Apakah Logika menentang agama ?
"Man tamanthaqa faqad
fazandaqa" , demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di
dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, "Barang siapa menggunakan logika maka ia
telah kafir." Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah
memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa
pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif,
bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika
kebenaran sikap seperti ini fuzzy
atau relatif? Logika adalah
kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi
bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam
nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika
bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil
(tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mi\ungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri,
dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah
tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan
selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja
realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah
satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the
very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut
dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran
dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti
meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh
pengetahuan manusia. Sebagai contoh perkataan ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika
misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena
menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau
prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak
bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan
sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu
sendiri "Man tamanthaqa faqad fazandaqa" juga nafi. Tak bermakna.
Tak perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja
dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk
membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah
menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi
sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar
ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar,
semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil. "Wa qul jaa ‘al-haqqa
wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa." Dalam pandangan
saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang
benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan
tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran
yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan
pewaris mazhab pemikiran sophisme,
yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras,
Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari
gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan
golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan
Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap
golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa
salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak
memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang
tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan
Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam
yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan
pemiokirannya pada language games ala
Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa
nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif. Adapun sufastaiyyah,
misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip
non-kontradiksi. Hanya Protagoras
meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan
hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum
segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas
fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama.
Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan
keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik. Penerapan
kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada
keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The
Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles
dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u
bainal-‘addaad (coincindentia in
oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir
nya. Mulla
Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya.
Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah
sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang
mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates,
digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan
sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat
menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn
‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi
terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis
di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke
Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan
kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat.
Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan
dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah yang
amat penting; fardhu. Fardhu adalah kewajiban yang harus
dilakukan. Fardhu ‘ain artinya
kewajiban bagi tiap individu. Fardhu
kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang (masyarakat). Setiap
Muslim harus melakukan sesuatu yang
di-fardhu-kan oleh Islam, walaupun
dalam kasus fardhu kifayah, kewajiban
ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah menunaikannya. Berfikir dengan
kerangka fiqh, membuat seorang
berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah.
Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh dosa. Jika mubah
tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang. Barang dagangannya
"amal" . Labanya "pahala" = "surga". Ruginya
"dosa" = "neraka". Dari sudut pandang ini, mungkin ada
orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih gamblang
lagi apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai Tauhid
atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini , mungkin perlu kita tinjau terlebih
dahulu dua istilah dalam logika matematika, necessary
& sufficient condition. Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat
cukup. Apa yang dimaksud dengan syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A
jika keberadaan (kebenaran) A memestikan/mem-pasti-kan keberadaan (kebenaran)
B. Contohnya; B : x adalah bilangan
nyata positif. A : x adalah bilangan nyata yang lebih dari 3. Maka B adalah
syarat mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah suatu bilangan
nyata yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan
nyata yang positif). Di sisi laim apa yang dimaksud dengan syarat cukup? B
disebut syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran) B men-cukup-kan atau
mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan (kebenaran) A. Contohnya B :
ada dua benda bermuatan listrik berada pada jarak tertentu, A : kedua benda
tersebut akan saling tarik menarik atau tolak menolak. B mem-pastikan A,
sebaliknya A tidak mempastikan B. Dalam filsafat, manusia didefenisikan sebagai
hewan yang berfikir. Jadi jika X manusia pasti X berfikir. Berfikir adalah
syarat mesti bagi ke-manusiaan. Jadi jika X tidak berfikir pasti X bukan
manusia. Selanjutnya jika X berfikir maka X pasti menggunakan logika/kaidah
berfkir. Jadi menggunakan logika merupakan syarat mesti bagi bagi berfikir.
Jadi jika X tidak menggunakan logika pasti X tidak berfikir , dan karena itu
pasti X bukan manusia. Jadi apakah berfikir dan menggunakan logika itu
keharusan? Tidak. Ia bukan keharusan. Tapi suatu kemestian. Suatu keniscayaan. Thou’an au karhan. Sebagai suatu contoh
lain yang sederhana, prinsip logika identitas
(qanun dzatiyah), bahwa sesuatu itu
sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin kita tinggalkan dalam setiap
aktifitas.
Pada saat melihat bebek, kita yakin bahwa bebek adal bebek. Pada saat mendengar
suara gitar, kita yakin bahwa tiap nada dan suara memiliki identitasnya
sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas , kita yakin bahwa panas tersebut
memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita bisa mengharuskan logika,
sedangkan ia ada "sebelum" kita "ada" dan ia selalu menyertai
kemanapun kedipan mata memandang?
Rumah
tua itu kosong. Namun ketika dilewati, terdengar rintihan. Kami pun berlari
terbirit-birit."Pasti ada hantu
di dalamnya." Demikian hadir-nya
dan demikian penting prinsip non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat
pun yang lolos dari kehadiran dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan
yang dikutip di atas. Kalau di susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai
berikut. Jika ada suara dari sebuah
rumah, pasti ada yang mengeluarkan
suara tersebut dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari suara itu, kita tetap
yakin ada yang mengeluarkan suara
rintihan tersebut. Ada berkontradiksi
dengan tidak ada, dan karena
kontradiksi tidak mungkin, tidak mungkin tidak
ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara, yaitu
(mungkin) hantu.
Ketidak-mungkinan
terjadinya kontradiksi logis dalam realitas ini disebut dengan prinsip
non-kontradiksi. Prinsip ini menjadi dasar sekaligus hakikat logika klasik (the very nature of classical logics).
Jika diringkas secara simbolis adalah sebagai berikut, A tidak sama dengan (bukan A) dan A sama dengan A sendiri. Tidak
ada satu kebenaran apapun yang bisa ditahkik tanpa menggunakan prinsip ini
sebelumnya. Meyakini kebenaran prinsip non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi meyakini
seluruh kebenaran lain. Dan keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata hadir
dalam kesadaran setiap insan.
Orang yang meyakini
prinsip non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu proposisi tertentu benar,
tidak mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau proposisi tertentu benar,
maka proposisi lain yang berkontradiksi dengan proposisi itu pasti salah.
Sebaliknya jika suatu proposisi tertentu salah, tidak mungkin pada saat yang
sama ia benar. Contohnya; jika kita meyakini proposisi bahwa " Tuhan
(Allah) itu Satu." benar, maka proposisi bahwa "Tuhan (Allah) itu
dua" atau "Tuhan (Allah) itu tiga" pasti salah. Kenapa ? Karena
pernyataan bahwa sesuatu itu satu jelas berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan
satu (yaitu dalam hal ini dua atau tiga).
Selanjutnya karena jelas
bahwa proposisi "Tuhan(Allah) itu dua" atau "Tuhan(Allah) itu
tiga" salah, tidak mungkin mereka benar.
Para materialis, atau
lebih akurat lagi Marxis, tidak percaya pada kesahihan prinsip non-kontradiksi.
Bahkan lebih jauh, mereka percaya bahwa justru kontradiksi-lah hal yang paling
hakiki yang ada merupakan detak jantung seluruh gerak alam ini. Strukturnya:
jika ada tesa maka ada anti-tesa yang kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu
dua halyang berkontradiksi itu tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini
lalu menjadi tesa baru, menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal
ini, tesa-antitesa-sintesa, berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa
batas. Ia bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan
keberadaan.
Contoh logika dialektis
ini adalah sebagai berikut.
Tesa =
Eksistensi itu ada. Anti-Tesa =
Eksistensi bukanlah sesuatu, karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena
itu eksistensi tidak maujud (tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi
tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi
nyata itu menjadi.
Tesa =
Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa =
Sesuatu yang hidup selalu berubah dan berkembang. Jika A berubah menjadi A’
maka A sebenarnya telah mati dan kematian A merupakan syarat bagi kehidupan A’.
Sintesa = setiap maujud hidup membawa
kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh kehidupannya.
Bukan menjadi tujuan
makalah ini untuk mengkritik logika dialektis sebagai logika dialektis,
walaupun itu sebenarnya bukan hal yang sulit. Yang menjadi concern dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut; "Apakah
benar klaim kaum materialis (Marxis) bahwa logika dialektis seperti ini
menggugurkan prinsi non-kontradiksi? " Jawabannya jelas, salah. Argumennya adalah sebagai
berikut.
Pertama, jika prinsip non-kontradiksi
gugur, maka suatu proposisi bisa sekaligus benar dan salah, sehingga tidak perlu
kita yakini (bahkan tidak perlu kita bicarakan) apakah pernyataan (proposisi)
kaum materialis ini benar atau pun salah.
Kedua, pengertian kontradiksi yang
dimaksud oleh mereka (kaum materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik.
Contohnya dalam contoh kedua. Kehidupan A’ dan kematian A diartikan sebagai
suatu kontradiksi. Padahal menurut
logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A’ berbeda dengan A).
Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam logika klasik.
Selayaknya kita lebih
berhati-hati dalam mengkritik sesuatu, apakah sesuatu yang kita kritik itu
berdasar lingua-franca ( language-frame) yang
benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi
atau language-frame yang kita buat
sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia
adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu yang tidak atau belum ia pahami
dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Walhasil, alih-alih kritiknya
sahih, malah ia telah mengkritik prinsip
non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah
cerita lucu, ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa)
yang sedang di WC; "Atos? Atos?" Istrinya pun berpikir, jorok bener
suaminya ini ? Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa
Jawa artinya, keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat
suaminya?
wallohu a’lam
Absolutisme versus Relativisme
Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa
"kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di
rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan
bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme.
Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini
kita buktikan secara lebih jelas? Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa
struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang
dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh
ini akan ada tiga alam; alam mental,
tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran
manusia; dan alam bahasa, tidak lain
himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya,
keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal.
Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental.
Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa. Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya
jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental,
eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya
setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh manusia mungkin
ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam
fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen
dengan pernyataanya di alam bahasa. Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis
yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak
tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau
"keyakinan" dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan
keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa
bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut.
Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia
bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu
aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi; Ia yakin bahwa tidak mungkin apa
yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam
mental. Ia yakin bahwa tidak mungkin
menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat. Poin pertama menghancurkan hubungan antara
alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan
dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia
tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua
menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan
manusia apa pun. Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak
mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua
proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan
keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua)
tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika
tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya
(poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar
pon kedua). Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme
parsial yang akan diuraikan di bawah ini. Rene Descartes, yang
sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le
Discours de la Methode" : "Berhubung
indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa
ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat
bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling
sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya
sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran
yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena
beranggapan bahwa semua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga
datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk
berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal
lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya
menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya
sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa
kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan
kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya." Pertama, Descartes meyakini
ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah. Kedua, Descartes meyakini
ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah. Ketiga, Descartes
meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang
khayal (atau mimpi) dan yang nyata. Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa? Pertama, karena argumentasi
ini menghancurkan dirinya sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut
ini, jelas Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus
total. Segala jenis penalaran apa [un
nafi Segala jenis pemikiranapa pun tidak
absah, Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia
mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun. Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat
kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya
adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini
bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera
selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi
pada proposisi kedua dan ketiga. Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini
ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah
ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka
aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran
silogisme Aristoteles; Premis minor :
Sesuatu yang berfikir pasti ada. Premis minor : Aku befikir. Konklusi : Aku
ada. Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua
paragraf berikutnya "La discours de la methode"; "Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya
ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya
melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada." Analisa
historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika" Descartes
sebagai upaya untuk melawan sketisisme
yang merajalela saat itu. Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum
logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu
pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif,
dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia sama sekali.
Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan.
Pertama, pernyataan bahwa
suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti
harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini
salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis
sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali? Kedua, jika artinya subyek-subyek
metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal
ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini
pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi
ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh
Kant sendiri. Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang
dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya; "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara
jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja."
Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat
diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-, sehingga
sebaiknya didiamkan saja, yaitu ; "Subyek tidak termasuk dalam lingkup
dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia." "Kematian
bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan
merupakan kehidupan yang dijalani."
"Allah tidak menyatakan
diri-Nya dalam dunia." Jadi,
jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah
mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya
kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan. Relativisme parsial ala Wittgenstein
tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam
kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang
dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam
non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas
pendapatnya salah. Kenapa? Karena
argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri. Pada saat Wittgeinstein
membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena
mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia
memperoleh kesimpula itu? Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri,
bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya
setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili
suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh
kesimpulan tentang subyek, kematian, dan
Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya.
Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam
mentalnya sendiri. Proposisi, "Sesuatu
yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu
yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja," Ini sendri tidak
jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti
"jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata
"gaya" jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya
bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan
sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi
bukan jambu? Jadi karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak
dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri,
didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang. Keadaan orang yang
meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun ‘umyun fahum
laa yarji’uun." (Mereka
tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah
kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya.
Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan
keyakinannya? Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan
ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia
tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam
fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau
mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan
apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun
atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut.
Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa
zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah
tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu
benar-benar sirna). Yang benar tetap
benar, dan harus kita katakan benar.
Yang salah tetap salah, dan mestilah
sirna. Wallohu a’lam
Kausalitas dan Korespondensi
Rangka-nya rangka dari seluruh sains maupun ilmu
pengetahuan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itulah prinsip kausalitas.
Ketika
Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang
mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam
fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir
mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas.
Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika.
Prinsip
kausalitas berbunyi , "Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada,
kecuali keberadaan itu sendiri." Sifat penting kausalitas pertama adalah
keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama.
Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi
eksistensial antara sebab dan akibat.
Prinsip kausalitas adalah hukum
dasar alam. Karena tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai
hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the very properties of being,
tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi
alam.
Dan dia bukanlah merupakan
hasil "korespondensi" atau "penghubung-hubungan" yang
dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana
yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua
pengalaman inderawi kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa
ditahkik keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.
Dan bagaimana mungkin sebagian
orang tersebut menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara
berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang datanglah malam.
Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan
malam adalah penyebab siang?
Maka, mestilah diterima ke -
obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah prinsip
psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima
adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu
sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga
mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti
yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya
alam spiritual atau alam intelligebles.
Sebagaimana para fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang
lagi?
Kembali kepada Prima-Principia Kemustahilan
adanya kontradiksi dalam semua yang maujud. Ini adalah hakikat inti
prima-principia, yang disebut dengan prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh). Secara lebih terperinci
prima - principia ini terdiri atas tiga prinsip; identitas (qanun dzatiyyah), non-kontradiksi (qanun tanaqudh) dan ketiadaan batas (qanun imtina`). Prinsip identitas
artinya sesuatu selalu identik dengan dirinya sendiri. Prinsip non-kontradiksi
artinya sesuatu pasti tidak sama dengan yang bukan dirinya sendiri. Prinsip
ketiadaan batas artinya sesuatu tidak mungkin sekaligus sesuatu dan bukan
sesuatu tersebut pada saat yang bersamaan. Contohnya; Tuhan itu Ada. Dan Ada
memiliki makna hanya karena menurut qanun
dzatiyyah Ada itu benar-benar Ada. Kemudian, menurut qanun tanaqudh, Ada itu pasti tidak sama dengan tidak Ada. Dan
lebih tegas lagi, menurut qanun imtina` ,
Tuhan itu Ada dan mustahil tidak Ada.
Demikianlah, tidak ada satu
kebenaran apa pun yang dapat di-tashdiq
tanpa mengakui prima - principia. Karena berarti benar bisa sekaligus
salah, dan sebaliknya. Dan bahkan tidak
ada satu konsepsi apa pun, baik tunggal maupun majemuk, yang dapat diterima
tanpa sebelumnya mengakui prima - principia. Karena segala sesuatu
kehilangan identitasnya dan tak mungkin diberi identitas tanpa menerima prinsip
ini sebelumnya. Keberadaannya dalam akal
manusia niscaya, dan jelas bukan merupakan prinsip yang bisa diturunkan dari
fakta maupun prinsip lain. Karena justru prinsip ini-lah tempat semua
bangunan pengetahuan manusia bertumpu. Dan
kebenarannya dalam alam obyektif tidak mungkin dapat dibantah. Karena
dengan menolak kebenarannya kita akan kehilangan keseluruhan makna semua yang
maujud. Dan penolakan kepadanya hanyalah
karena perbedaan istilah tentang kontradiksi. Sehingga secara hakiki tidak
mengubah kebenaran prinsip ini yang Mutlak. Sehingga benarlah jika dikatakan prinsip dasar seluruh bangunan pengetahuan
manusia adalah suatu ilmu hudhuriy.
Karena prima-principia yang merupakan kenyataan yang paling nyata dari yang nyata
ternyata telah hadir dalam akal
manusia tanpa memerlukan suatu usaha rasional apa pun. Bahkan sebagian filsuf yakin bahwa pada hakikatnya
semua ‘ilmu bersifat hudhuriy.
Karena bukankah semua ‘ilmu lain lahir dari, oleh dan untuk prima - principia
ini ? Dan bahkan, prinsip kesegalaan,- tidak
lain adalah prima - principia -, telah
ada secara niscaya pada jiwa manusia, sehingga terkadang manusia disebut
sebagai mikro-kosmos. Walaupun secara material manusia sebagian kecil dari
alam materi, namun sebagai intellegebles,
manusia mengandung hakikat semua yang maujud. Sehingga tak salah jika dikatakan
bahwa, seluruh yang ada qua seluruh
yang ada telah secara niscaya ada dalam jiwa manusia, in potentia , dengan
memahami bahwa belum tentu teraktualisasi sempurna. Apakah itu yang dimaksudkan
dengan Tuhan tak mungkin ditampung apapun kecuali di qalbi mu`min? Dan semoga Ia
menjernihkan al-‘aql dari hawa nafsu sehingga jelas tampak
semuapyang benar sebagaimana adanya, kabulkan Yaa Allah tunjukilah hatiku yang
sesat lagi gelap ini. wallahu
a’lam bish-showwab
Renungan Hud-HUd
Non-Kontradiksi
dan Kausalitas
Merenungi
segala yang ada, pertama pasti adas ubyek yang merenung, obyek yang direnugi,
maupun relasi antara subyek yang merenung dengan obyek yang direnunginya. Maka,
pertama-tama tentu –agar semua renungan lain memiliki makna dan nilai- subyek
yang merenung (perenunng) seharusnyalah merenungi dirinya sendiri dan apa
sumber-sumber yang membuktikan kebenaran suatu pengetahuian dari dirinya
sendiri.
Aristoteles-lah
–sejauh pengetahuan penulis- orang yang pertama kali menemukan (‘menyatakan
secara formal’) bahwa di antara seluruh prinsip niscaya rasional, prinsip
non-kontradiksi (kemustahilan terjadinya kontradiksi logis) merupakan prinsip
logis yang paling mendasar. Artinya, tidak mungkin meyakini kebenaran apa pun,
-walaupun hanya merupakan kebenaran "inderawi" yang paling sederhana-
tanpa menerima prinsip non-kontradiksi
Pernyataan
matematis prinsip non-kontradiksi ini tidak lain adalah x sama dengan x, dan x
tidak sama dengan selain x, dan tidak pernah akan mungkin sama dengan selain x.
yang pertama di sebut prinsip identitas (qanun dzatiyah), yang kedua disebut
prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh), dan yang terakhir disebut prinsip
ketiadaan batas (qanun imtina’). Ketiga butir prima-principia ini terkadang
disebut sebagai prinsip non-kontradiksi.
Tidak menerima prinsip
non-kontradiksi ini artinya tidak mungkin menyatakan kebenaran apapun. Karena berarti benar bisa bercampur dengan salah.
Tidak menerima prinsip
non-kontradiksi ini artinya tidak mengakui identitas diri sendiri. Karena "aku" bisa saja sama dengan selain "aku".
Tidak menerima prinsip
non-kontradiksi ini bahkan berakibat hilangnya identitas segala sesuatu. Sehingga segala ini "ada" ataupun "tidak ada" sama
saja.
Sehingga, benar jika kita bahwa
prinsip non-kontradiksi adalah suatu hukum dasariah segala yang ada. Tak ada suatu pun yang meningkarinya.
Sehigga, dapat dikatakan secara
"hudhuriy" prinsip segala yang ada telah ada pada "jiwa"
manusia. Karena non-kontradiksi sebagai satu prinsip
niscaya pada segala yang ada ternyata niscaya pula pada jiwa manusia.
Sebagai
satu prinsip niscaya rasional lain yang tak kalah penting dari "prinsip
non-kontradiksi" adalah hukum sebab-akibat. Bunyi hukum sebab-akibat
adalah sebagai berikut, "Segala
sesuatu memerlukan sebab untuk meng-ada kecuali keberadaan itu sendiri."
Adapun beberapa sifat penting hukum kausalitas adalah;
Keselarasan sebab dan akibat. Artinya satu sebab yang
sama akan menghasilkan satu akibat yang sama.
Kesemasaan sebab dan akibat. Artinya secara hakiki sebab
sebenarnya semasa dengan akibat.
Relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Artinya,
dapat dikatakan sebab-lah yang memberikan eksistensi/keberadaan pada, akibat
atau sebaliknya akibat meng-ada karena sebab.
Prinsip
niscaya rasional kausalitas ternyata merupakan suatu prinsip yang dapat
diturunkan dari prinsip yang lebih mendasar; yang prinsip non-kontradiksi. Ini
dapat kita buktikan melalui dua poin;
Karena ada artinya memiliki keberadaan, dan sesuatu pasti
meliki dirinya, jadi keberadaan pasti ada dengan sendirinya.
Jika ada sesuatu selain keberadaan tanpa sebab yang
menyebabkannya ada, maka terdapat tiga kemungkinan.
·
Ia berasal dari ketiadaan. Ini
mustahil, karena berarti ada sama dengan tiada.
·
Ia berasal dari sesuatu yang
lain. Dalam hal ini sesuatu yang lain itulah "sebab"-nya.
·
Ia tidak berasal dari sesuatu
selain dirinya, berarti keberadaannya adalah keberasaan wajib. Padahal ashalah al-wujud jelas menegaskan bahwa
tidak ada quiditas (mahiyyah) apapun
yang memiliki keberadaan wajib kecuali keberadaan (wujud) itu sendiri.
Sebagian orang percaya bahwa
sumber pengetahuan (sumber konsepsi maupun pembenarannya) hanyalah hal-hal yang
bersifat inderawi. Tapi pendapat ini mustahil, karena;
Tanpa menerima prinsip niscaya rasional, -yaitu prinsip
non-kontradiksi dna prinsip kausalitas-, seluruh yang diindera dan konsepsi
inderawi manusia kehilangan hubungan dengan sesuatu yang obyektif yang
dicerapnya. Salah satu implikasi dari hal adalah bahkan keberadaan materi pun
tidak dapat ditahkik sama sekali.
Bagaimana mungkin sifat dasariah inderawi yang
"mungkin benar" dapat digunakan sebagai hujjah bagi sesuatu yang
"pasti benar"?
Ketiadaan dan
Ketiadaan
Seputas
angin mengisi segenap kekosongan. Ah, kekosongan adalah ketiadaan udara atau
ruang atas materi-materi lain. Apakah betul? Itukah ketiadaan? Banayangkan
ruang dan waktu yang kosong melompong tanpa isi, kemudian tiba-tiba dari
relung-relung "ketiadaannya" datanglah dunia materi dengan berbagai
nuasa dan peristiwanya ini…,comes into
existence…Begitulah kita-ktia "model" penciptaan yang ada di
benak banyak orang. Karena itulah perlu pembahasan khusus tentang ketiadaan
dalam makalah ini. Model "creatio
ex nihilo" seperti yang dibayangkan tersebut lemah. Berikut adalah
beberapa kritik atas model "penciptaan" tersebut.
Kritik Pertama
Model
hanya menjelaskan penciptaan alam material saja, karena telah di-asumsikan
sebelumnya penciptaan tersebut ada dalam batasan-batasan ruang dan waktu yang
kosong melompong. Model pencipataan seperti ini tidak menjelaskan apapun
tentang penciptaan alam immaterial yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Kritik Kedua
Yang
disebut ketiadaan dalam model tersebut tidak benar-benar ketiadaan mutlak.
Karena "ketiadaan" dalam model penciptaan tersebut adalah kekosongan
dalam ruang dan waktu, sehingga paling tidak dapat dikatakan telah ada ruang dan waktu.
Jadi
ada dua jenis ketiadaan;
Ketiadaan
relatif yang menjadi makna dari non-existence. Non-existence ini mempunyai dua makna.
Pertama,
ketiadaan sesuatu yang keberadaannya masih mungkin. Contohnya, ketiadaan jagung
(spasio-temporal), ketiadaan hewan
mamalia yang berkaki sejuta, dan lain-lain. Kedua, ketiadaan sesuatu di antara
sesuatu-sesuatu yang lain yang ada. Contohnya; ketiadaan buku pada sbuah mejad.
Ketiadaa seperti ini masih mempunyai derajat "keberadaan" tertentu.
Kenapa, karena ketiadaan tersebut masih sama sekali artinya dingin, dan dingin
efek. Contoh lain, bisakah Anda mendorong ruang hampa/udara kosong? Bukahkah
ketiadaan suatu materi tertentu di udara kosong ini mempunyai efek. Anda tidak
bisa mendorongnya?
Yang
kedua adalah ketiadaan mutlak (al-‘adam al-muthlaq). Yaitu
ketiadaan yang menjadi makna dari nothingness. Keitadaan mutlak ini
benar-benar tidak ada sehingga tidak mempunyai efek apapun. Bahkan sebutan
konsep ketiadaan mutlak ini-pun sebenarnya masih mempunyai eksistensi di alam
mental kita sehingga tidak mencerminkan hakikat ketiadaan mutlak ini. Jika nihilo artikan sebagai nothingness (ketiadaan mutlak/al-‘adam
al-muthalq), maka teori creatio
ex nihilo tidak mempunyai makna
sama sekali.
Wujud qua
Wujud itu Tunggal
Hakikat Tuhan adalah
Wujud qua Wujud
Prinsip
kausalitas ; bahwa segala sesuatu yang maujud memerlukan sebab agar meng-ada,
tentu kecuali keberadaan itu sendiri ; merupakan satu prinsip yang telah hadir
secara fitri dalam akal filosofis manusia. Setiap pemikir mau tidak mau mesti
menggunakan prinsip ini, sebagaimana juga prinsip non-kontradiksi, untuk
melandasi seluruh teori dan pengetahuannya.
Dalam alam
kausalitas ini, Tuhan sebagai Pencipta sekalian alam, tidak lain dimengerti
sebagai Sebab Pertama (Causa -Prima). Artinya sebab yang
bukan merupakan akibat dari sebab lain. Karena kalau Tuhan bukan Sebab pertama
berarti Ia bukanlah Pencipta dari sekalian alam, malahan dapat dikatakan ia
diciptakan. Maha Suci Tuhan dari semua yang mereka sifatkan!
Sebagai Sebab Pertama, hakikat
Tuhan adalah keberadaan-Nya. Keberadaan-Nya tidak lain
adalah keberadaan sebagai keberadaan (wujud
qua wujud) atau Al-Wujud Al-Muthlaq.
Bukti. Kalau hakikat Tuhan bukan keberadaan itu sendiri, maka pasti Ia memerlukan
sebab untuk mengada. Sebab untuk mengada yang diperlukan ini ada dua
kemungkinan
Sebab itu adalah diri-Nya sendiri. Kemungkinan ini
mustahil, karena akan terjadi rantai sebab akibat tanpa ujung.
Sebab itu adalah selain diri-Nya sendiri. Jika
kemungkinan ini benar maka Tuhan bukan Sebab Pertama. Atau dengan kata lain
Tuhan adalah bukan Tuhan. Dan ini mustahil juga karena merupakan suatu
kontradiksi logis.
Jadi Tuhan itu Tunggal. Karena wujud qua wujud itu tunggal.
Dan Tuhan tidak terbagi atau
tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil. Karena
wujud qua wujud itu tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil.
Bukti
bahwa wujud qua wujud tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil adalah
sebagai berikut. Jika wujud qua wujud tersusun atas bagian yang lebih kecil,
maka ada dua kemungkinan
Ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua
wujud. Maka ini mustahil karena akan menghasilkan rantai tanpa ujung.
Tidak ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud
qua wujud. Ini pun mustahil karena dengan demikian wujud qua wujud tidak
mempunyai keberadaan.
Dan Tuhan tidak terikat oleh
"ke-kapanan" maupun "ke-dimana-an" apapun. Karena ke-kapanan maupun ke-dimana-an pasti terbagi. Ke-kapanan membagi
masa menjadi sekarang, esok, lusa. Ke-dimana-an membagi posisi menjadi di sana,
di situ dan lain-lain. Sedang Tuhan tidak terbagi.
Dan Tuhan itu bukanlah suatu
substansi bukan pula aksiden, jika dilihat dari hakikatnya, kecuali secara
aksidental. Karena dari defenisinya1 substansi adalah mahiyyah yang diaktualisasi di alam
eksternal yang tidak memerlukan substratum (dasar), sedang wujud bukanlah mahiyyah. Wujud bukan pula aksiden, karena aksiden
memerlukan substratum, sedang wujud
pasti tidak memerlukan substratum
apa-pun, karena substratum apa-pun
justru memerlukannya untuk mengada. Wujud
tidak mungkin merupakan substansi maupun aksiden, kecuali secara aksidental
saja. Suatu wujud partikular
merupakan substansi melalui ke-substansi-an mahiyyah
yang berkaitan, dan ia merupakan aksiden melalui ke-aksiden-an mahiyyah yang berkaitan. Konsep wujud adalah aksiden dalam artian konsep
ini adalah suatu predikat yang disarikan dari subyek-subyeknya.
Dan tidak ada apapun yang bisa
dilawankan dengan Tuhan, tidak pula ada suatu yang mirip dengan-Nya. Karena dua hal yang berlawanan mempunyai beberapa syarat;
·
sama-sama ada
·
mempunyai substratum yang sama
·
mempunyai perbedaan yang
ekstrim
·
dapat diklasifikasikan di dalam
genus yang berdekatan / kira-kira
sama
Sedang wujud tidak punya substratum, tidak pula punya genus,
dan tidak pula jarak (beda) yang ekstrim terhadap apa – pun.. Karena itu
pemisahan mahiyyah dari wujud adalah suatu
"pembubuhan/penghiasan" mahiyyah
oleh wujud. Lebih lanjut, tidak ada
suatu apa pun yang mirip dengan wujud.
Karena, dua hal yang mirip adalah dua hal yang mempunyai suatu yang sama dalam mahiyyah – nya, sedang wujud bukanlah mahiyyah.
Ketakmampuan
akal dlm memahami
Wujud qua
Wujud
Pluralitas dan mahiyyah
Dunia
ini jamak. Ada kuda. Ada manusia. Ada gunung. Ada laut. Ada sebab. Ada akibat.
Ada jauhar. Ada aksiden. Ya, seolah ada banyak "sesuatu-sesuatu".
Benarkah ada banyak sesuatu-sesuatu? Tapi bukankah keberadaan-nya tunggal.
Keberadaan-nya satu?
Jelas
pluralitas yang tampak di alam ini bukan merupakan pluralitas wujud. Karena
telah dibuktikan bahwa wujud itu tunggal. Jadi pluralitas timbul dari sesuatu
selain wujud. Apakah itu?
Yang
menyebabkan kita membedakan kuda dengan manusia, tidak lain adalah
ke"apa" an dari kuda dan ke"apa" an dari manusia. Bukan
keberadaan-nya. Ke"apa"an tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan
apa itu .................? Istilah Arab dari ke"apa"an adalah mahiyyah.
Istilah lain yang menunjukkan ke"apa"an adalah quiditas atau esensi.
Ke"apa"an
merupakan sumber pluralitas. Subyek pengamat, mengquidifikasi berbagai hal,
sehingga keberadaan yang tunggal memiliki berbagai "keapaan" dalam
jiwa subyek pengamat. Jadi jelas karena ke"apa"an bersifat subyektif,
pluralitas-pun bersifat subyektif. Belum tentu mereka bersifat obyektif.
Faham
‘ashalatul-wujud menyatakan yang benar-benar nyata hanyalah wujud,
sedang mahiyyah tak nyata. Jadi menurut faham ini mahiyyah tak obyektif.
Pluralitas pun tak obyektif. Yang nyata, yang obyektif hanyalah Tuhan, wujud
qua wujud, Yang Tunggal.
‘Ashalatul-wujud merupakah faham yang didukung
dan dibuktikan secara rasional oleh para filsuf pengikut Mulla Shadra maupun
didukung dan dibuktikan secara intuitif oleh para ahli ‘irfan seperti ‘Ibn
‘Arabi.
’Ashalah
al-Wujud
Merenungi
seluruh yang maujud, dalam aliran Sholawat, maka selalu kita arungi. buih-buih mahiyyah
(ke-apa-an, quiditas) pada satu ketunggalan, satu keberadaan, satu
Wujud Mutlak. Maka, karena mahiyyah menimbulkan kejamakan (al-katsrah) sedang wujud
adalah ketunggalan (al-wahdah), maka inilah yang disebut al-wahdah fi al-katsrah
dan al-katsrah
fi al-wahdah.
Maka
dari samudera ke-apaan dan keberadaan,. ada tiga kemungkinan
Baik mahiyyah maupun wujud qua wujud sama-sama real,- ada di alam nyata, tidak hanya di
alam fikiran atau jiwa subyek pemikir (manusia).
Yang real adalah mahiyyah, sedang wujud qua wujud hanyalah ada di alam
fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-mahiyyah.
Yang real adalah wujud
qua wujud, sedang mahiyyah hanyalah ada di alam
fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-wujud.
Paham pertama, bahwa baik mahiyyah maupun wujud
qua wujud sama-sama nyata, merupakan paham yang "sesuai" dengan
common-sense atau feeling
orang banyak. Pendapat ini salah. Buktinya,
jika mahiyyah dan wujud qua wujud sama-sama nyata, maka
karena mahiyyah itu banyak, sedang wujud qua wujud itu tunggal, maka realitas itu banyak sekaligus
tunggal. Dan ini kontradiksi. Jadi tidak mungkin keduanya sama-sama nyata dalam
artian yang hakiki.
Paham kedua, bahwa yang nyata dan benar-benar ada adalah mahiyyah tidak benar.
Buktinya diperoleh dengan membuktikan bahwa paham ketiga-lah, -yaitu ‘ashalah
al-wujud-, yang benar.
Paham ketiga, ‘ashalah al-wujud
merupakan paham yang benar. Buktinya yang paling mudah adalah sebagai berikut;
Pertama, wujud qua wujud pasti
benar-benar ada, karena ada artinya memiliki keberadaan, sedangkan wujud qua
wujud tidak lain adalah keberadaan itu sendiri.
Kedua, wujud sesuatu merupakan sumber semua "penilaian" atas sesuatu tersebut.
Tidak mungkin mensifati apapun,
tanpa meyakini sesuatu tersebut memiliki wujud terlebih dahulu.
Ketiga, bagaimana mungkin mahiyyah yang benar-benar ada,
sedang wujud lah yang membuat segala
sesuatu meninggalkan keadaan "kesamaan"-nya? Keadaan
"kesamaan" artinya kemungkinan ada sama dengan kemungkinan tidak ada,
dan seluruh mahiyyah yang tidak mempunyai wujud terletak pada keadaan ini.
Masih
ada bukti-bukti lain yang lebih rumit yang dapat dibaca di Syarh-e Manzhumeh
dari Guru kita semua YM. Mulla Hadi Sabzavary, semoga rohnya dimuliakan-Nya.
Satu
argumen yang menentang ‘ashalah al-wujud adalah sebagai
berikut. Sekiranya wujud itu benar-benar ada, maka wujud adalah suatu maujud.
Karena wujud itu maujud, maka sebagai maujud ia perlu memiliki wujud. Dan selanjutnya
wujud berikut ini pun adalah maujud yang perlu memiliki wujud, dan seterusnya
(ad infinitum). Ini merupakan suatu petitio principii yang membentuk
rantai argumen tanpa ujung yang mustahil. Argumen
tersebut salah. Letak kesalahannya adalah di awal, cukup kita katakan bahwa
wujud itu memiliki dirinya sendiri, karena segala sesuatu pasti memiliki
dirinya sendiri. Karena itu wujud pasti ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab
yang memberinya wujud/keberadaan. Dan titik. Wallahu a’lam..
Kesempurnaan
dan Wujud
Merenungi keindahan alam, lebur dalam Ke-Indahan dan Ke-Sempurnaan Zat-Nya, al-faqir
berfikir tentang apa makna kesempurnaan. Sesuatu disebut sempurna jika ia
memiliki kesempurnaan. Kesempurnaan sulit didefinisikan, jika pun mungkin. Tapi
sekurangnya, ada syarat mesti sesuatu disebut sempurna, yaitu tidak membutuhkan
apa pun selain dirinya sendiri. Karena sesuatu disebut sempurna jika memiliki
kesempurnaan, maka pasti kesempurnaan itu sendiri sesuatu yang sempurna, karena
sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu jika kita meninjau
kesempurnaan qua kesempurnaan, pasti
ia tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Tidak membutuhkan dari
segala modalitas (sudut pandang) apa pun yang mungkin.
Karena itu Kesempurnaan
mesti-lah identik dengan Wujud (Keberadaan) itu sendiri.
Kenapa?
Karena jika Kesempurnaan tidak identik dengan Wujud, maka ia mebutuhkan sebab
untuk maujud. Karena ia membutuhkan sebab untuk maujud, maka ia tidak sempurna.
Karena ia tidak sempurna, maka ia pasti ia bukan-lah Kesempurnaan. Ini suatu
kontradiksi. Jadi Kesempurnaan harus identik dengan Wujud.
Atau, dengan kata lain,
Kesempurnaan adalah Hakikat Zat-Nya. Karena Wujud adalah
hakikat Zat-Nya.
Dan, benar bahwa Kesempurnaan
tidak mungkin didefinisikan. Karena Wujud tidak dapat
didefinisikan.
Dan, Kesempurnaan itu basith
(sederhana, tidak tersusun). Karena mustahil bagi Wujud bersifat tidak basith.
Mungkin
banyak hikmah yang akan tercurah bagi kita untuk merenungi saduran kutipan dari
"40-Hadits" Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini, pada saat beliau
menjelaskan hadis ke-36 tentang Sifat Zattiyyah Allah Swt;
"Dengan demikian, maka jika Allah Swt. itu sederhana
dan sempurna, dan jauh dari sesuatu yang menjadi keniscayaan makhluk,- yang
butuh dan memerlukan sesuatu yang lain-, maka Allah Swt sempurna dilihat dari
semua sisi, mencakup semua nama dan sifat, hakikat yang asli, dan Wujud yang
badihi yang tidak dimasuki ketiadaan,Wujud yang di dalamnya tidak bercampur
antara yang sempurna dan tidak sempurna. Dengan demikian, Allah adalah Wujud
yang hakiki. Sebab, kalau sekiranya ketiadaan masuk ke dalamnya, pasti
terbentuk kekurangan sesuatu yang tersusun (tidak basith), yaitu hubungan
antara ketersusunan Wujud dengan al-‘adam (ketiadaan). Dia Mengetahui, Hidup,
Berkuasa, Melihat, Mendengar dalam arti hakiki. Berdasarkan alasan ini, maka
benarlah Imam Ash-Shadiq (a.s.) ketika beliau bersabda, " Mengetahui
adalah Zat-Nya. Berkuasa, Mendengar, dan Melihat adalah Zat-Nya." (Catatan
: Kutipan diambil dari terjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan.
Tapi beberapa kalimat dirubah oleh al-faqir, hanya untuk memperjelas arti
kutipan, karena terjemahan sama sekali tidak jelas), wallohu a’lam.
Emanasi
Wujud yang
satu, tunggal dan tiada terbagi. Satu-nya
bukanlah satu bilangan rasional. Bukan pula bilangan nyata. Satu-nya tidak memungkinkan untuk men-dua. Tidak mungkin pula diambil setengah-nya. Satu ahadiyyul-ma’na.
Wujud yang
Sempurna tiada terkata. Bahkan Ia -lah kesempurnaan itu sendiri. Kesempurnaan
dari segala seginya. Yang tak dapat dipilah - pilah ke dalam fractal -fractal penyifatan manusia nan
senantiasa terkurung oleh keterbatasannya yang esensial. Kesempurnaan yang jika kita mengerti dari segi - seginya
yang terpisah, akan meruntuhkan makna sejatinya.
Wujud yang
Luas tiada terbatas oleh apa-pun. Karena jika pun ada pembatasnya; pembatasnya
tidak lain adalah ketiadaan mutlak yang bahkan tidak akan pernah bisa
dibayangkan oleh akal manusia. Luas dalam semua aspeknya. Mutlak dalam seluruh
segi-nya.
Bagaimana
mungkin Wujud yang Tunggal, Sempurna
dan Luas Tiada Berbatas ini menampakkan dirinya dalam mahiyyah - mahiyyah yang tersebar dalam alam kejamakan, tidak
sempurna dan terbatas, tak terhingga banyaknya tersebar dalam milyunan ruang,
milyunan waktu dan milyunan alam ini ?
Rantai
kausalitas yang mungkin adalah sebagai berikut. Wujud tunggal akan mengakibatkan sesuatu yang tunggal pula. Sesuatu
yang tidak terbagi pula. Hanya sesuatu ini telah kehilangan sifat Sempurna dan
Mutlak - nya. Karena minimal ia membutuhkan Sebab untuk meng - ada.
Kemudian
dari Wujud dan sesuatu itu, terdapat
tiga sesuatu yang mungkin menjadi sebab; (sesuatu itu sendiri), (Wujud, sesuatu tersebut) dan (sesuatu
tersebut, Wujud) sehingga mungkin
dihasilkan sebagai akibat tiga sesuatu
yang lain. Tentu dua sesuatu yang
terakhir sudah kehilangan sifat tunggal dan tiada terbaginya, maupun
kesempurnaan dan kemutlakannya. Dua sesuatu
ini telah memiliki sifat tidak sempurna maupun tidak mutlak (karena minimal
memerlukan sebab untuk mengada), tersusun (karena sebabnya tersusun) dan
relatif (karena sebabnya tersusun atas relasi antara dua sesuatu yang lain).
Kemudian
dari lima sesuatu ini dapat diturunkan lagi dengan memperhatikan seluruh relasi
sebab yang mungkin, dan seterusnya. Sehingga akhirnya, dari Wujud yang Tunggal muncullah alam yang
jamak ini.
Pandangan
"kosmologi" seperti yang diuraikan di atas disebut sebagai teori
emanasi. Tapi perlu dicatat, versi teori yang dituliskan ini tidak sama persis
dengan teori emanasi menurut penemu aslinya, Ibnu Sina. Sengaja pula tidak
diberikan "nama-nama" dari sesuatu - sesuatu tersebut, karena
penamaannya sebenarnya tidaklah esensial dan bahkan dikhawatirkan membingungkan
orang yang pertama kali mencoba memahaminya.
Beberapa
sifat penting dari emanasi Wujud diberikan
sebagai berikut.
Emanasi Wujud tidak tergantung waktu maupun
ruang, bahkan ruang dan waktu-lah yang tergantung padanya. Jadi tidak dapat ditanyakan kapankah (atau dimanakah) emanasi terjadi?
Atau bahkan dapat dikatakan pula setiap saat di setiap ruang apa pun atau pun
di setiap sesuatu yang tak dapat diperikan oleh ruang dan waktu apa pun terjadi
emanasi Wujud.
Semua sesuatu selain Wujud dalam emanasi tidak memiliki Wujud sejati. Karena menurut ashalah al-wujud Yang
Nyata Wujud-Nya hanyalah Wujud. Dan mahiyyah
hanyalah memiliki eksistensi "imajiner".
Sehingga semua selain Wujud hanyalah ada di alam mental. Karena itu
tidak salah kalau semua selain Wujud disebut
Akal.
Sehingga sesuatu yang pertama
muncul dari Wujud disebut sebagai Akal Pertama
atau Akal Universal. Karena seluruh akal lain
meniscayakan eksistensinya sebagai dalam rantai kausalitasnya.
Atau terkadang Akal Pertama
juga disebut sebagai Nur Muhammad. Karena nuur inilah yang memungkinkan Wujud menyatakan dirinya dalam selainnya
di alam akal, sehingga secara reciprocal dapat
dinyatakan nuur inilah yang
memberikan "eksistensi mental pertama" , "pemahaman
pertama", Wujud atas dirinya
sendiri. Nuur inilah Kegemilangan
Mata Air Wujud dalam "memuji /
memahami" dirinya sendiri.
Sehingga tak salah jika dikatakan
seluruh-nya "dicipta" dari Nur Muhammad. Sebagaimana
dipercayai oleh sebagian orang, bahwa yang pertama kali dicipta adalah Nur
Muhammad, dan semua selain itu diciptakan lewat eksistensi Nur Muhammad.
Jelas tahapan Nur Muhammad tak
terbatas ruang dan waktu. Karena ruang maupun waktu
terbagi sedang Nur Muhammad tak terbagi.
Dan eksistensinya sebagai sebab
niscaya pada se-gala selain Wujud. Rantai emanasi manapun pasti melewatinya.
Sehingga benarlah jika kita
katakan bahwa "dalam" segala "terdapat" Wujud maupun Nur Muhammad. Walau harus dipahami tidak ada persatuan material apa pun.
Sehingga semoga mencukupi jika
kita akhiri makalah ini dengan, Innallooha wa malaa`ikatahu yusholluuna ‘alan - nabiy. Yaa ayyuhalladziina
aamanuu sholluu ‘alaihi wasalimuu tasliimaa....
.
wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar