka ada anti-tesa yang kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu dua halyang berkontradiksi itu tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu menjadi tesa baru, menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal ini, tesa-antitesa-sintesa, berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan keberadaan.
Contoh logika dialektis ini adalah sebagai berikut.
Tesa = Eksistensi itu ada. Anti-Tesa = Eksistensi bukanlah sesuatu, karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena itu eksistensi tidak maujud (tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi nyata itu menjadi.
Tesa = Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa = Sesuatu yang hidup selalu berubah dan berkembang. Jika A berubah menjadi A’ maka A sebenarnya telah mati dan kematian A merupakan syarat bagi kehidupan A’. Sintesa = setiap maujud hidup membawa kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh kehidupannya.
Bukan menjadi tujuan makalah ini untuk mengkritik logika dialektis sebagai logika dialektis, walaupun itu sebenarnya bukan hal yang sulit. Yang menjadi concern dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut; "Apakah benar klaim kaum materialis (Marxis) bahwa logika dialektis seperti ini menggugurkan prinsi non-kontradiksi? " Jawabannya jelas, salah. Argumennya adalah sebagai berikut.
Pertama, jika prinsip non-kontradiksi gugur, maka suatu proposisi bisa sekaligus benar dan salah, sehingga tidak perlu kita yakini (bahkan tidak perlu kita bicarakan) apakah pernyataan (proposisi) kaum materialis ini benar atau pun salah.
Kedua, pengertian kontradiksi yang dimaksud oleh mereka (kaum materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik. Contohnya dalam contoh kedua. Kehidupan A’ dan kematian A diartikan sebagai suatu kontradiksi. Padahal menurut logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A’ berbeda dengan A). Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam logika klasik.
Selayaknya kita lebih berhati-hati dalam mengkritik sesuatu, apakah sesuatu yang kita kritik itu berdasar lingua-franca ( language-frame) yang benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi atau language-frame yang kita buat sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu yang tidak atau belum ia pahami dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Walhasil, alih-alih kritiknya sahih, malah ia telah mengkritik prinsip non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah cerita lucu, ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa) yang sedang di WC; "Atos? Atos?" Istrinya pun berpikir, jorok bener suaminya ini ? Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa Jawa artinya, keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat suaminya?
wallohu a’lam

Absolutisme versus Relativisme
Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa "kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas? Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa, tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental. Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa.  Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa. Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut. Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi; Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental.  Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat.  Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun. Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua). Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan diuraikan di bawah ini. Rene Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le Discours de la Methode" : "Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena beranggapan bahwa semua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya." Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah. Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah. Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata. Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa? Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan dirinya sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.  Segala jenis penalaran apa [un nafi  Segala jenis pemikiranapa pun tidak absah,  Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun. Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan ketiga. Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles; Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada. Premis minor : Aku befikir. Konklusi : Aku ada. Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya "La discours de la methode"; "Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada." Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika" Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu. Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan.  Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali? Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri. Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya; "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja." Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-, sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ; "Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia."  "Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani."  "Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia."  Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan. Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa? Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri. Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu? Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri. Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja," Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata "gaya" jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang. Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun." (Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya. Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya? Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut. Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah sirna. Wallohu a’lam                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kausalitas dan Korespondensi
Rangka-nya rangka dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itulah prinsip kausalitas.
Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika.
Prinsip kausalitas berbunyi , "Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri." Sifat penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat.
Prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam.
Dan dia bukanlah merupakan hasil "korespondensi" atau "penghubung-hubungan" yang dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua pengalaman inderawi kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.
Dan bagaimana mungkin sebagian orang tersebut menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang?
Maka, mestilah diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?

Kembali kepada Prima-Principia Kemustahilan adanya kontradiksi dalam semua yang maujud. Ini adalah hakikat inti prima-principia, yang disebut dengan prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh). Secara lebih terperinci prima - principia ini terdiri atas tiga prinsip; identitas (qanun dzatiyyah), non-kontradiksi (qanun tanaqudh) dan ketiadaan batas (qanun imtina`). Prinsip identitas artinya sesuatu selalu identik dengan dirinya sendiri. Prinsip non-kontradiksi artinya sesuatu pasti tidak sama dengan yang bukan dirinya sendiri. Prinsip ketiadaan batas artinya sesuatu tidak mungkin sekaligus sesuatu dan bukan sesuatu tersebut pada saat yang bersamaan. Contohnya; Tuhan itu Ada. Dan Ada memiliki makna hanya karena menurut qanun dzatiyyah Ada itu benar-benar Ada. Kemudian, menurut qanun tanaqudh, Ada itu pasti tidak sama dengan tidak Ada. Dan lebih tegas lagi, menurut qanun imtina` , Tuhan itu Ada dan mustahil tidak Ada.  Demikianlah, tidak ada satu kebenaran apa pun yang dapat di-tashdiq tanpa mengakui prima - principia. Karena berarti benar bisa sekaligus salah, dan sebaliknya. Dan bahkan tidak ada satu konsepsi apa pun, baik tunggal maupun majemuk, yang dapat diterima tanpa sebelumnya mengakui prima - principia. Karena segala sesuatu kehilangan identitasnya dan tak mungkin diberi identitas tanpa menerima prinsip ini sebelumnya. Keberadaannya dalam akal manusia niscaya, dan jelas bukan merupakan prinsip yang bisa diturunkan dari fakta maupun prinsip lain. Karena justru prinsip ini-lah tempat semua bangunan pengetahuan manusia bertumpu. Dan kebenarannya dalam alam obyektif tidak mungkin dapat dibantah. Karena dengan menolak kebenarannya kita akan kehilangan keseluruhan makna semua yang maujud. Dan penolakan kepadanya hanyalah karena perbedaan istilah tentang kontradiksi. Sehingga secara hakiki tidak mengubah kebenaran prinsip ini yang Mutlak. Sehingga benarlah jika dikatakan prinsip dasar seluruh bangunan pengetahuan manusia adalah suatu ilmu hudhuriy. Karena prima-principia yang merupakan kenyataan yang paling nyata dari yang nyata ternyata telah hadir dalam akal manusia tanpa memerlukan suatu usaha rasional apa pun. Bahkan sebagian filsuf yakin bahwa pada hakikatnya semua ‘ilmu bersifat hudhuriy. Karena bukankah semua ‘ilmu lain lahir dari, oleh dan untuk prima - principia ini ? Dan bahkan, prinsip kesegalaan,- tidak lain adalah prima - principia -, telah ada secara niscaya pada jiwa manusia, sehingga terkadang manusia disebut sebagai mikro-kosmos. Walaupun secara material manusia sebagian kecil dari alam materi, namun sebagai intellegebles, manusia mengandung hakikat semua yang maujud. Sehingga tak salah jika dikatakan bahwa, seluruh yang ada qua seluruh yang ada telah secara niscaya ada dalam jiwa manusia, in potentia , dengan memahami bahwa belum tentu teraktualisasi sempurna. Apakah itu yang dimaksudkan dengan Tuhan tak mungkin ditampung apapun kecuali di qalbi mu`min?  Dan semoga Ia menjernihkan al-‘aql dari hawa nafsu sehingga jelas tampak semuapyang benar sebagaimana adanya, kabulkan Yaa Allah tunjukilah hatiku yang sesat lagi gelap ini.  wallahu a’lam bish-showwab                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Renungan Hud-HUd
Non-Kontradiksi dan Kausalitas
Merenungi segala yang ada, pertama pasti adas ubyek yang merenung, obyek yang direnugi, maupun relasi antara subyek yang merenung dengan obyek yang direnunginya. Maka, pertama-tama tentu –agar semua renungan lain memiliki makna dan nilai- subyek yang merenung (perenunng) seharusnyalah merenungi dirinya sendiri dan apa sumber-sumber yang membuktikan kebenaran suatu pengetahuian dari dirinya sendiri.
Aristoteles-lah –sejauh pengetahuan penulis- orang yang pertama kali menemukan (‘menyatakan secara formal’) bahwa di antara seluruh prinsip niscaya rasional, prinsip non-kontradiksi (kemustahilan terjadinya kontradiksi logis) merupakan prinsip logis yang paling mendasar. Artinya, tidak mungkin meyakini kebenaran apa pun, -walaupun hanya merupakan kebenaran "inderawi" yang paling sederhana- tanpa menerima prinsip non-kontradiksi
Pernyataan matematis prinsip non-kontradiksi ini tidak lain adalah x sama dengan x, dan x tidak sama dengan selain x, dan tidak pernah akan mungkin sama dengan selain x. yang pertama di sebut prinsip identitas (qanun dzatiyah), yang kedua disebut prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh), dan yang terakhir disebut prinsip ketiadaan batas (qanun imtina’). Ketiga butir prima-principia ini terkadang disebut sebagai prinsip non-kontradiksi.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mungkin menyatakan kebenaran apapun. Karena berarti benar bisa bercampur dengan salah.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mengakui identitas diri sendiri. Karena "aku" bisa saja sama dengan selain "aku".
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini bahkan berakibat hilangnya identitas segala sesuatu. Sehingga segala ini "ada" ataupun "tidak ada" sama saja.
Sehingga, benar jika kita bahwa prinsip non-kontradiksi adalah suatu hukum dasariah segala yang ada. Tak ada suatu pun yang meningkarinya.
Sehigga, dapat dikatakan secara "hudhuriy" prinsip segala yang ada telah ada pada "jiwa" manusia. Karena non-kontradiksi sebagai satu prinsip niscaya pada segala yang ada ternyata niscaya pula pada jiwa manusia.
Sebagai satu prinsip niscaya rasional lain yang tak kalah penting dari "prinsip non-kontradiksi" adalah hukum sebab-akibat. Bunyi hukum sebab-akibat adalah sebagai berikut, "Segala sesuatu memerlukan sebab untuk meng-ada kecuali keberadaan itu sendiri." Adapun beberapa sifat penting hukum kausalitas adalah;
Keselarasan sebab dan akibat. Artinya satu sebab yang sama akan menghasilkan satu akibat yang sama.
Kesemasaan sebab dan akibat. Artinya secara hakiki sebab sebenarnya semasa dengan akibat.
Relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Artinya, dapat dikatakan sebab-lah yang memberikan eksistensi/keberadaan pada, akibat atau sebaliknya akibat meng-ada karena sebab.
Prinsip niscaya rasional kausalitas ternyata merupakan suatu prinsip yang dapat diturunkan dari prinsip yang lebih mendasar; yang prinsip non-kontradiksi. Ini dapat kita buktikan melalui dua poin;
Karena ada artinya memiliki keberadaan, dan sesuatu pasti meliki dirinya, jadi keberadaan pasti ada dengan sendirinya.
Jika ada sesuatu selain keberadaan tanpa sebab yang menyebabkannya ada, maka terdapat tiga kemungkinan.
·         Ia berasal dari ketiadaan. Ini mustahil, karena berarti ada sama dengan tiada.
·         Ia berasal dari sesuatu yang lain. Dalam hal ini sesuatu yang lain itulah "sebab"-nya.
·         Ia tidak berasal dari sesuatu selain dirinya, berarti keberadaannya adalah keberasaan wajib. Padahal ashalah al-wujud jelas menegaskan bahwa tidak ada quiditas (mahiyyah) apapun yang memiliki keberadaan wajib kecuali keberadaan (wujud) itu sendiri.
Sebagian orang percaya bahwa sumber pengetahuan (sumber konsepsi maupun pembenarannya) hanyalah hal-hal yang bersifat inderawi. Tapi pendapat ini mustahil, karena;
Tanpa menerima prinsip niscaya rasional, -yaitu prinsip non-kontradiksi dna prinsip kausalitas-, seluruh yang diindera dan konsepsi inderawi manusia kehilangan hubungan dengan sesuatu yang obyektif yang dicerapnya. Salah satu implikasi dari hal adalah bahkan keberadaan materi pun tidak dapat ditahkik sama sekali.
Bagaimana mungkin sifat dasariah inderawi yang "mungkin benar" dapat digunakan sebagai hujjah bagi sesuatu yang "pasti benar"?
Ketiadaan dan Ketiadaan
Seputas angin mengisi segenap kekosongan. Ah, kekosongan adalah ketiadaan udara atau ruang atas materi-materi lain. Apakah betul? Itukah ketiadaan? Banayangkan ruang dan waktu yang kosong melompong tanpa isi, kemudian tiba-tiba dari relung-relung "ketiadaannya" datanglah dunia materi dengan berbagai nuasa dan peristiwanya ini…,comes into existence…Begitulah kita-ktia "model" penciptaan yang ada di benak banyak orang. Karena itulah perlu pembahasan khusus tentang ketiadaan dalam makalah ini. Model "creatio ex nihilo" seperti yang dibayangkan tersebut lemah. Berikut adalah beberapa kritik atas model "penciptaan" tersebut.
Kritik Pertama
Model hanya menjelaskan penciptaan alam material saja, karena telah di-asumsikan sebelumnya penciptaan tersebut ada dalam batasan-batasan ruang dan waktu yang kosong melompong. Model pencipataan seperti ini tidak menjelaskan apapun tentang penciptaan alam immaterial yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Kritik Kedua
Yang disebut ketiadaan dalam model tersebut tidak benar-benar ketiadaan mutlak. Karena "ketiadaan" dalam model penciptaan tersebut adalah kekosongan dalam ruang dan waktu, sehingga paling tidak dapat dikatakan telah ada ruang dan waktu.
Jadi ada dua jenis ketiadaan;
Ketiadaan relatif yang menjadi makna dari non-existence. Non-existence ini mempunyai dua makna.
Pertama, ketiadaan sesuatu yang keberadaannya masih mungkin. Contohnya, ketiadaan jagung (spasio-temporal), ketiadaan hewan mamalia yang berkaki sejuta, dan lain-lain. Kedua, ketiadaan sesuatu di antara sesuatu-sesuatu yang lain yang ada. Contohnya; ketiadaan buku pada sbuah mejad. Ketiadaa seperti ini masih mempunyai derajat "keberadaan" tertentu. Kenapa, karena ketiadaan tersebut masih sama sekali artinya dingin, dan dingin efek. Contoh lain, bisakah Anda mendorong ruang hampa/udara kosong? Bukahkah ketiadaan suatu materi tertentu di udara kosong ini mempunyai efek. Anda tidak bisa mendorongnya?
Yang kedua adalah ketiadaan mutlak (al-‘adam al-muthlaq). Yaitu ketiadaan yang menjadi makna dari nothingness. Keitadaan mutlak ini benar-benar tidak ada sehingga tidak mempunyai efek apapun. Bahkan sebutan konsep ketiadaan mutlak ini-pun sebenarnya masih mempunyai eksistensi di alam mental kita sehingga tidak mencerminkan hakikat ketiadaan mutlak ini. Jika nihilo artikan sebagai nothingness (ketiadaan mutlak/al-‘adam al-muthalq), maka teori creatio ex nihilo tidak mempunyai makna sama sekali.
Wujud qua Wujud itu Tunggal
Hakikat Tuhan adalah
Wujud qua Wujud
Prinsip kausalitas ; bahwa segala sesuatu yang maujud memerlukan sebab agar meng-ada, tentu kecuali keberadaan itu sendiri ; merupakan satu prinsip yang telah hadir secara fitri dalam akal filosofis manusia. Setiap pemikir mau tidak mau mesti menggunakan prinsip ini, sebagaimana juga prinsip non-kontradiksi, untuk melandasi seluruh teori dan pengetahuannya.
Dalam alam kausalitas ini, Tuhan sebagai Pencipta sekalian alam, tidak lain dimengerti sebagai Sebab Pertama (Causa -Prima). Artinya sebab yang bukan merupakan akibat dari sebab lain. Karena kalau Tuhan bukan Sebab pertama berarti Ia bukanlah Pencipta dari sekalian alam, malahan dapat dikatakan ia diciptakan. Maha Suci Tuhan dari semua yang mereka sifatkan!
Sebagai Sebab Pertama, hakikat Tuhan adalah keberadaan-Nya. Keberadaan-Nya tidak lain adalah keberadaan sebagai keberadaan (wujud qua wujud) atau Al-Wujud Al-Muthlaq.
Bukti. Kalau hakikat Tuhan bukan keberadaan itu sendiri, maka pasti Ia memerlukan sebab untuk mengada. Sebab untuk mengada yang diperlukan ini ada dua kemungkinan
Sebab itu adalah diri-Nya sendiri. Kemungkinan ini mustahil, karena akan terjadi rantai sebab akibat tanpa ujung.
Sebab itu adalah selain diri-Nya sendiri. Jika kemungkinan ini benar maka Tuhan bukan Sebab Pertama. Atau dengan kata lain Tuhan adalah bukan Tuhan. Dan ini mustahil juga karena merupakan suatu kontradiksi logis.
Jadi Tuhan itu Tunggal. Karena wujud qua wujud itu tunggal.
Dan Tuhan tidak terbagi atau tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil. Karena wujud qua wujud itu tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil.
Bukti bahwa wujud qua wujud tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil adalah sebagai berikut. Jika wujud qua wujud tersusun atas bagian yang lebih kecil, maka ada dua kemungkinan
Ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Maka ini mustahil karena akan menghasilkan rantai tanpa ujung.
Tidak ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Ini pun mustahil karena dengan demikian wujud qua wujud tidak mempunyai keberadaan.
Dan Tuhan tidak terikat oleh "ke-kapanan" maupun "ke-dimana-an" apapun. Karena ke-kapanan maupun ke-dimana-an pasti terbagi. Ke-kapanan membagi masa menjadi sekarang, esok, lusa. Ke-dimana-an membagi posisi menjadi di sana, di situ dan lain-lain. Sedang Tuhan tidak terbagi.
Dan Tuhan itu bukanlah suatu substansi bukan pula aksiden, jika dilihat dari hakikatnya, kecuali secara aksidental. Karena dari defenisinya1 substansi adalah mahiyyah yang diaktualisasi di alam eksternal yang tidak memerlukan substratum (dasar), sedang wujud bukanlah mahiyyah. Wujud bukan pula aksiden, karena aksiden memerlukan substratum, sedang wujud pasti tidak memerlukan substratum apa-pun, karena substratum apa-pun justru memerlukannya untuk mengada. Wujud tidak mungkin merupakan substansi maupun aksiden, kecuali secara aksidental saja. Suatu wujud partikular merupakan substansi melalui ke-substansi-an mahiyyah yang berkaitan, dan ia merupakan aksiden melalui ke-aksiden-an mahiyyah yang berkaitan. Konsep wujud adalah aksiden dalam artian konsep ini adalah suatu predikat yang disarikan dari subyek-subyeknya.
Dan tidak ada apapun yang bisa dilawankan dengan Tuhan, tidak pula ada suatu yang mirip dengan-Nya. Karena dua hal yang berlawanan mempunyai beberapa syarat;
·         sama-sama ada
·         mempunyai substratum yang sama
·         mempunyai perbedaan yang ekstrim
·         dapat diklasifikasikan di dalam genus yang berdekatan / kira-kira sama
Sedang wujud tidak punya substratum, tidak pula punya genus, dan tidak pula jarak (beda) yang ekstrim terhadap apa – pun.. Karena itu pemisahan mahiyyah dari wujud adalah suatu "pembubuhan/penghiasan" mahiyyah oleh wujud. Lebih lanjut, tidak ada suatu apa pun yang mirip dengan wujud. Karena, dua hal yang mirip adalah dua hal yang mempunyai suatu yang sama dalam mahiyyah – nya, sedang wujud bukanlah mahiyyah.
Ketakmampuan akal dlm memahami
Wujud qua Wujud
Pluralitas dan mahiyyah
Dunia ini jamak. Ada kuda. Ada manusia. Ada gunung. Ada laut. Ada sebab. Ada akibat. Ada jauhar. Ada aksiden. Ya, seolah ada banyak "sesuatu-sesuatu". Benarkah ada banyak sesuatu-sesuatu? Tapi bukankah keberadaan-nya tunggal. Keberadaan-nya satu?
Jelas pluralitas yang tampak di alam ini bukan merupakan pluralitas wujud. Karena telah dibuktikan bahwa wujud itu tunggal. Jadi pluralitas timbul dari sesuatu selain wujud. Apakah itu?
Yang menyebabkan kita membedakan kuda dengan manusia, tidak lain adalah ke"apa" an dari kuda dan ke"apa" an dari manusia. Bukan keberadaan-nya. Ke"apa"an tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan apa itu .................? Istilah Arab dari ke"apa"an adalah mahiyyah. Istilah lain yang menunjukkan ke"apa"an adalah quiditas atau esensi.
Ke"apa"an merupakan sumber pluralitas. Subyek pengamat, mengquidifikasi berbagai hal, sehingga keberadaan yang tunggal memiliki berbagai "keapaan" dalam jiwa subyek pengamat. Jadi jelas karena ke"apa"an bersifat subyektif, pluralitas-pun bersifat subyektif. Belum tentu mereka bersifat obyektif.
Faham ‘ashalatul-wujud menyatakan yang benar-benar nyata hanyalah wujud, sedang mahiyyah tak nyata. Jadi menurut faham ini mahiyyah tak obyektif. Pluralitas pun tak obyektif. Yang nyata, yang obyektif hanyalah Tuhan, wujud qua wujud, Yang Tunggal.
‘Ashalatul-wujud merupakah faham yang didukung dan dibuktikan secara rasional oleh para filsuf pengikut Mulla Shadra maupun didukung dan dibuktikan secara intuitif oleh para ahli ‘irfan seperti ‘Ibn ‘Arabi.
’Ashalah al-Wujud
Merenungi seluruh yang maujud, dalam aliran Sholawat, maka selalu kita arungi. buih-buih mahiyyah (ke-apa-an, quiditas) pada satu ketunggalan, satu keberadaan, satu Wujud Mutlak. Maka, karena mahiyyah menimbulkan kejamakan (al-katsrah) sedang wujud adalah ketunggalan (al-wahdah), maka inilah yang disebut al-wahdah fi al-katsrah dan al-katsrah fi al-wahdah.
Maka dari samudera ke-apaan dan keberadaan,. ada tiga kemungkinan
Baik mahiyyah maupun wujud qua wujud sama-sama real,- ada di alam nyata, tidak hanya di alam fikiran atau jiwa subyek pemikir (manusia).
Yang real adalah mahiyyah, sedang wujud qua wujud hanyalah ada di alam fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-mahiyyah.
Yang real adalah wujud qua wujud, sedang mahiyyah hanyalah ada di alam fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-wujud.
Paham pertama, bahwa baik mahiyyah maupun wujud qua wujud sama-sama nyata, merupakan paham yang "sesuai" dengan common-sense atau feeling orang banyak. Pendapat ini salah. Buktinya, jika mahiyyah dan wujud qua wujud sama-sama nyata, maka karena mahiyyah itu banyak, sedang wujud qua wujud itu tunggal, maka realitas itu banyak sekaligus tunggal. Dan ini kontradiksi. Jadi tidak mungkin keduanya sama-sama nyata dalam artian yang hakiki.
Paham kedua, bahwa yang nyata dan benar-benar ada adalah mahiyyah tidak benar. Buktinya diperoleh dengan membuktikan bahwa paham ketiga-lah, -yaitu ‘ashalah al-wujud-, yang benar.
Paham ketiga, ‘ashalah al-wujud merupakan paham yang benar. Buktinya yang paling mudah adalah sebagai berikut;
Pertama, wujud qua wujud pasti benar-benar ada, karena ada artinya memiliki keberadaan, sedangkan wujud qua wujud tidak lain adalah keberadaan itu sendiri.
Kedua, wujud sesuatu merupakan sumber semua "penilaian" atas sesuatu tersebut. Tidak mungkin mensifati apapun, tanpa meyakini sesuatu tersebut memiliki wujud terlebih dahulu.
Ketiga, bagaimana mungkin mahiyyah yang benar-benar ada, sedang wujud lah yang membuat segala sesuatu meninggalkan keadaan "kesamaan"-nya? Keadaan "kesamaan" artinya kemungkinan ada sama dengan kemungkinan tidak ada, dan seluruh mahiyyah yang tidak mempunyai wujud terletak pada keadaan ini.
Masih ada bukti-bukti lain yang lebih rumit yang dapat dibaca di Syarh-e Manzhumeh dari Guru kita semua YM. Mulla Hadi Sabzavary, semoga rohnya dimuliakan-Nya.
Satu argumen yang menentang ‘ashalah al-wujud adalah sebagai berikut. Sekiranya wujud itu benar-benar ada, maka wujud adalah suatu maujud. Karena wujud itu maujud, maka sebagai maujud ia perlu memiliki wujud. Dan selanjutnya wujud berikut ini pun adalah maujud yang perlu memiliki wujud, dan seterusnya (ad infinitum). Ini merupakan suatu petitio principii yang membentuk rantai argumen tanpa ujung yang mustahil. Argumen tersebut salah. Letak kesalahannya adalah di awal, cukup kita katakan bahwa wujud itu memiliki dirinya sendiri, karena segala sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu wujud pasti ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab yang memberinya wujud/keberadaan. Dan titik. Wallahu a’lam..
Kesempurnaan dan Wujud
Merenungi keindahan alam, lebur dalam Ke-Indahan dan Ke-Sempurnaan Zat-Nya, al-faqir berfikir tentang apa makna kesempurnaan. Sesuatu disebut sempurna jika ia memiliki kesempurnaan. Kesempurnaan sulit didefinisikan, jika pun mungkin. Tapi sekurangnya, ada syarat mesti sesuatu disebut sempurna, yaitu tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Karena sesuatu disebut sempurna jika memiliki kesempurnaan, maka pasti kesempurnaan itu sendiri sesuatu yang sempurna, karena sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu jika kita meninjau kesempurnaan qua kesempurnaan, pasti ia tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Tidak membutuhkan dari segala modalitas (sudut pandang) apa pun yang mungkin.
Karena itu Kesempurnaan mesti-lah identik dengan Wujud (Keberadaan) itu sendiri.
Kenapa? Karena jika Kesempurnaan tidak identik dengan Wujud, maka ia mebutuhkan sebab untuk maujud. Karena ia membutuhkan sebab untuk maujud, maka ia tidak sempurna. Karena ia tidak sempurna, maka ia pasti ia bukan-lah Kesempurnaan. Ini suatu kontradiksi. Jadi Kesempurnaan harus identik dengan Wujud.
Atau, dengan kata lain, Kesempurnaan adalah Hakikat Zat-Nya. Karena Wujud adalah hakikat Zat-Nya.
Dan, benar bahwa Kesempurnaan tidak mungkin didefinisikan. Karena Wujud tidak dapat didefinisikan.
Dan, Kesempurnaan itu basith (sederhana, tidak tersusun). Karena mustahil bagi Wujud bersifat tidak basith.
Mungkin banyak hikmah yang akan tercurah bagi kita untuk merenungi saduran kutipan dari "40-Hadits" Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini, pada saat beliau menjelaskan hadis ke-36 tentang Sifat Zattiyyah Allah Swt;
"Dengan demikian, maka jika Allah Swt. itu sederhana dan sempurna, dan jauh dari sesuatu yang menjadi keniscayaan makhluk,- yang butuh dan memerlukan sesuatu yang lain-, maka Allah Swt sempurna dilihat dari semua sisi, mencakup semua nama dan sifat, hakikat yang asli, dan Wujud yang badihi yang tidak dimasuki ketiadaan,Wujud yang di dalamnya tidak bercampur antara yang sempurna dan tidak sempurna. Dengan demikian, Allah adalah Wujud yang hakiki. Sebab, kalau sekiranya ketiadaan masuk ke dalamnya, pasti terbentuk kekurangan sesuatu yang tersusun (tidak basith), yaitu hubungan antara ketersusunan Wujud dengan al-‘adam (ketiadaan). Dia Mengetahui, Hidup, Berkuasa, Melihat, Mendengar dalam arti hakiki. Berdasarkan alasan ini, maka benarlah Imam Ash-Shadiq (a.s.) ketika beliau bersabda, " Mengetahui adalah Zat-Nya. Berkuasa, Mendengar, dan Melihat adalah Zat-Nya." (Catatan : Kutipan diambil dari terjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Tapi beberapa kalimat dirubah oleh al-faqir, hanya untuk memperjelas arti kutipan, karena terjemahan sama sekali tidak jelas), wallohu a’lam.
Emanasi
Wujud yang satu, tunggal dan tiada terbagi. Satu-nya bukanlah satu bilangan rasional. Bukan pula bilangan nyata. Satu-nya tidak memungkinkan untuk men-dua. Tidak mungkin pula diambil setengah-nya. Satu ahadiyyul-ma’na.
Wujud yang Sempurna tiada terkata. Bahkan Ia -lah kesempurnaan itu sendiri. Kesempurnaan dari segala seginya. Yang tak dapat dipilah - pilah ke dalam fractal -fractal penyifatan manusia nan senantiasa terkurung oleh keterbatasannya yang esensial. Kesempurnaan yang jika kita mengerti dari segi - seginya yang terpisah, akan meruntuhkan makna sejatinya.
Wujud yang Luas tiada terbatas oleh apa-pun. Karena jika pun ada pembatasnya; pembatasnya tidak lain adalah ketiadaan mutlak yang bahkan tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh akal manusia. Luas dalam semua aspeknya. Mutlak dalam seluruh segi-nya.
Bagaimana mungkin Wujud yang Tunggal, Sempurna dan Luas Tiada Berbatas ini menampakkan dirinya dalam mahiyyah - mahiyyah yang tersebar dalam alam kejamakan, tidak sempurna dan terbatas, tak terhingga banyaknya tersebar dalam milyunan ruang, milyunan waktu dan milyunan alam ini ?
Rantai kausalitas yang mungkin adalah sebagai berikut. Wujud tunggal akan mengakibatkan sesuatu yang tunggal pula. Sesuatu yang tidak terbagi pula. Hanya sesuatu ini telah kehilangan sifat Sempurna dan Mutlak - nya. Karena minimal ia membutuhkan Sebab untuk meng - ada.
Kemudian dari Wujud dan sesuatu itu, terdapat tiga sesuatu yang mungkin menjadi sebab; (sesuatu itu sendiri), (Wujud, sesuatu tersebut) dan (sesuatu tersebut, Wujud) sehingga mungkin dihasilkan sebagai akibat tiga sesuatu yang lain. Tentu dua sesuatu yang terakhir sudah kehilangan sifat tunggal dan tiada terbaginya, maupun kesempurnaan dan kemutlakannya. Dua sesuatu ini telah memiliki sifat tidak sempurna maupun tidak mutlak (karena minimal memerlukan sebab untuk mengada), tersusun (karena sebabnya tersusun) dan relatif (karena sebabnya tersusun atas relasi antara dua sesuatu yang lain).
Kemudian dari lima sesuatu ini dapat diturunkan lagi dengan memperhatikan seluruh relasi sebab yang mungkin, dan seterusnya. Sehingga akhirnya, dari Wujud yang Tunggal muncullah alam yang jamak ini.
Pandangan "kosmologi" seperti yang diuraikan di atas disebut sebagai teori emanasi. Tapi perlu dicatat, versi teori yang dituliskan ini tidak sama persis dengan teori emanasi menurut penemu aslinya, Ibnu Sina. Sengaja pula tidak diberikan "nama-nama" dari sesuatu - sesuatu tersebut, karena penamaannya sebenarnya tidaklah esensial dan bahkan dikhawatirkan membingungkan orang yang pertama kali mencoba memahaminya.
Beberapa sifat penting dari emanasi Wujud diberikan sebagai berikut.
Emanasi Wujud tidak tergantung waktu maupun ruang, bahkan ruang dan waktu-lah yang tergantung padanya. Jadi tidak dapat ditanyakan kapankah (atau dimanakah) emanasi terjadi? Atau bahkan dapat dikatakan pula setiap saat di setiap ruang apa pun atau pun di setiap sesuatu yang tak dapat diperikan oleh ruang dan waktu apa pun terjadi emanasi Wujud.
Semua sesuatu selain Wujud dalam emanasi tidak memiliki Wujud sejati. Karena menurut ashalah al-wujud Yang Nyata Wujud-Nya hanyalah Wujud. Dan mahiyyah hanyalah memiliki eksistensi "imajiner".
Sehingga semua selain Wujud hanyalah ada di alam mental. Karena itu tidak salah kalau semua selain Wujud disebut Akal.
Sehingga sesuatu yang pertama muncul dari Wujud disebut sebagai Akal Pertama atau Akal Universal. Karena seluruh akal lain meniscayakan eksistensinya sebagai dalam rantai kausalitasnya.
Atau terkadang Akal Pertama juga disebut sebagai Nur Muhammad. Karena nuur inilah yang memungkinkan Wujud menyatakan dirinya dalam selainnya di alam akal, sehingga secara reciprocal dapat dinyatakan nuur inilah yang memberikan "eksistensi mental pertama" , "pemahaman pertama", Wujud atas dirinya sendiri. Nuur inilah Kegemilangan Mata Air Wujud dalam "memuji / memahami" dirinya sendiri.
Sehingga tak salah jika dikatakan seluruh-nya "dicipta" dari Nur Muhammad. Sebagaimana dipercayai oleh sebagian orang, bahwa yang pertama kali dicipta adalah Nur Muhammad, dan semua selain itu diciptakan lewat eksistensi Nur Muhammad.
Jelas tahapan Nur Muhammad tak terbatas ruang dan waktu. Karena ruang maupun waktu terbagi sedang Nur Muhammad tak terbagi.
Dan eksistensinya sebagai sebab niscaya pada se-gala selain Wujud. Rantai emanasi manapun pasti melewatinya.
Sehingga benarlah jika kita katakan bahwa "dalam" segala "terdapat" Wujud maupun Nur Muhammad. Walau harus dipahami tidak ada persatuan material apa pun.
Sehingga semoga mencukupi jika kita akhiri makalah ini dengan, Innallooha wa malaa`ikatahu yusholluuna ‘alan - nabiy. Yaa ayyuhalladziina aamanuu sholluu ‘alaihi wasalimuu tasliimaa....
.
wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar