A Paradox of our Time in
History
By George Carlin
Paradoks
sejarah waktu kita yaitu dimana kita punya gedung-gedung yang lebih tinggi tapi
punya watak yang pendek; punya lebih lebar jalan-jalan tapi berpandangan
sempit.
Kita
menghabiskan banyak waktu, tapi hanya mendapatkan sedikit; kita membeli lebih
banyak tapi menikmati lebih sedikit.
Kita
memiliki rumah yang lebih besar tapi dengan keluarga yang "kecil";
lebih banyak kesempatan tapi lebih sedikit waktu; kita punya lebih banyak
parameter tapi sedikit perasaan; lebih banyak ilmu tapi sedikit pertimbangan;
lebih banyak ahli tapi lebih banyak masalah; lebih banyak obat tapi sedikit
kesehatan.
Kita
minum berlebihan, merokok berlebihan, menghabiskan banyak kesembronoan, terlalu
sedikit tertawa, mengemudi terlalu cepat, lebih cepat marah, bangun lebih
telat, sangat sedikit membaca, terlalu banyak nonton TV, dan berdoa terlalu
sedikit.
Kita
punya banyak barang milik pribadi tapi kita kehilangan nilai-nilai. Kita
berbicara terlalu banyak, sedikit cinta, dan terlalu sering membenci. Kita
telah belajar bagaimana caranya hidup, tapi tidak hidup. Kita telah
melewati umur untuk hidup, bukannya
hidup melewati umur. Kita semua telah berada pada jalan ke bulan dan kembali,
tapi punya masalah untuk menyebrang jalan menemui tetangga baru.
Kita
terus mencoba mengekpslorasi ruang angkasa, tapi melupakan bumi, merusak bumi.
Kita
telah melakukan sesuatu yang besar, tapi tidak yang lebih baik. Kita telah
membersihkan udara tapi tetap membuat polusi pada jiwa. Kita telah memisahkan
atom tapi tidak memisahkan prasangka. Kita menulis lebih banyak, tapi belajar
lebih sedikit.
Kita
banyak merencanakan, tapi sedikit menyelesaikan. Kita telah belajar dari
kesibukan, tapi tidak belajar untuk menunggu. Kita membuat banyak komputer
untuk menghimpun dan memperbanyak informasi tapi kita kehilangan komunikasi.
Terlalu
banyak makanan 'fast food' tapi pencernaan tetap saja lambat; lebih banyak
orang besar tapi berkarakter kecil; banyak keuntungan tapi dangkal hubungan.
Lebih
sering terdengar perdamaian dunia tapi juga semakin banyak perang domestik,
banyak waktu terluang tapi sedikit kebahagian; lebih banyak macam makanan tapi
lebih sedikit nutrisi.
Lebih
banyak keluarga dengan dua pendapatan tapi lebih banyak perceraian; lebih
banyak rumah keren tapi banyak yang 'broken home'; lebih banyak cara cepat tapi
banyak juga popok dibuang, dibuangnya moralitas, kelebihan berat bandan, dan
pil-pil yang menenangkan tapi juga membunuh.
Inilah
waktu dimana begitu banyak barang terlihat di jendela tapi tak ada dalam stok,
Waktu dimana teknologi dapat membawa tulisan ini kepada kita dan waktu dimana
kita dapat memilih untuk menyebarkan ini atau menghapusnya.
Ini
membuktikan kita terlalu sulit untuk bersikap adil. berfikir keras untuk
memecahkan satu hal tapi melupakan hal yang lain -- e!.
Kajian Eksistensialisme
Tentang Ontologi:
Pemikiran Jean-Paul Sartre
oleh ekky al-malaky
Eksistensialisme
menyeruak dunia filsafat semenjak Perang Dunia II (Sutrisno : 1987). Diantara
para tokohnya adalah Heidegger, Gabriel Marcel, Nietsze, Kieerkegaard, Sartre,
Jaspers, dan Levinas. Yang dianggap bapak Eksistensialisme adalah Soren
Kiekeergaard.
Dalam
perkembangannya eksistensialisme, Sartre memetakannya ke dua kubu. Pertama
adalah kubu Katolik seperti Jaspers dan Marcel yang bergerak menuju Tuhan. Kubu
lainnya adalah eksistensialis ateis yaitu Sartre, Heidegger,dan eksistensialis
Perancis lainnya (Bertens :1987) . Tetapi ada kesamaan dalam pemikiran kaum
eksistensialis itu, yaitu :
1.
Motif pokoknya adalah eksistensi, cara khas manusia berada. Pusat perhatian
adalah manusia.
2.
Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat,
menjadi, merencanakan. Manusia, setiap saat, selalu berubah kurang atau lebih
dari keadaan sebelumnya. Tidak ada 'state of being'.
3.
Manusia dipandang terbuka, sebagai realitas yang belum selesai. Pada
hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitar, terutama kepada sesama
manusia
4.
Memberikan tekanan pada pengalama eksistensial kongkrit manusia misalnya kepada
kematian, penderitaan, kesalahan, perjuangan. (Hadiwijono : 1980)
Paper
ini berusaha memaparkan tentang kajian eksistensialisme tentang ontologi,
dengan menitik beratkan pada masalah 'ada'-nya manusia.
Eksistensialisme dalam kajian Ontologi
Dalam
kaitannya dengan masalah ontologi dan metafisika, memakai metode yang agak
berbeda dengan cara-cara yang pernah dikenal sebelumnya, misalnya materialisme
dan idealisme. Yang dimaksud dengan eksistensi disini adalah cara manusia
berada di dunia ini. Cara yang khusus, berbeda dengan benda-benda, dan hanya
berlaku bagi manusia. Eksistensi disini tidak sama dengan 'mengada'. Sebagai
ilustrasi, manusia sibuk dengan dunia luar, dia mencurahkan dirinya untuk dunia
luar, karena itu seolah-olah dia ada diluar dirinya sendiri. Tetapi, justru
karena keluar dari dirinya itulah dia sampai ke dirinya sendiri . Itulah yang
disebut eksistensi : berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari diri
sendiri. Heidegger mengistilahkannya dengan Dasein. Dan 'ada'nya manusia ini,
kata Sartre, bukanlah etre, tetapi a etre, yaitu, manusia tidak hanya ada
(being) tetapi juga selamanya harus membangun ada-nya tersebut. Ada-nya terus
menjadi (becoming), berproses tanpa henti, tidak pernah selesai. Heidegger
mengistilahkannya dengan "zu sein", sedangkan gerakan memperbaharui
diri ini disebutnya eksistensial.
Eksistensialisme
adalah corak pemikiran jaman modern yang merupakan pemberontakan terhadap model
pemikran sebelumnya, yaitu materialisme dan idealisme (Drijarkara :1981). Bagi
materialisme, pada dasarnya segalanya sesuatu pada instansi yang terakhir
hanyalah materi, termasuk manusia. Jadi, manusia hanyalah akibat dari
proses-proses unsur kimia, fisik, fisiologis, sosial yang dari luar diri
manusia semata, sehingga menjadikannya sebuah benda diantara benda-benda
lainya. Sifat khusus tentang cara manusia berada disangkal dan dilalaikan.
Manusia hanya diposisikan sebagai objek. Menurut Rene Le Senne, kesalahan
materialisme adalah detotalisation, detotalisasi, memungkiri totalitas manusia
dengan cara mereduksi manusia hanya dari unsur materi saja.
Padahal
menururt kaum eksistensialis, manusia mempunyai kehendak bebas, mengerti etika,
dan membangun kebudayaan. Manusia tidak hanya berada didalam dunia, tetapi juga
menghadapi manusia. Manusia menjalani kehidupan yang selalu berarti membuat dan
menjalankan makna-makna. Itu berarti manusia mempunyai kesadaran. Sadar akan
dirinya sendiri, sadar akan objek-objek yang disadarinya. Manusia yang memiliki
kesadaran ini menjadi Subjek, bukan lagi objek semata. Mengutip Maurice-Merleau
Ponty : "manusia tidak hanya dimuat (englobe) oleh dunia, tetapi juga
memuat (englobant) dunia.". Manusia yang disebutkan oleh materialisme,
meminjam istilah Sartre, hanyalah etre-en-soi (ada-dalam-diri) saja, belum
etre-pour-soi (ada-bagi-diri).
Eksistensialisme
juga memberontak terhadap idealisme. Bagi idealisme, antara kesadaran dan alam
di luar kesadaran tidak ada sangkut pautnya. Sedangkan kedudukan manusia adalah
melulu sebagai Subjek. Padahal, manusia juga bisa menjadi objek. Bagi Eksistensialisme,
manusia bisa menjadi Subjek sekaligus Objek.
Bagi
kaum eksistensialis, semangat "aku berpikir maka aku ada" dibalik
menjadi "aku ada maka aku berpikir" (Sutrisno : 1987). Bagi mereka,
Eksistensi mendahului esensi. Karena itulah, meskipun banyak dipengaruhi oleh
Fenomenologi Hurssel, tetap saja Sartre menolak "Eidos" (esensi)
karena mengasumsikan adanya tujuan akhir (Bertens : 1996). Sebelum melihat
pemikiran Sartre, akan dipaparkan pemikiran eksistensialis lainnya secara
sekilas.
Kiekergaard
Baginya,
bentuk kehidupan manusia ada tiga macam. Pertama, estesis, yaitu yang
pikirannya hanya diarahkan ke hal-hal di luar dirinya. Manusia berpikir untuk
berpikir. Kiekergaard membenci alam pikiran seperti itu. Bentuk kedua adalah
etis, manusia memusatkan pikirannya kedalam dirinya sendiri. Ini juga masih ada
dialam kekaburan, belum lepas dari alam estesi. Ini masih belum cukup. Tahap
ketiga adalah bentuk religio atau keagamaan. Sebagai orang Kristen, manusia
harus mengikat dirinya total ke Tuhan. Hanya dengan demikian manusia berdiri di
depan Tuhan, dan hanya dengan didepan Tuhanlah--dengan penuh dosa yang
membebaninya--manusia mempunyai eksistensi yang wajar. 'ada'nya manusia adalah
manusia dihadapan Tuhan dengan penuh kesadaran bahwa dirinya penuh dosa dan
dalam ketakutan. Tetapi justru dalam suasana suram itulah Tuhan menolongnya.
Heidegger
Membicarakan
Heidegger disini amat penting, sebab pengaruhnya terhadap Sartre cukup besar.
Heidegger merumuskan kembali pertanyan tentang "ada". pertanyaannya
adalah "apa makna mengada" (what is meant to be). Dan karena 'ada'
tidak bisa diungkapkan dengan positif, maka dilakukan dengan pernyataan negasi
terhadap 'ada'. (Siswanto :1998) Dasein (being-there) merupakan eksistensi
manusia didunia empiris ini. Baginya manusia selalu ada dalam dunia, bersama
seluruh benda-benda (being-in-the-world).
Manusia
terlemparkan kedalam realitas dengan tidak tahu karena apa , atau asal usulnya
(gewoerfen-sein). Karena ituah manusia menjadi cemas (Angst). Karena cemas,
manusia sibuk dengan Zuhadenes (lingkup dunia sarana-sarana) dan Vorhandenes
(lingkup dunia benda-benda), sampai lupa mengurus 'ada'-nya sendiri.
Kecemasannya semakin menjadi karena sadar bahwa perjalanannya ternyata harus
bermuara adalah kematian. Proyek kehidupannya berakhir dengan kematian (Sein
Zum Tode).
Dengan
demikian, realitas dunia menampakkan diri sebagai tiada. ada-dalam-dunia, itu
tanpa arti dan tanda guna, 'ada' itu berawal dari 'tiada' dan menuju 'tiada'.
Kesadaran manusia akan 'tiada' itu membuat manusia cemas dan putus adsa. Ia
hanya tinggal menanti 'tiada' itu. tiada' itu pengingkaran total terhadap semua
'pengada (das Seienden), namun 'tiada' itu sendiri bukanlah 'pengada'. 'tiada'
itu meniadakan 'pengada'.
Mengada
ialah terjadinya aletheia, yaitu proses mengada itu menampakkan dan
menyembunyikan diri (tertutup ) secara anonim, dalam historisitasnya, manusia
tepasksa selalu memilih, sehigga ia tidak dalat menguasai segala kemunginan,
kecuali dengan memilih menutrup kemungkinan tertentu, karena itulah manusia
selalu bersalah.
Selain
Perasaan bersalah ini didalam ketertutupannya ini juga terkandung unsur
kesemuan. Semua ini diakibatkan oleh kecemasan manusia menghadapi 'mengada'.
Sehingga manusia melarikan diri ke dalam keadaan kemerosotan, yang dikongkretkan
dalam kegagalan manusia untuk menghayati tiga aspek hakiki manusia dalam
eksistensinya (kepekaan, pemahaman, berbicara). Inilah tragedi manusia yang
tidak dapat dihindari. Tetapi ada harapan, bahwa melalui penderitaan kegagalan
itu, manusia akan memahami 'mengada', dan pemahaman itu akan membuat manusia
utuh (heil) dan menyembuhkan (heilen). Untuk mengatasi kecemasan, ada dua cara.
Pertama, melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu
menuju kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati
sebagai Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada. Sedangkan
cara kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan kesadaran dan
ketegaran, dan inilah hidup yang sejati.
Jaspers
'Ada'
(das Sein) bukanlah hak yang objektif, yang dapat diketahui setiap orang. Orang
harus bersusah payah mencarinya dengan beberapa tahap. Sebuah benda, katakanlah
meja, bukanlah 'ada' yang sebenarnya, tetapi 'ada' yang terbatas dan tertentu.
'ada' yang sebenarnya adalah yang umum dan merangkum segala yang berada sevara
terbatas dan tertentu itu. 'ada' seperti ini tidak dapat diraih, atau
dim,asukkan dalam kategori, inilah das Ungreifende (yang merangkum).
Jaspers
juga mengatakan bahwa eksistensi tidak dapat dijadikan objek,. Tetapi
eksistensi adalah apa yang ada didalam mite disebut jiwa, yaitu titik pangkal
darimana kita berpikir dan berbuat. Eksistensi juga bukan subjektivitas, ia
berada diluar pembedaan subyek-objek, dan tidak dapat diuraikan dengan
pengertian-pengertian dalam suatu sistem tertutup, dan hanya bisa diterangkan
dengan kategori sendiri yaitu kebebasan, komunikasi, dan sejarah.
Tetapi
itu semua mengalami kegagalan setelah bertemu dengan kematian. Berbeda dengan
Heidegger, Jaspers memandang bahwa kematian dengan lebih positif. Justru
dibelakang segala kegagalan itu masih ada transenden, yang tidak terbatas, dan
tidak dapat binasa, yang dapat dianalogikan dengan Tuhan. Jaspers berusaha
mengatasi segaa kegagalan dalam memenuhi Dasein serta pengalaman keruntuhannya
dengan pemisahan subjek-objek melalui kepercayaan fisolofis. Bagi Jaspers,
manusia tidak boleh mencari dan mengusahakan jalan kegagalan, karena bukan itu
jalan yang sebenarnya. Didalam kegagalan itulah orang mengalami 'ada',
mengalami yang transenden.
Gabriel Marcel
Manusia
tidak hidup sendirian, tetapi bersama yang lain. 'ada' (esse) bagi Marcel
selalu berarti "ada-bersama", (co-esse). Kata kuncinya adalah :
"kehadiran" (presence). Syaratnya, haruslah "Aku-Engkau",
dimana masing-masing mengadakan kontak dengan sungguh-sungguh dan masing-masing
mengarahkan dirinya dengan cara berlainan dengan objek lainnya, bukan
"Aku-Itu". Walaupun berjauhan, hubungan "Aku-Engkau"akan
dirasakan sebagai kehadiran. Realisasi yang istimewa dari kehadiran adalah dengan
cinta. Aku dan Engkau disini mencapai taraf "Kita". DAlam cinta ini
"aku"mengikat diri dan tetap setia. Mencintai adalah mengatakan
:"engkau takkan mati".
Pemikirannya
yang terkenal adalah tentang harapan . Kematian sebagai akhir perjalanan
manusia dapat diatasi dengan cinta kasih dan kesetiaan, bahwa :"ada Engkau
yang tidak dapat mati". Harapan menerobos kematian, dan adanya harapan
menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu. Harapan tidak bisa mati.
Pemikiran Ontologi Sartre
Satre
memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua, etre-en-soi
(being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dengan etre-pour-soi (being-for-itself,
ada-bagi-dirinya). Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak
berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat
hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat
dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya
sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif,
tertutup
rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan
apa pun juga . En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan
tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran
Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia
bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan
dalam etre-pour-soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar
dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri
dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah
meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri
sendiri
adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi
retak, karena ia mempunyai kesadaran. Memang kesadaran menghubungkan subjek
dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh
menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak
sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik
dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya :
ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan,
peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan
peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab
manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena
selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah
selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain.
Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan,
hukuman, dan keterpaksaan. Etre-pour-soi selalu ingin menjadi
etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi
(kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena
tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah
eksistensi manusia.
Manusia
selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek
membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak
mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika
kematian tiba.
Analisa
Ada
beberapa hal yang patut dicermati seputar ada-nya manusia didunia menurut
Sartre.
1.
Sejauh yang saya tahu, Sartre tidak membincangkan tentang solusi solusi
bagaimana manusia keluar dari 'lingkaran setan' yang bermuara pada kesia-siaan
itu. Dia hanya menasehati kita agar jangan memandang ke dalam, tetapi memandang
keluar, ke pekerjaan dan tugas kita, kepada masa depan yang sedang dibangun
(Hadiwijono : 1980, Drijarkara : 1981). Tetapi tetap saja, sulit membangun masa
depan jika kita tidak percaya dan selalu curiga kepada orang lain yang
dianggapnya neraka. Dalam membangun dibutuhkan kerjasama dan saling percaya.
Heidegger,
yang dianggapnya sealiran atheis dengannya, menyodorkan alternatif. Pertama,
melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu menuju
kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati sebagai
Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada (pernyataan Sartre
diatas mirip dengan pernyataan ini). Dan dengan itu pula manusia bisa membangun
peradaban. Kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan
kesadaran dan ketegaran, dan inilah hidup yang sejati.
Marcel
mengatasi kesia-siaan dan kematian dengan teori cinta dan harapan. Jaspers,
walaupun masih terasa kabur menurut saya, mengatakan bahwa manusia harus tidak
mencari dan berusaha menuju jalan kesia-siaan, manusia harus memberontak dan
melawan lingkaran-setan itu. Mungkin, yang kurang dipunyai oleh Sartre adalah
tujuan hidup tertinggi, karena memang manusia 'ada' karena terlempar, 'ada'
begitu saja sebagai en-soi, dan "sialnya" juga menjadi pour-soi.
Agaknya,
Sartre terlalu negatif dan pesimistis dalam memandang dunia. Mungkin karena
zeitgeist nya masanya begitu suram sehingga lahirlah pemikiran demikian.
2.
Patut dipertanyakan lagi, misalnya : Apakah benar bahwa manusia yang berproses
dan selalu menidak itu ingin kembali ke en-soi atau mensintesakannya dengan
pour-soi. Kalau memang benar, mengapa manusia terkesan kelelahan dalam
'kutukan' kebebasan itu dan memutuskan bersintesa menjadi etre-en-soi-pour-soi
? Mengapa Sartre justru berpendapat ingin kembali ke sebuah keadaan dimana dia
sendiri menilai keadaan itu memuakkan ? Mengapa tidak mencari jalan keluar yang
lain ?
3.
Terakhir, saya ingin membandingkannya Sartre dengan Ali Shariaty, seorang
filsuf Islam pengagum Sartre. Agak mirip dengan para eksistensialis relijius
diatas. Baginya tujuan perjalanan manusia adalah bersatu dengan Tuhan, dan
kebebasan (bersama dengan kreativitas dan kesadaran) dinilai bukan sebagai
kutukan tetapi justru sebagai anugerah dari Tuhan untuk memimpin dunia dan
membangun peradaban. Justru karena kebebasan kita, menurut Shariaty, kita
menghancurkan lingkaran setan diatas (yang digambarkan dengan empat penjara
determinisme, yaitu sosiologisme, historisisme, biologisme, dan Ego) dan
berjalan menuju Tuhan, ketika hidup atau sesudah kematian. Dan tujuan 'ada'-nya
manusia bukannya kesia-siaan, tetapi setiap manusia--karena kebebasannya
itu--mengemban misi profetik membangun dunia sebagai khalifah dan nanti akan
dimintai pertanggungjawabannya akan tugas-tugasnya itu.
Bibliografi
Bakker,
Anton. Metafisika Uimum (filsafat pengada dan dasar-dasar
kenyataan). Kanisius :
Yogyakarta, 1992.
Bertens,
Kees. Fenomenologi Eksistensial. Gramedia :jakarta, 1987.
-------------.
Filsafat Barat Abar XX Jilid 2 (Perancis). Gramedia
Pustaka Utama : jakarta, 1996.
Drijarkara.
Percikan Filsafat. Pembangunan Jakarta : 1981. Cet 4.
Edwards,
Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan
Publishing Co : New York,
1972.
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:
Yogyakarta,
1980.
Sartre,
Jean-Paul. Being and Nothingness (the Principle text of modern
existentialism).
Philosophical Library, Washington:1992.
Siswanto,
Joko. Sistem-sistem metafisika barat, dari Aristoteles sampai
Derrida. Pustaka
Pelajar,Yogyakarta 1998
Sutrisno,
Mudji. "Eksistensialisme, pergumulan untuk menjadi manusia" dalam
Para Filsuf Penggerak Jaman.
Kanisius : Yogyakarta, 1987.
Modernitas dan Kematian
Manusia
Oleh Romanus N. Lendong
Akar
historis modernisme berawal dari jaman pencerahan, enlightement (1350-1600).
Dalam era tersebut masyarakat Eropa membangkitkan kembali kebudayaan Yunani dan
Romawi kuno. Dan banyak inspirasi rasional yang ditimba darinya sehingga
kecenderungan berpikir dalam era tersebut mulai kegelapan dogmatis abad
pertengahan yang dikuasai cara berpikir gereja. Faktor iman dan kepatuhan pada
otoritas gereja mendapat porsi besar. Pada saat itu muncullah filsuf-filsuf
kritis yang pemikirannya hingga kini menentukan irama jaman seperti Kant,
Hegel, Marx, Comte, Nietzsche, Sartre dan sebagainya [1].
Suatu
hal yang menentukan berkembangnya
modernisme adalah peralihan filasafat
dasar dari Theosentris kepada Antroposentris. Yang pertama dimaksudkan bahwa
Tuhan menjadi sentra pemikiran kefilsafatan sementara yang terakhir menusia
menjadi pusatnya. Dengan Theosentris manusia mengarahkan orientasi dan dasar
hidupnya bagi kepenuhan hidup kerohaniahan untuk mencapai keselamatan jiwa,
sementara yang terakhir manusia berusaha menggapai kelimpahan dan kenikmatan
ketubuhan secara sporadis dan temporer. Hal ini dipersubur oleh pemikiran para
filsuf yang merudusir peran transenden, seperti Comte yang yang memaklumkan
kematian pengetahuan absolut, sebab tidak bisa diverifikasi, dan karena itu
dianggap irasional. Sartre juga memperlihatkan sikap skeptismenya: ....ada
tidaknya Tuhan, tidak ada yang berubah karenanya; Nietzsche dengan pikiran
gilanya: God is dead, yang termanifestasikan dalam nihilismenya serta meramalkan
lahirnya peradaban tanpa Allah. Tidak bias diabaikan juga Marx yang menatap
sejarah sebagai dialektika pertentangan kelas dan mencemooh agama sebagai candu
masyarakat.
Penggunaan
rasio sebagai piranti melahirkan ilmu, pengetahuan dan teknologi merupakan
prasyarat dasar bagi proyek modernitas. Magnis-Suseno [2] mencirikan masyarakat
modern sebagai berikut:1) Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat yang
berdasarkan industrialisasi. Industrialisasi menjadi darah daging masyarakat
modern. Industrialisasi menjadi format dasar yang bukan hanya bidang ekonomi,
melainkan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatannya, way of life nya dan
sebagainya. 2) Implikasi dari industrialisasi adalah perubahan total dan
mendalam dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut semua bidang
kehidupan dan yang paling mencolok adalah penciptaan jalur-jalur komunikasi
lokal, regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu lintas
mengalami perkembangan revolusioner dan manusia difasilitasi mesin-mesin yang
mempermudah pekerjaan. 3) Industrialisasi tingkat pertama sudah dilalui oleh
negara-negara industri. Teknologi merupakan ilmu baru, yakni ilmu yang secara
khusus yang meneliti kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk memanfaatkanya
bagi produksi industrial. Gelombang pasca-industri kiranya akan melahirkan
masyarakat informasi. 4) Masyarakat modern adalah masyarakat yang kecuali dalam keadaan darurat dan luar
biasa tidak mengalami ketergantungan
pada alam. Muncul kesan bahwa dengan otonomi rasionya apa saja bisa diciptakan
manusia, serat semua maslah dapat dipecahkan.
Sementara
itu, sumber-sumber masyarakat modern adalah: pertama, kapitalisme dan revolusi
industri. Pelbagai bentuk ekonomi kapiltalis sudah dikenal sejak sebelum abad
ke 17 yang ditandai munculnya kota-kota pelabuhan.
Tetapi
kapitalisme dalam arti khas sebagai suatu sistem yang merevolusikan
perekonomian lahir di Eropa Barat adan Utara (Inggris, Belanda, Belgia,
Perancis) dalam abad ke 17. Hakekat kapitalisme adalah bahwa tujuan produksi bukanlah
konsumsi melainkan penambahan modal. Kapitalisme bersifat
dinamis,
sebab selalu berusaha memperluas produksi guna menguasai pasaran.
Kedua,
penemuan subyektivitas modern. Dengan subyektivitas dimaksudkan bahwa manusia,
dalam memandang alam, sesama dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia
dalam subyektivitasnya, dengan kesadarannya, serta keunikannya menjadi titik
acuan pengertian realitas. Subyektivitas dalam konterks ini mengacu pada Hegel
dan Sartre. Menurut Hegel (1770-1832) manusia itu bukan substansi, melainkan
subyek. Substansi disini dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai
sesuatu yang berada di dunia ibarat
sebongkah batu di tengah sawah. Sedangkan subyek adalah pusat kesadaran,
kesadaran akan kesadaran, pusat yang secara kritis melawankan diri terhadap
relaitas dan dunia. Manusia tidak sekedar hadir dalam dunia, melainkan hadir
dengan sadar, dengan berpikir, dengan berefleksi serta mengambil jarak secar kritis dan bebas. Ketiga, rasionalisme. Dengan rasio-nalisme dimaksud tuntutan agar semua klaim dan
wewenang dipertanggungjawabkan secara argumentatif, tanpa pengandaian
kepercayaan, jadi dapat diuniversalkan. Segi-segi rasionalisme: 1) Ciri pertama
adalah kepercayaan terhadap kekuatan akal budi manusia. Segala hal harus dimengerti
secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar, dan
sebuah klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional. 2) Penolakan tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran
rasional. Dalam bidang siosial politik, misalnya, rasionalisme menuntut
kepemimpinan rasional. Pada bidang agama, klaim dogma tidak dapat begitu saja
ditetapkan oleh otoritas religius. 3) Rasionalisme mengembangkan metode baru
bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi, yakni pengamatan dan eksperimen serta
bertumpu pada dalil-dalil ilmiah. 4) Rasionalisme membawa serta sekularisme.
Sekularisasi ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam
membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja.
Sekularisme menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat.
Modernisme
adalah sebuah proses yang amat ambivalen, yang akan berjalan terus entah kita
menyetujuinya atau tidak. Betapa dilematisnya modernisme yang dikonstruksi atas
kemajuan iptek dapat dicermati dari kegalauan Robert Morisson, pemikir
teknologi terkemuka dari Massachusets. Ia berkisar: "They are so very good
at getting you to Paris in three hours, but so very poor at telling you what to
do when you get there" [3] Kegalauan serupa juga dialami E.F. Schumacher,
yang mendapatkan dirinya seakan-akan berada di negeri asing. Ortega Y. Gasset
pernah mengatakan bahwa "kehidupan ditembakkan ke arah kita secara
langsung". Kita tak dapat mengatakan: "Tahan dulu. Tunggu setelah
segala sesuatunya telah saya pilih dan perhitungkan!"
Keputusan-keputusan
harus diambil sementara kita belum siap; tujuan-tujuan harus dipilih sementara
kita belum melihat dengan jelas. Ini teramat ganjil, dan sekilas pandang,
sangat tidak masuk akal. Rupa-rupanya manusia "diprogram" secara
tidak memadai. Fenomena modernisme, yang
diyakini sebagai pilihan tepat membebaskan manusia dari situasi ketertinggalan,
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, meski dalam arti terbatas menunjukkan
kemajuan yang cukup spektakuler, tetapi juga menyisakan persoalan-persoalan
yang rumit dan kompleks. Penggunaan rasio yang melahirkan kemajuan iptek
merupakan embrio ekspansi wilayah, imperialisme. Modernisme, dengan demikian,
disamping menawarkan kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi
model-model belenggu baru yang jauh lebih dahsyat. Peter L. Berger [4]
mengisyaratkan bahwa modernisme yang dicirikan oleh kemajuan iptek tidak lebih
dari ideologi yang menutup-nutupi kenyataan imperialisme, eksploitasi, dan
letergantungan.
Justifikasi
pernyataan Berger ialah kenyataan lahirnya korelasi a-simetris antara bangsa
barat yang menguasai dan mendominasi iptek dengan seperangkat nilai budayanya
dengan bangsa Timur yang diberi atribut: underdeveloped countries atau
eufemismenya, developing countries. Korelasi serupa inilah yang oleh Galtung
dikatakan merupakan awal kekerasan, yakni situasi bilamana manusia dipengaruhi
sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah
realisasi potensial. Hal ini oleh Simon Weil digambarkan secara ekstrim: kekerasan
adalah tindakan yang mereduksi seseorang atau kelompok menjadi barang. Tindakan
terakhir dari reduksi itu ialah pembunuhan, yakni mereduksi seseorang menjadi
mayat [5].
Secara
garis besar ada dua paradigma yang saling bersaingan dalam menjelaskan dan
menguraikan masalah kekayaan dan kemiskinan di antara bangsa-bangsa, yakni
teori modernisasi dan imperialisme. Teori modernisasi dicirikan oleh pemakaian
istilah-istilah: "modern", "pembangunan",
"pertum-buhan
ekonomi", "diferensi institusional", dan "pembangunan
bangsa" (nation building). Sementara imperialisme cenderung memakai
istilah: "ketergantungan", "eksploitasi", dan
"neokolonialisme" serta "pembebasan" [6]. Saya mereduksi modernitas di sini sebagai
fenomena pembangunan. Di sini diperlihatkan tergusurnya nilai-nilai etis dan
moral oleh target pembangunan untuk mencapai kemajuan fisikal.
Berger
meyakini bahwa pembangunan pada dasarnya adalah suatu persoalan. Persoalan
terutama bagi pembuat kebijakan bagi kepentingan rakyat banyak di suatu negara. Bercermin pada korelasi a-simetris antara
bangsa Barat dan bangsa Timur, pembangunan tidak lebih dari slogan yang
melicinkan jalan penguasaan wilayah. Imperialisme melahirkan perbudakan,
perendahan martabat manusia. Nilai-nilai budaya Timur yang tradisional
disingkirkan, digantikan budaya barat yang modern.
Pembangunan
merupakan persoalan terutama karena meniscayakan pengorbanan. Demi kelancaran
lalu lintas, perlulah menggusur tanah rakyat. Gedung-gedung pencakar langit,
mall, swalayan, lapangan golf, dan sebagainya merupakan hasil sulapan lahan
pertanian sehingga rakyat kehilangan pekerjaan. Hak rakyat terhempas oleh
kesewenangan negara selaku pemegang otoritas tunggal pembangunan. Mohtar
Mas'oed (1994) memperlihatkan bahwa pembangunan di bidang ekonomi mengandaikan
pengorbanan politik. Pembangunan ekonomi mendasarkan diri pada sifat rasional,
efisiensi, efektivitas dan pragmatisme. Semenjak Orde Baru hal ini ditambah
dengan faktor stabilitas yang meminimalkan partisipasi dan aspirasi politik
rakyat.
Heru
Nugroho (1996) mencermati munculnya perilaku konsumtif di kalangan masyarakat
dan generasi muda sebagai implikasi pembangunan ekonomi yang kian mengglobal.
Bagi generasi muda hal ini terlihat pada kegandrungan terhadap budaya Barat
seperti musik pop, gaya hidup ABG, gaya hidup instant dan sebagainya. Bahkan,
perilaku konsumtif tersebut sudah mengarah pada hedonisme, yakni gaya hidup
yang mengutamakan kenikmatan kebutuhan semata yang indikasinya adalah
meningkatnya fenomena free sex, pemakaian obat-obat perangsang hingga tindak
kriminal yang disulut oleh tidak terpenuhinya hasrat konsumtif secara wajar.
Tampaklah
bahwa modernisme yang melahirkan "pembangunanisme" meminggirkan
pertimbangan-pertimbangan etis sehingga menggusur nilai-nilai kemanusiaan. Harkat
dan martabat manusia ditundukkan di bawah hasrat pemilikan harta dan kesenangan
sesaat. Inilah indikasi yang oleh Louis Leahy (1989) disebut
"kematian" manusia. Manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu
realitas 'sui generis' dan khas, yang lebih tinggi, unik dan absolut terhadap
alam semesta. Jauh daripada memberi arti (signifikasi) kepada realitas ekstern,
sebaliknya realitas itu sendirilah yang secara total menentukan kondisi
manusia. Langkah antisipasi terhadap
persoalan tersebut di atas tentu tidak mudah, butuh pengorbanan dan waktu
panjang. Tetapi, mengakomodasi nilai-nilai meta-ekonomi seperti kejujuran,
keadilan, serta dihormatinya harkat dan martabat manusia merupakan salah satu
alternatif yang mestinya sudah lama dirintis.
Catatan
akhir: 1. Budi Hardiman, F., 1990,
Kritik Ideologi, Yogyakarta,
Kanisius,
hlm. 46. 2. Magnis-Suseno, F., 1991,
Filsafat Sebagai Ilmu
Kritis,
Yogyakarta, kanisius, hlm. 56. 3.
Mangunwijaya, Y.B. (ed.), 1983,
Teknologi
dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm.
ix. 4. Berger, Peter L., 1992, Pikiran Kembara,
Yogyakarta, Kanisius, hlm.
14. 5. Lubis, Mochtar (peny.), 1988, Menggapai
Dunia Damai, Jakarta,
Yayasan
Obor Indonesia, hlm. 48. 6. Berger,
Peter L., 1983, Piramida
Pengorbanan
Manusia, Bandung, IQRA, hlm. 22.
Filsafat dan Sastra
oleh Ridwan Pinat
MEN OF IDEAS
Dalam
buku dengan judul diatas, Bryan Magee, berdialog dengan lima belas filsuf kontemporer dari berbagai negara. Antara lain dari Inggris, AS, dan Perancis. Dialog ini mula-mula ditayangkan melalui salah
satu saluran televisi Inggris
beberapa tahun silam. Setelah diadakan sedikit perubahan di sana-sini, terutama penyesuaian dari bahasa lisan
ke bahasa tulisan agar dapat lebih mudah dicerna oleh orang awam, kemudian diterbitkan
dalam bentuk buku dengan anak judul
'Some Creators of Contemporary Philosophy'.
Melalui prakata,
Magee menegaskan bahwa
penerbitan dalam bentuk
buku ini terdorong oleh keinginan untuk memperkenalkan kepada masyarakat
yang lebih luas beberapa wilayah yang
menarik dalam aneka bidang filsafat. Pertanyaan-pertanyaan seperti siapa tokoh
filsafat yang menyandang nama besar, apa yang mereka lakukan dan kenapa
mereka dianggap besar,
apa yang dimaksudkan
dengan filsafat
eksistensialisme, filsafat moral, filsafat politik, filsafat sains, dan
filsafat kesusastraan adalah beberapa
dari seruntun pertanyaan yang dijawab
oleh buku itu. Berbagai bidang
filsafat ini dikupas dalam bentuk
diskusi, dan menjadi bacaan yang
kian menarik karena
Bryan Magee memberi
penjelasan tambahan, mengambil kesimpulan serta menyuguhkan latar belakang
sejarah lapangan filsafat tertentu
terutama filsafat Marxis, dan filsafat logika positif.
Bagi
yang ingin berkenalan dengan filsafat, pertanyaan paling pertama muncul dalam pikiran mungkin adalah: apakah filsafat? Dan
justru memang pertanyaan filsafat
yang paling mendasar inilah yang
diajukan oleh Magee untuk membuka bagian pertama dari lima
belas diskusi yang
dihimpunnya ke dalam bentuk buku yang
diberinya judul 'Men of Ideas'.
Pertanyaan ini diserahkanya kepada
filsuf Inggris, Sir Isaiah Berlin dari Oxford,
dan penulis biografi Marx. Diskusi dengan Sir Isaiah Berlin
yang diberi judul 'Pengantar ke Dalam Filsafat' ini berkisar pada berbagai
permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan titik tolak yang
diambil oleh filsafat
sebagaimana secara berlebar
panjang dibentangkan oleh Isaiah
Berlin, kurang lebih dapat
kita simpulkan dengan
mengatakan bahwa di
tengah perjuangan mencari pengetahuan
tentang manusia, mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pernyaan.
Pertama, berbagai pertanyaan mengenai dunia semesta. Manusia sepanjang masa mencoba menemukan serta
menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan
yang menyangkut alam semesta ini,
menurut Berlin, hanya bisa terjawab pada akhirnya dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan
itu sendiri, menyelidiki, mengamati,
menguji, melakukan percobaan
terhadap semesta dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu bersifat
faktual, atau sebagaimana yang
dikatakan oleh para filsuf:
bersifat empiris. Atau
jelasnya, pertanyaan pertanyaan
yang berpaut dengan pengalaman.
Pertanyaan
yang kedua bersifat lebih abstrak dan
formal. Misalnya pertanyaan
pertanyaan dalam bidang matematika atau
logika. Pertanyaan jenis ini berkaitan
dengan hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem
formal, dan oleh karena itu tidak
dapat dijawab hanya dengan meninjau
alam semesta. Dengan mengatakan hal ini,
menurut Berlin lagi, tidaklah
dimaksudkan bahwa pertanyaan itu berada pada jarak
yang jauh dari perhatian kita sehari-hari. Satu sistem formal yang sudah sangat
biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari adalah aritmatik.
Sistem itu kita
pergunakan setiap hari untuk menghitung sesuatu, menentukan waktu, membilang uang dan sebagainya. Suatu sistem niskala memang bisa sangat berguna dan penting dalam kehidupan praktis kita sehari-hari. Dengan demikian, terdapat dua
golongan besar pertanyaan:
berbagai pertanyaan empiris
yang melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan pertanyaan-petanyaan
formal yang melibatkan upaya
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Hampir seluruh pertanyaan, dan karena itu
seluruh pengetahuan, termasuk
ke dalam salah satu dari golongan
pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan pertanyaan pertanyaan
yang bersifat filosofis. Hampir seluruh
pertanyaan yang menunjukkan tanda-tanda
pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua golongan pertanyaan tadi.
Pertanyaan
seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan keadilan, tidak dapat sekadar dijawab hanya dengan
meneliti ikatan suatu sistem
formal atau meninjau fakta-fakta. Oleh sebab
itu kita tidak mengetahui apa
yang harus diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan
yang menuntut jawaban tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana
menemukan jawabannya adalah awal
dari langkah filsafat. Anggapan keliru yang terlanjur meluas di
tengah masyarakat adalah
perkiraan bahwa filsafat
dapat memberikan petunjuk-petunjuk moral
tentang bagaimana semestinya kehidupan
ini harus dijalani, atau berharap bahwa
filsafat dapat menyodorkan penjelasan
tantang manusia dan alam semesta, tentang rahasia
kehidupan. Atau, dengan
lain perkataan, orang
mencoba menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban yang serba
pasti.
Seorang
filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya hanya
sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah, mengutuk atau memuji, atau memberi berbagai
petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup. Tugas seorang
filsuf, menurut Berlin, hanyalah
menempatkan arah dari satu tindakan dalam hubungan moralnya. Menentukan posisinya berdasarkan suatu peta moral, menguhubungakan
sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk nilai ke dalam mana tindakan itu tergolong. Menarik garis dari berbagai akibatnya yang mungkin terjadi
serta berbagai implikasinya
yang berpautan atau
relevan, memberikan berbagai argumen
yang pro atau
menentangnya dengan seluruh pengetahuan, pengertian, kecakapan
logika dan kedalaman moral yang dimiliki oleh sang filsuf.
Dengan demikian,
maka ia telah menjalankan
tugasnya bukan sebagai seorang pengkhotbah atau
juru mudi kehidupan,
melainkan sekadar sebagai
seorang penasehat filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh
dari itu atau melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.
Berpijak pada pandangan tadi, Berlin
menyuarakan keberatannya pada
sebagian besar filsuf moral dan politik, mulai dari Plato
dan Aristoteles sampai pada Immanuel Kant, Stuart Mill, Moore, serta kebanyakan para pemikir kontemporer. Menurut Berlin,
para filsuf itu justru berbuat sebaliknya.
Mereka berusaha mengajarkan
bagaimana membedakan antara
yang buruk dengan
yang baik, menganjurkan penerapan
pola-pola yang benar ke dalam
tingkah laku manusia. Kendati
demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas ganda: menyelidiki, khususnya mengecam
pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai yang ditetapkan atau
dirumuskan oleh manusia
dengan pikiran maupun tindakannya. Sedangkan tugas lain adalah
menampung atau melayani
berbagai pertanyaan yang tidak termasuk
baik ke dalam golongan formal maupun ke dalam golongan empiris yang telah disinggung
dipermulaan tadi.
Buku yang
diawali dengan
memperkenalkan filsafat melalui dialog
dengan Sir Isaiah Berlin itu,
kemudian beranjak menelusuri berbagai pokok pikiran dalam banyak lapangan filsafat
lainya. Filsafat Marxis misalnya,
dibicarakan melalui dialog dengan
Charles Taylor dari
All Souls College,
Oxford. Filsafat eksistensialisme moderen yang dikatakan lahir sebagai
akibat pecahnya perang dunia II,
yang diduga bermula di Perancis. Tetapi sebenarnya berawal di Jerman. Tokohnya bukan Jean Paul
Sartre melainkan Heiderger.
Ini dibicarakan melalui diskusi dengan
William Barret, seorang guru
besar filsafat pada
New York University, pengarang
buku terkenal 'Irrational
Man'. Filsafat moral dibahas dalam
tanya jawab dengan Prof. R.M. Hare.
Namun
yang ingin dibicarakan di sini secara lebih panjang lebar adalah bagian terakhir itu: dialog
Magee dengan Iris Murdoch, seorang filsuf dan novelis berdarah Irlandia terkenal
yang telah memperkaya khasanah
kesusastraan Inggris kontemprorer
dengan sejumlah novelnya, dan seperti
Salman Rushdie, ia pernah pula
meraih hadiah sastra prestisius:
'Booker's Prize'. Beberapa filsuf besar memang sekaligus pula pengarang besar atau pujangga besar. Mereka juga banyak menetaskan buku-buku kesusastraan. Contoh yang paling
jelas adalah Plato, St
Augustine, dan Schopenhaeur. Sejumlah
nama-nama besar lain
juga dapat dikatambahkan dalam
kaitan ini seperti Nietzsche, Descartes, Berkeley dan Hume. Dan yang muncul abad ini: Bertrand
Russel, serta Jean Paul Sartre. Kedua
filsuf yang disebut terakhir
ini bahkan berhasil
memenangkan hadiah Nobel dalam kesusastraan. Begitupun, Magee berpendapat bahwa kesusastraan tidaklah begitu saja dapat dianggap sebagai
cabang dari filsafat. Kalau seorang filsuf
berhasil menciptakan karya sastra
yang baik, ini merupakan satu kelebihan baginya. Ia menjadi tumpuan
perhatian yang lebih menarik untuk dikaji.
Namun
keberhasilannya mencipta karya sastra yang baik tidaklah dengan sendirinya
membuatnya menjadi seorang filsuf yang baik. Karena kwalitas serta arti penting filsafat bukan diperhitungkan
berdasarkan nilai-nilai sastra atau estetika.
Hal ini agaknya memang perlu ditekankan
karena dalam beberapa segi antara
filsafat dengan
kesusastraan, dua bidang yang
sama sekali berbeda, ternyata memang seringkali mengalami tumpang tindih. Orang mencampur-baurkannya sehingga tidak terlihat lagi perbedaan antara keduanya. Dan masalah
inilah yang menguasai diskusi
Bryan Magee dengan Iris Murdoch, seorang yang seperti sudah dikemukakan tadi, menyandang predikat filsuf
yang sekaligus juga novelis internasional
yang produktif. Sayang ia telah berpulang belum lama berselang. Pada
bagian diskusi pertama
dibicarakan perbedaan antara
filsafat dengan
kesusastraan. Di bagian
kedua didiskusikan ide-ide
filosofis mengenai kesusastraan,
dan di bagian terakhir kedua tokoh tadi membahas filsafat dalam kesusastraan.
Menurut
Iris Murdoch, filsafat bertujuan
memperjelas dan menerangkan, filsafat
mencoba memecahkan persoalan-persoalan
yang sulit dan sangat teknis sifatnya. Penulisan filsafat
harus dengan patuh berangkat menuju tujuan itu. Sedangkan kesusastraan adalah satu seni.
Satu segi dari suatu bentuk seni. Kesusastraan mengemban tujuan-tujuan kesenian.
Kesusastraan merupakan satu
bentuk pengungkapan diri,
sementara filsafat tidak demikian halnya. Filsafat tidak menuju pada
satu bentuk penyempurnaan formal demi
kepentingan filsafat itu sendiri,
padahal kesusastraan bergelut dalam permasalahan kompleks dalam bentuk estetika. Kesusastraan mencoba menghasilkan suatu macam penyelesaian. Karya sastra berusaha
menciptakan ilusi, sementara
filsafat justru berjuang melenyapkan ilusi. Karya
sastra adalah karya seni, sementara karya filsafat adalah sesuatu yang lain.
Memang ada, tutur
Murdoch, tetapi sangat
jarang, karya filsafat yang dapat sekaligus dinilai
sebagai karya sastra atau seni
seperti 'Symposium' karya Plato.
Ditegaskan pula olehnya bahwa adalah dalam kaitannya dengan bagian karya filsafat Plato yang
lain, 'Symposium' dapat dinilai sebagai satu
pernyataan filsafat. Banyak pemikir besar yang sekaligus juga pengarang
besar, namun mereka tidak bisa disebut
filsuf. Contoh yang dikemukakan Iris Murdoch adalah Soren Kierkergard dan
Nietzsche, dua tokoh yang oleh
Dr Fuad Hassan dalam
buku 'Berkenalan dengan Existensialisme'
terbitan Universitas Indonesia
dibicarakan sebagai filsuf Existensialist.
Kendati Murdoch
berpendapat bahwa kesusastraan
dan filsafat merupakan dua lapangan yang berlainan, namun ia sendiri ternyata tidak mampu mendefinisikan apa sebenarnya
yang dimaksud dengan
kesusastraan. Walaupun demikian,
ia mengatakan orang secara
kasar memahami apa
yang diartikan dengan istilah kesusastraan. Kesusastaran
adalah bentuk seni yang menggunakan medium kata-kata. Karya jurnalistik karena itu juga
dapat dinilai sebagai karya kesusastraan. Tulisan ilmiah juga bisa dianggap sebagai karyaa sastra. Kesusastraan, menurut Murdoch, beragam
bentuknya dan amat luas. Filsafat dinilainya sempit dan sulit. Begitupun, Murdoch
menandaskan bahwa filsafat bukan
suatu jenis pencapaian
sainstifik. Filsafat menggoncangkan konsep-konsep semi-estetis
terhadap mana kita umumnya bergantung. Dan katanya pula, siapa saja yang mengandalkan sains, akan tersingkir ke luar wilayah
filsafat. Filsafat adalah upaya untuk
mengamati berbagai konsep yang
paling umum dan mendalam. Bukanlah ikhtiar yang gampang mengajak orang untuk
dapat melihat tahap di mana filsafat melakukan operasinya.
Meskipun
Iris Murdoch bisa menerima filsafat dan kesusastraan sebagai dua bidang yang
berlainan, namun ia juga mengakui bahwa
terdapat pula persamaan di antara
keduanya. Filsafat dan kesusastraan, kata Murdoch, adalah pencari
kebenaran dan berupaya mengungkapkan
kebenaran. Keduanya merupakan kegiatan yang
disadari serta dilandaskan pada pengertian, atau bersifat kognitif. Kesusastraan adalah aktivitas imajinatif, begitu juga
halnya dengan filsafat.
Tetapi pertanyaan pertanyaan yang dikejar oleh
filsafat secara keseluruhan tidak serupa dengan pertanyaan-pertanyaan kongkrit
yang ingin digapai oleh kesusastraan.
Berbagai metoda
yang diterapkan, serta
suasana yang melingkupi
filsafat, sebagaimana pada
sains, berusaha menangkis berbagai godaan fantasi pribadi, sementara imajinasi kreatif
serta fantasi amat erat dan merupakan kekuatan
yang tidak dapat dielakkan
oleh seorang pencipta karya sastra.
Filsuf wanita itu menilai bahwa
hasrat untuk mengungkapkan diri, untuk memperjelas dan menentukan nilai diri, merupakan motivasi yang kuat
untuk berkarya. Dalam hal ini yang dimaksudkan Murdoch adalah karya
sastra. Karena itu ia berpendapat
bahwa lebih menyenangkan untuk menjadi seorang seniman daripada berusaha menjadi seorang filsuf.
Sastra bisa
dianggap satu tehnik
disiplin untuk membangkitkan emosi-emosi tertentu, termasuk emosi-emosi yang merangsang sensasi khayalan dan sensasi fisik. Sebagian besar wujud kesenian,
kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, dengan berbagai fantasi yang tidak baik. Yang ia maksudkan dengan fantasi tidak baik itu adalah fantasi yang
mengundang imaji pornografis, menimbulkan
bentuk-bentuk pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan
berbagai nilai yang salah seperti
pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan.
Dengan alasan ini pulalah sementara filsuf berbalik memusuhi seni.
Bahkan melalui salah satu bukunya yang
berjudul 'The Fire and The Sun', Iris Murdoch secara khusus berbicara tentang sikap permusuhan
Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya justru sering
menggunakan bentuk-bentuk
seni. Atau seperti
dikatakan Bryan Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam
karya-karya Plato. Lantas kenapa
Plato, sebagaimana yang
dinilai oleh Murdoch, bukan
hanya bapak filsafat,
melainkan juga seorang
filsuf terbaik, justru
mengambil sikap bermusuhan terhadap seni?
Dari titik
tolak pertanyaan itulah
Murdoch kemudian berangkat menguraikan teorinya mengenai
pandangan filsafat terhadap kesusastraan. Sebagai seorang pakar teori politik, kata Murdoch,
Plato takut terhadap kekuatan emosional
yang irrasional dalam seni.
Kekuatan untuk menyebarkan berbagai
kebohongan yang menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato
menyepakati sensor yang keras serta
pembasmian para pengarang lakon
sandiwara. Plato taat pada agama,
dan ia merasa bahwa seni
memusuhi agama dan filsafat. Seni menurut Plato
merupakan suatu pengganti yang egoistis bagi disiplin agama. Kenyataan bahwa karya Plato sendiri merupakan karya seni yang besar
adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri secara
teoritis tidak mengakuinya.
Dikatakannya, terdapat
pertenggkaran yang sudah berlangsung
lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur Murdoch,
pada masa Plato filsafat baru
saja muncul atau lahir dari berbagai bentuk puisi dan spekulasi
teologis. Filsafat memang mengalami
kemajuan dengan membatasi dirinya sebagai sesuatu yang tersendiri. Pada masa
Plato, filsafat memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh
belas memisahkan diri ilmu alam. Pada
abad kedua puluh memisahka diri dari psychologi. Plato berpendapat seni adalah
usaha meniru, tetapi peniruan yang
buruk. Murdoch berpendapat,
memang benar bahwa lebih banyak seni
yang buruk daripada seni yang bagus di sekitar kita. Dan Ironisnya orang justru
lebih menyukai seni yang buruk
itu daripada yang baik. Plato berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah
fantasi pribadi, suatu bentuk perayaan
terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk penyelewengan dari hal-hal yang
baik.
Selanjutnya Murdoch
mengatakan bahwa Plato
menilai seni sebagai
usaha penjiplakan yang remeh
terhadap obyek tertentu tanpa mengandung arti penting umum. Pendapat Plato ini
menurut Murdoch tidaklah
secara keseluruhan berbeda dengan pandangan Bapak psikologi, Sigmund Freud. Freud
menilai seni sebagai fantasi
seorang seniman yang berbicara langsung kepada fantasi penikmat karya seninya. Seni dalam pandangan Freud adalah
satu bentuk hiburan pribadi, satu
jembatan untuk memperoleh kepuasan yang tidak
sempat didapat dalam kehidupan
nyata. Oleh karena itu, kata Murdoch,
kita bisa menyaksikan bagaimana
sebuah cerita menegangkan atau filem yang
sentimental dengan mudah bisa merangsang fantasi pribadi
para pembaca atau penonton.
Pornografi adalah contoh yang ekstrim dari seni tersebut.
Namun
dipertanyakan oleh Bryan Maggee
apakah kritik semacam itu hanya berlaku untuk seni
yang buruk. Bagaimana
halnya dengan seni
yang baik? Menjawab pertanyaan ini,
Iris Murdoch mengatakan bahwa seorang penikmat seni bisa saja menggunakan hasil seni untuk
melayani tujuannya sendiri, dan hanya seni yang bagus sanggup
menolak tujuan-tujuan yang tidak baik
dengan lebih berhasil. Maksudnya
seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan
citra (image) yang pornografis, padahal karya seni
yang dipamerkan di sana
barangkali tidak semuanya bisa
menimbulkan citra pornografis. Dan
karena itu, kemungkinan suatu karya seni
ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Murdoch
secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya
bahwa pornografi mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai seni. Dan disayangkannya pula bahwa
lebih banyak orang justru menyukai,
seperti yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.
Lalu
karya seni bagaimana yang dinilai
baik oleh Murdoch? Saya kira,
katanya menerangkan, karya seni yang baik
adalah karya seni yang mengandung
imajinasi, bukan fantasi. Karya
itu hendaknya mampu mematahkan
kebiasaaan kita untuk berfantasi,
dan sekaligus mendorong kita berusaha
untuk mendapatkan pandangan yang benar tentang hidup dan kehidupan. Kita seringkali tidak
berhasil melihat kenyataan dunia yang luas
ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi, kekhawatiran, rasa iri, kejengkelan dan ketakutan. Kita membangun dunia kecil kita untuk diri kita sendiri, dan kita
terkungkung di dalamnya. Seni yang bagus, karya seni yang besar,
kata filsuf wanita itu pula, adalah
karya seni yang bersifat membebaskan,
yang memungkinkan kita untuk
melihat dan mendapatkan kesenangan
dari sesuatu yang bukan melulu kupuasan kita akan diri kita sendiri. Karya sastra
yang baik, tambah Murdoch, adalah
karya sastra yang sanggup mendorong serta memuaskan rasa
ingin tahu kita, yang mampu membuat kita
menaruh perhatian kepada orang
lain serta masalah-masalah lain, yang
sanggup membuat kita bertenggang rasa
dan lapang dada.
Dikatakannya pula, bahwa
dengan berpandangan demikian, bukan berarti dirinya hanya menilai seni
semata-mata dari sudut pendidikan
serta faedahnya saja. Seni lebih
luas dari gagasan-gagasan
sempit seperti itu, tegas Murdoch. Plato setidaknya juga berpendapat betapa pentingnya seni itu dalam kehidupan manusia. Dan Plato sekaligus mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang
menarik tentang itu.
Iris Murdoch
menilai para filsuf
secara keseluruhan tidak sungguh-sungguh berusaha menulis dengan
baik tentang seni karena mereka menganggap seni
sebagai masalah kecil. Dalam pada itu Magee berpandapat bahwa tidak
seperti hampir semua filsuf lainnya,
filsuf Perancis Shopenhauer
menilai seni sebagai titik pusat kehidupan manusia, dan sang filsuf berbicara secara mendalam mengenai hal itu. Memang benar, kata Murdoch, Schopenhaeur
memang bertikai pendapat dengan Plato.
Ia bahkan memutar balik pandangan
Plato tentang seni. Schopenhaeur mengatakan bahwa seni menguakkan cadar atau kabut subyektivitas, menangkap arus pancaroba kehidupan, dan membuat kita
bisa melihat dunia nyata serta menghayati keindahan. Ia menilai seni sebagai
kegiatan kecendekiaan, aktivitas moral yang tinggi, satu usaha untuk mengatasi diri dan melihat
dunia. Sekalipun demikian,
ditegaskan oleh Murdoch bahwa Schopenhauer hanyalah satu perkecualian di kalangan
para filsuf yang benar-benar mencintai dan menghargai seni.
Dan
untungnya, ujar Murdoch, seniman tidak
terlalu banyak memperhatikan para
filsuf. Filsafat terkadang bisa merusak
seni. Filsafat bisa membuat orang
buta terhadap beberapa jenis
seni, atau hanya mampu menghasilkan jenis-jenis seni tertentu. Pendapat
Murdoch ini dikuatkan oleh Bryan Magee dengan mengemukakan contoh justru di
dunia moderen. Di antara filsafat yang
merusak seni, kata Magee, adalah
Marxisme. Menurut teori Marxis, seni memiliki satu peranan khusus, yakni
menjadi alat atau instrumen dari revolusi sosial. Semua hasil seni Marxis itu, seperti dalam
bentuk novel, sandiwara, lukisan, seni
rupa dan sebagainya, dinilai Magee
sebagai sampah. Alasannya, penciptaan seni Marxis itu sama sekali tidak digerakkan oleh dorongan seni
yang murni.
Dalam pada itu
Murdoch menolak anggapan
bahwa tugas seorang seniman adalah melayani atau mengabdi
kepada masyarakat. Marxis,
kata Murdoch, beranggapan demikian: tugas
seorang seniman mengabdi
kepada masyarakat, meskipun dikatakannya pula sudah lama timbul
pertikaian pendapat mengenai hal itu. Segera setelah seorang pengarang berkata kepada dirinya sendiri, kata Murdoch, bahwa saya
harus mengubah masyarakat
melalui tulisan-tulisan saya,
maka besar kemungkinan
pengarang itu akan merusak karya-karyanya. Tapi apakah pernyataan Murdoch yang terakhir
ini bisa berlaku untuk Charles Dickens
misalnya? Charles Dickens salah seorang
pengarang besar Inggris dengan
tujuan-tujuan sosial yang murni. Ia tidak
diragukan lagi telah berhasil
mendatangkan, melalui karya
karyanya, pengaruh sosial yang luas.
Dickens, kata Murdoch,
memang berhasil berbuat banyak hal. Ia misalnya
berhasil sebagai pengarang besar yang imajinatif dan seorang kritikus sosial yang kukuh
dan lantang. Namun hal ini
disebabkan oleh karena adanya berbagai skandal dalam masyarakat. Dickens sangat
berhubungan erat dengan kegaduhan serta perubahan sosial yang secara amat
mendalam menjerat imajinasinya. Dickens menjadi pengarang besar berkat kemampuannya menciptakan perwatakan para
pelakunya, di samping karena
kedahsyatan imajinasinya yang
sedikit saja berkaitan dengan pembaharuan atau perubahan sosial.
Dengan mengatakan itu, Murdoch tetap
berkeras untuk tidak beranggapan bahwa seniman, atau sentengah seniman,
mengemban satu tugas besar terhadap masyarakat. Seorang warga negara memang
memikul tugas kemasyarakatan, dan seorang
pengarang memang mungkin kadang-kadang
merasa punya keharusan menulis
sebuah artikel di surat kabar untuk
membujuk atau meyakinkan masyarakat, namun itu merupakan satu kegiatan
yang lain sifatnya. Kewajiban
seorang seniman adalah kepada seni, mengungkapkan kebenaran melalui
media seni yang dipilihnya. Tugas utama
seorang pengarang adalah menciptakan karya-karya sastra sebaik yang
dapat dilakukannya, dan ia harus
berusaha untuk dapat melaksanakanya. Sebuah karya teater yang penuh
propaganda dan bersikap acuh tak
acuh terhadap seni,
mengandung kemungkinan menjadi sebuah
pernyataan yang menyesatkan, walaupun
karya teater itu diilhami oleh
sekian prinsip yang baik. Apabila
seni yang betul-betul seni dijadikan sebagai tujuan, kata Murdoch lebih
lanjut, maka keadilanlah yang harus dijadikan tujuan utama.
Sebuah tema
sosial yang ditampilkan melalui satu
bentuk karya seni, besar kemungkinan akan
menjadi lebih jelas ditangkap maksudnya walaupun
tema itu barangkali kurang
mengandung daya untuk meyakinkan masyarakat. Dan seniman, sembarang seniman, boleh saja secara
sambil lalu melayani
masyarakat dengan mengungkapkan hal-hal yang
tidak diperhatikan atau
difahami oleh masyarakat tersebut. Dalam
setiap masyarakat, kata Murdoch,
terdapat propaganda, memiliki
kemungkinan-kemungkinan
propaganda, sehingga kemampuan untuk
membedakan propaganda ini, termasuk usaha melestarikan kesucian serta
kemandirian penerapan praktek-praktek seni adalah penting sekali. Satu
masyarakat yang baik, demikian Murdoch,
adalah masyarakat di mana para
senimannya bisa melakukan berbagai hal
yang berlainan. Masyarakat yang buruk, adalah masyarakat yang menindas
kebebasan seniman karena masyarakat
itu tahu bahwa seniman bisa
mengungkapkan berbagai kebenaran.
Descartes, Rene
diterjemahkan oleh Heriyadi
Hukum-hukum
Descartes
Dalam
karyanya Discourse on Method, setelah mengkritik pendidikan yang masih
didominasi oleh Scholasticism pada masa itu, ia memperkenalkan metode baru.
Yang menurutnya harus menjadi dasar bagi seluruh pendidikan dan riset sains
serta filsafat.
Hukum-hukum
tersebut adalah :
·
Untuk
tidak menerima suatupun sebagai benar jika tidak secara rasional jelas dan dapat dibedakan;
·
Menganalisa
ide-ide yang kompleks dengan menyederhanakannya dalam elemen yang konstitutif,
dimana rasio dapat memahaminya secara intuitif;
·
Merekostruksi,
dimulai dari ide yang simple dan bekerja secara sintetis ke bagian yang
kompleks;
·
Membuat
sebuah enumerasi yang akurat dan lengkap dari data permasalahan, menggunakan
langkah-langkah baik induktif maupun deduktif..
Menurut
Descartes ide tidak dating dari pengalaman, akan tetapi intelektual menemukan
dalam dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa hanya ide-ide inilah yang valid
dalam ranah realitas. Jadi 'ke-konkret-an' atau validitas obyek dari sebuah ide
tergantung dari kejelasan dan pembedaan itu sendiri.
Metafisika Descartes
Metode
Descartes dalam metafisika dimulai dari pencariannya atas segala sesuatu yang
'jelas' dan 'berbeda', dan dari sinilah dia memulai pemikiran deduktifnya.
Untuk memulai dengan pijakan yang kuat dia memperkenalkan 'metode keraguan',
keraguan yang akan menjadi titik awal datangnya kepastian. Keraguan ini berbeda
dengan para skeptis yang ragu untuk tetap ragu.
Premis
awal yang disusun oleh Descartes adalah "Saya ragu" yang kemudian
dilanjutkan dengan "Ketika seseorang ragu dia pasti berpikir". Dan
dari sana muncul proposisi "Ketika saya berpikir maka saya ada" atau
'Cogito Ergo Sum'. Inilah yang menjadi landasan dari filsafat Descartes untuk
menyatakan keberadaan Tuhan atau realitas primer (res cogitans).
Dalam
membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes menggunakan tiga argument dasar yaitu :
·
"Cogito"
telah memberikan kesadaran pada diriku sendiri atas keterbatasan diri dan
ketidaksempurnaan keberadaan. Ini membuktikan bahwa aku tidak memberikan
eksistensi pada diriku sendiri, dalam permasalahan tersebut, aku telah
menyerahkan diriku pada sifat yang sempurna yang tidak kumiliki, dimana menjadi
subyek yang diragukan.
·
Aku
memiliki Ide kesempurnaan : jika aku tidak memilikinya, aku tidak akan pernah
tahu bahwa aku tidak sempurna. Sekarang darimanakan datangnya ide kesempurnaan
tersebut ? tidak dari diriku sendiri, karena aku tidak sempurna dan kesempurnaan tidak datang dari yang tidak
sempurna. Jadi datangnya dari Sesuatu yang Sempurna, yaitu Tuhan.
·
Analisis
dari ide kesempurnaan melibatkan eksistensi dari Keberadaan yang Sempurna,
bagai sebuah lembah yang termasuk dalam ide sebuah gunung, maka eksistensi juga
termasuk dalam ide kesempurnaan tersebut.
Hal
ini merupakan pembeda antara filsafat sebelum Descartes atau filsafat klasik
dan filsafat modern. Dari Descartes filsafat dituntut dari 'ilmu keberadaan'
(science of being) menuju 'ilmu pemikiran' (science of thought/epistimologi).
Di mana filsafat ini lebih di dalami oleh Kant dan filsuf idealisme lainnya.
Karena
pijakannya yang menggunakan rasio daripada pengalaman empiris maka Descartes
dikenal sebagai filsuf rasionalis daratan bersama dengan Spinoza, dan Leibniz.
Sementara tidak jauh dari jamannya dan tempatnya muncul tiga filsuf yang
dikenal sebagai empiris-anglo saxon yaitu : Locke, Berkeley, dan Hume.
Dunia
menurut Descartes mempunyai karakterisasi sebagai perpanjangan (res extensa),
yang tidak terbatas. Dalam perpanjangan ini, kekuatan Tuhan menempati kekuatan
atau gaya dan pergerakan, yang ditentukan oleh prinsip kausalitas absolut.
"Dunia adalah sebuah mesin besar", dunia anorganik,
tumbuhan,
binatang, dan bahkan manusia, sepanjang tubuhnya yang menjadi perhatian, adalah
mesin yang diperintah oleh hukum pergerakan kausalitas.
Kritik terhadap Filsafat Descartes
Filsafat
rasionalis Descartes yang mengandalkan rasionalitas mengabaikan pengalaman
empiris sebagai dasar kebenaran, hal inilah yang ditolak oleh filsuf empirisme,
yang pada waktu hampir bersamaan tumbuh di Inggris. Filsafat empirisme
mengatakan bahwa bukanlah rasio yang menyusun kebenaran, akan tetapi
pengalamanlah yang nantinya membawa manusia dalam kebenaran.
John
Locke, salah satu filsuf empirisme mengatakan bahwa manusia itu seperti tabula
rasa yaitu kertas putih yang nantinya akan ditulisi dengan pengalamannya di
dunia nyata. Dan inilah yang bertolak belakang dengan filsafat rasionalisme
terutama Descartes.
Setelah
empirisme kritik timbul dari Spinoza, salah satu filsuf rasionalis yang berada
di Belanda. Dengan pantheismenya dia membantah dualisme antara pemikiran dan
tubuh yang dikemukakan oleh Descartes.
Kritik
yang sangat tajam justru disampaikan oleh Kant dalam karyanya "Critique of
Pure Reason", di sini kant mengatakan bahwa kebenaran tidak dating dari
rasio murni atau empiris murni melainkan gabungan dari keduanya yang dibedakan
atas a priori dan a posteriori.
Beberapa
yang masih menjadi perdebatan tentang filsafat Descartes adalah metodenya yang
meragukan segala sesuatu. Dari keragu-raguannya yang meragukan segala hal
bahkan dia hamper mengatakan bahwa semuanya salah, dia mengajukan premis di
mana dia memiliki ide tentang Tuhan sebagai keberadaan sempurna. Problematika
ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan hangat. Yang menjadi sorotan
adalah inkonsistensi yang dilakukan Descartes dalam metodenya. Ketika
menyatakan bahwa segalanya diragukan, pada saat yang sama dia memakai
anggapan-anggapan rasio umum dan secara terus-menerus dia pergunakan. Seperti
dalam 'Cogito Ergo Sum' yang menggunakan kontradiksi ini, dimana Descartes
menempatkan 'berpikir' dan 'ragu' sebagai bukti keberadaannya atau
eksistensinya. Karena pada pokoknya Descartes berpikiran bahwa tidak mungkin
berpikirdan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis dapat terjadi bersamaan.
Seharusnya ketika dia meragukan segalanya berpikir dan tidak berpikir atau
eksis dan tidak eksis bisa saja terjadi dalam waktu yang bersamaan. Sehingga
pernyataan nya tentang 'Cogito Ergo Sum' tidak memiliki nilai obyektif yang
real.
Kontradiksi
pada pemikiran Descartes ini berakibat munculnya hasil yang ganda dalam setiap
karya filsafatnya. Seperti dalam pembuktian keberadaan Tuhan, sekaligus
Descartes membuktikan bahwa eksistensi Tuhan itu sendiri tidak mungkin. Karena
dengan metode keraguan yang menjadi landasan berpikirnya, maka seluruh karya filsafatnya
diragukan secara fundamental dan inkonsisten.
Ketertarikannya
pada alat mekanik pada waktu itu membuat Descartes sangatterinspirasi oleh cara
kerja alat-alat tersebut sehingga dia pun mengatakan bahwa dunia merupakan
sebuah mesin besar yang bergerak di bawah hukum-hukum pergerakan kausalitas
universal. Efek dari filsafatnya ini adalah termekanisasikannya seluruh aspek
hidup manusia yang kemudian hari dikritik oleh para pemikir postmodern seperti
Foucault, Lyotard, dan Marcuse. Akan tetapi dari semua kelemahan yang ditemukan
dalam karyanya tersebut, Descartes merupakan pionir dalam filsafat modern yang
berjasa bagi tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar