Kamis, 27 September 2012

A Paradox of our Time in History By George Carlin


A Paradox of our Time in History
By George Carlin

Paradoks sejarah waktu kita yaitu dimana kita punya gedung-gedung yang lebih tinggi tapi punya watak yang pendek; punya lebih lebar jalan-jalan tapi berpandangan sempit.
Kita menghabiskan banyak waktu, tapi hanya mendapatkan sedikit; kita membeli lebih banyak tapi menikmati lebih sedikit.
Kita memiliki rumah yang lebih besar tapi dengan keluarga yang "kecil"; lebih banyak kesempatan tapi lebih sedikit waktu; kita punya lebih banyak parameter tapi sedikit perasaan; lebih banyak ilmu tapi sedikit pertimbangan; lebih banyak ahli tapi lebih banyak masalah; lebih banyak obat tapi sedikit
kesehatan.
Kita minum berlebihan, merokok berlebihan, menghabiskan banyak kesembronoan, terlalu sedikit tertawa, mengemudi terlalu cepat, lebih cepat marah, bangun lebih telat, sangat sedikit membaca, terlalu banyak nonton TV, dan berdoa terlalu sedikit.
Kita punya banyak barang milik pribadi tapi kita kehilangan nilai-nilai. Kita berbicara terlalu banyak, sedikit cinta, dan terlalu sering membenci. Kita telah belajar bagaimana caranya hidup, tapi tidak hidup. Kita telah melewati  umur untuk hidup, bukannya hidup melewati umur. Kita semua telah berada pada jalan ke bulan dan kembali, tapi punya masalah untuk menyebrang jalan menemui tetangga baru.
Kita terus mencoba mengekpslorasi ruang angkasa, tapi melupakan bumi, merusak bumi.
Kita telah melakukan sesuatu yang besar, tapi tidak yang lebih baik. Kita telah membersihkan udara tapi tetap membuat polusi pada jiwa. Kita telah memisahkan atom tapi tidak memisahkan prasangka. Kita menulis lebih banyak, tapi belajar lebih sedikit.
Kita banyak merencanakan, tapi sedikit menyelesaikan. Kita telah belajar dari kesibukan, tapi tidak belajar untuk menunggu. Kita membuat banyak komputer untuk menghimpun dan memperbanyak informasi tapi kita kehilangan komunikasi.
Terlalu banyak makanan 'fast food' tapi pencernaan tetap saja lambat; lebih banyak orang besar tapi berkarakter kecil; banyak keuntungan tapi dangkal hubungan.
Lebih sering terdengar perdamaian dunia tapi juga semakin banyak perang domestik, banyak waktu terluang tapi sedikit kebahagian; lebih banyak macam makanan tapi lebih sedikit nutrisi.
Lebih banyak keluarga dengan dua pendapatan tapi lebih banyak perceraian; lebih banyak rumah keren tapi banyak yang 'broken home'; lebih banyak cara cepat tapi banyak juga popok dibuang, dibuangnya moralitas, kelebihan berat bandan, dan pil-pil yang menenangkan tapi juga membunuh.
Inilah waktu dimana begitu banyak barang terlihat di jendela tapi tak ada dalam stok, Waktu dimana teknologi dapat membawa tulisan ini kepada kita dan waktu dimana kita dapat memilih untuk menyebarkan ini atau menghapusnya.
Ini membuktikan kita terlalu sulit untuk bersikap adil. berfikir keras untuk memecahkan satu hal tapi melupakan hal yang lain -- e!.


Kajian Eksistensialisme Tentang Ontologi:
Pemikiran Jean-Paul Sartre oleh ekky al-malaky

Eksistensialisme menyeruak dunia filsafat semenjak Perang Dunia II (Sutrisno : 1987). Diantara para tokohnya adalah Heidegger, Gabriel Marcel, Nietsze, Kieerkegaard, Sartre, Jaspers, dan Levinas. Yang dianggap bapak Eksistensialisme adalah Soren Kiekeergaard.
Dalam perkembangannya eksistensialisme, Sartre memetakannya ke dua kubu. Pertama adalah kubu Katolik seperti Jaspers dan Marcel yang bergerak menuju Tuhan. Kubu lainnya adalah eksistensialis ateis yaitu Sartre, Heidegger,dan eksistensialis Perancis lainnya (Bertens :1987) . Tetapi ada kesamaan dalam pemikiran kaum eksistensialis itu, yaitu :

1. Motif pokoknya adalah eksistensi, cara khas manusia berada. Pusat perhatian adalah manusia.
2. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan. Manusia, setiap saat, selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Tidak ada 'state of being'.
3. Manusia dipandang terbuka, sebagai realitas yang belum selesai. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitar, terutama kepada sesama manusia
4. Memberikan tekanan pada pengalama eksistensial kongkrit manusia misalnya kepada kematian, penderitaan, kesalahan, perjuangan. (Hadiwijono : 1980)

Paper ini berusaha memaparkan tentang kajian eksistensialisme tentang ontologi, dengan menitik beratkan pada masalah 'ada'-nya manusia.

Eksistensialisme dalam kajian Ontologi

Dalam kaitannya dengan masalah ontologi dan metafisika, memakai metode yang agak berbeda dengan cara-cara yang pernah dikenal sebelumnya, misalnya materialisme dan idealisme. Yang dimaksud dengan eksistensi disini adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara yang khusus, berbeda dengan benda-benda, dan hanya berlaku bagi manusia. Eksistensi disini tidak sama dengan 'mengada'. Sebagai ilustrasi, manusia sibuk dengan dunia luar, dia mencurahkan dirinya untuk dunia luar, karena itu seolah-olah dia ada diluar dirinya sendiri. Tetapi, justru karena keluar dari dirinya itulah dia sampai ke dirinya sendiri . Itulah yang disebut eksistensi : berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari diri sendiri. Heidegger mengistilahkannya dengan Dasein. Dan 'ada'nya manusia ini, kata Sartre, bukanlah etre, tetapi a etre, yaitu, manusia tidak hanya ada (being) tetapi juga selamanya harus membangun ada-nya tersebut. Ada-nya terus menjadi (becoming), berproses tanpa henti, tidak pernah selesai. Heidegger mengistilahkannya dengan "zu sein", sedangkan gerakan memperbaharui diri ini disebutnya eksistensial.

Eksistensialisme adalah corak pemikiran jaman modern yang merupakan pemberontakan terhadap model pemikran sebelumnya, yaitu materialisme dan idealisme (Drijarkara :1981). Bagi materialisme, pada dasarnya segalanya sesuatu pada instansi yang terakhir hanyalah materi, termasuk manusia. Jadi, manusia hanyalah akibat dari proses-proses unsur kimia, fisik, fisiologis, sosial yang dari luar diri manusia semata, sehingga menjadikannya sebuah benda diantara benda-benda lainya. Sifat khusus tentang cara manusia berada disangkal dan dilalaikan. Manusia hanya diposisikan sebagai objek. Menurut Rene Le Senne, kesalahan materialisme adalah detotalisation, detotalisasi, memungkiri totalitas manusia dengan cara mereduksi manusia hanya dari unsur materi saja.

Padahal menururt kaum eksistensialis, manusia mempunyai kehendak bebas, mengerti etika, dan membangun kebudayaan. Manusia tidak hanya berada didalam dunia, tetapi juga menghadapi manusia. Manusia menjalani kehidupan yang selalu berarti membuat dan menjalankan makna-makna. Itu berarti manusia mempunyai kesadaran. Sadar akan dirinya sendiri, sadar akan objek-objek yang disadarinya. Manusia yang memiliki kesadaran ini menjadi Subjek, bukan lagi objek semata. Mengutip Maurice-Merleau Ponty : "manusia tidak hanya dimuat (englobe) oleh dunia, tetapi juga memuat (englobant) dunia.". Manusia yang disebutkan oleh materialisme, meminjam istilah Sartre, hanyalah etre-en-soi (ada-dalam-diri) saja, belum etre-pour-soi (ada-bagi-diri).

Eksistensialisme juga memberontak terhadap idealisme. Bagi idealisme, antara kesadaran dan alam di luar kesadaran tidak ada sangkut pautnya. Sedangkan kedudukan manusia adalah melulu sebagai Subjek. Padahal, manusia juga bisa menjadi objek. Bagi Eksistensialisme, manusia bisa menjadi Subjek sekaligus Objek.

Bagi kaum eksistensialis, semangat "aku berpikir maka aku ada" dibalik menjadi "aku ada maka aku berpikir" (Sutrisno : 1987). Bagi mereka, Eksistensi mendahului esensi. Karena itulah, meskipun banyak dipengaruhi oleh Fenomenologi Hurssel, tetap saja Sartre menolak "Eidos" (esensi) karena mengasumsikan adanya tujuan akhir (Bertens : 1996). Sebelum melihat pemikiran Sartre, akan dipaparkan pemikiran eksistensialis lainnya secara sekilas.

Kiekergaard

Baginya, bentuk kehidupan manusia ada tiga macam. Pertama, estesis, yaitu yang pikirannya hanya diarahkan ke hal-hal di luar dirinya. Manusia berpikir untuk berpikir. Kiekergaard membenci alam pikiran seperti itu. Bentuk kedua adalah etis, manusia memusatkan pikirannya kedalam dirinya sendiri. Ini juga masih ada dialam kekaburan, belum lepas dari alam estesi. Ini masih belum cukup. Tahap ketiga adalah bentuk religio atau keagamaan. Sebagai orang Kristen, manusia harus mengikat dirinya total ke Tuhan. Hanya dengan demikian manusia berdiri di depan Tuhan, dan hanya dengan didepan Tuhanlah--dengan penuh dosa yang membebaninya--manusia mempunyai eksistensi yang wajar. 'ada'nya manusia adalah manusia dihadapan Tuhan dengan penuh kesadaran bahwa dirinya penuh dosa dan dalam ketakutan. Tetapi justru dalam suasana suram itulah Tuhan menolongnya.

Heidegger

Membicarakan Heidegger disini amat penting, sebab pengaruhnya terhadap Sartre cukup besar. Heidegger merumuskan kembali pertanyan tentang "ada". pertanyaannya adalah "apa makna mengada" (what is meant to be). Dan karena 'ada' tidak bisa diungkapkan dengan positif, maka dilakukan dengan pernyataan negasi terhadap 'ada'. (Siswanto :1998) Dasein (being-there) merupakan eksistensi manusia didunia empiris ini. Baginya manusia selalu ada dalam dunia, bersama seluruh benda-benda (being-in-the-world).

Manusia terlemparkan kedalam realitas dengan tidak tahu karena apa , atau asal usulnya (gewoerfen-sein). Karena ituah manusia menjadi cemas (Angst). Karena cemas, manusia sibuk dengan Zuhadenes (lingkup dunia sarana-sarana) dan Vorhandenes (lingkup dunia benda-benda), sampai lupa mengurus 'ada'-nya sendiri. Kecemasannya semakin menjadi karena sadar bahwa perjalanannya ternyata harus bermuara adalah kematian. Proyek kehidupannya berakhir dengan kematian (Sein Zum Tode).

Dengan demikian, realitas dunia menampakkan diri sebagai tiada. ada-dalam-dunia, itu tanpa arti dan tanda guna, 'ada' itu berawal dari 'tiada' dan menuju 'tiada'. Kesadaran manusia akan 'tiada' itu membuat manusia cemas dan putus adsa. Ia hanya tinggal menanti 'tiada' itu. tiada' itu pengingkaran total terhadap semua 'pengada (das Seienden), namun 'tiada' itu sendiri bukanlah 'pengada'. 'tiada' itu meniadakan 'pengada'.

Mengada ialah terjadinya aletheia, yaitu proses mengada itu menampakkan dan menyembunyikan diri (tertutup ) secara anonim, dalam historisitasnya, manusia tepasksa selalu memilih, sehigga ia tidak dalat menguasai segala kemunginan, kecuali dengan memilih menutrup kemungkinan tertentu, karena itulah manusia selalu bersalah.

Selain Perasaan bersalah ini didalam ketertutupannya ini juga terkandung unsur kesemuan. Semua ini diakibatkan oleh kecemasan manusia menghadapi 'mengada'. Sehingga manusia melarikan diri ke dalam keadaan kemerosotan, yang dikongkretkan dalam kegagalan manusia untuk menghayati tiga aspek hakiki manusia dalam eksistensinya (kepekaan, pemahaman, berbicara). Inilah tragedi manusia yang tidak dapat dihindari. Tetapi ada harapan, bahwa melalui penderitaan kegagalan itu, manusia akan memahami 'mengada', dan pemahaman itu akan membuat manusia utuh (heil) dan menyembuhkan (heilen). Untuk mengatasi kecemasan, ada dua cara. Pertama, melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu menuju kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati sebagai Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada. Sedangkan cara kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan kesadaran dan ketegaran, dan inilah hidup yang sejati.
Jaspers

'Ada' (das Sein) bukanlah hak yang objektif, yang dapat diketahui setiap orang. Orang harus bersusah payah mencarinya dengan beberapa tahap. Sebuah benda, katakanlah meja, bukanlah 'ada' yang sebenarnya, tetapi 'ada' yang terbatas dan tertentu. 'ada' yang sebenarnya adalah yang umum dan merangkum segala yang berada sevara terbatas dan tertentu itu. 'ada' seperti ini tidak dapat diraih, atau dim,asukkan dalam kategori, inilah das Ungreifende (yang merangkum).

Jaspers juga mengatakan bahwa eksistensi tidak dapat dijadikan objek,. Tetapi eksistensi adalah apa yang ada didalam mite disebut jiwa, yaitu titik pangkal darimana kita berpikir dan berbuat. Eksistensi juga bukan subjektivitas, ia berada diluar pembedaan subyek-objek, dan tidak dapat diuraikan dengan pengertian-pengertian dalam suatu sistem tertutup, dan hanya bisa diterangkan dengan kategori sendiri yaitu kebebasan, komunikasi, dan sejarah.

Tetapi itu semua mengalami kegagalan setelah bertemu dengan kematian. Berbeda dengan Heidegger, Jaspers memandang bahwa kematian dengan lebih positif. Justru dibelakang segala kegagalan itu masih ada transenden, yang tidak terbatas, dan tidak dapat binasa, yang dapat dianalogikan dengan Tuhan. Jaspers berusaha mengatasi segaa kegagalan dalam memenuhi Dasein serta pengalaman keruntuhannya dengan pemisahan subjek-objek melalui kepercayaan fisolofis. Bagi Jaspers, manusia tidak boleh mencari dan mengusahakan jalan kegagalan, karena bukan itu jalan yang sebenarnya. Didalam kegagalan itulah orang mengalami 'ada', mengalami yang transenden.

Gabriel Marcel

Manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama yang lain. 'ada' (esse) bagi Marcel selalu berarti "ada-bersama", (co-esse). Kata kuncinya adalah : "kehadiran" (presence). Syaratnya, haruslah "Aku-Engkau", dimana masing-masing mengadakan kontak dengan sungguh-sungguh dan masing-masing mengarahkan dirinya dengan cara berlainan dengan objek lainnya, bukan "Aku-Itu". Walaupun berjauhan, hubungan "Aku-Engkau"akan dirasakan sebagai kehadiran. Realisasi yang istimewa dari kehadiran adalah dengan cinta. Aku dan Engkau disini mencapai taraf "Kita". DAlam cinta ini "aku"mengikat diri dan tetap setia. Mencintai adalah mengatakan :"engkau takkan mati".

Pemikirannya yang terkenal adalah tentang harapan . Kematian sebagai akhir perjalanan manusia dapat diatasi dengan cinta kasih dan kesetiaan, bahwa :"ada Engkau yang tidak dapat mati". Harapan menerobos kematian, dan adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu. Harapan tidak bisa mati.

Pemikiran Ontologi Sartre

Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua, etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dengan etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya). Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif,
tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.

Sedangkan dalam etre-pour-soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri
sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran. Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan. Etre-pour-soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia.

Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.

Analisa

Ada beberapa hal yang patut dicermati seputar ada-nya manusia didunia menurut Sartre.

1. Sejauh yang saya tahu, Sartre tidak membincangkan tentang solusi solusi bagaimana manusia keluar dari 'lingkaran setan' yang bermuara pada kesia-siaan itu. Dia hanya menasehati kita agar jangan memandang ke dalam, tetapi memandang keluar, ke pekerjaan dan tugas kita, kepada masa depan yang sedang dibangun (Hadiwijono : 1980, Drijarkara : 1981). Tetapi tetap saja, sulit membangun masa depan jika kita tidak percaya dan selalu curiga kepada orang lain yang dianggapnya neraka. Dalam membangun dibutuhkan kerjasama dan saling percaya.
Heidegger, yang dianggapnya sealiran atheis dengannya, menyodorkan alternatif. Pertama, melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu menuju kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati sebagai Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada (pernyataan Sartre diatas mirip dengan pernyataan ini). Dan dengan itu pula manusia bisa membangun peradaban. Kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan kesadaran dan ketegaran, dan inilah hidup yang sejati.
Marcel mengatasi kesia-siaan dan kematian dengan teori cinta dan harapan. Jaspers, walaupun masih terasa kabur menurut saya, mengatakan bahwa manusia harus tidak mencari dan berusaha menuju jalan kesia-siaan, manusia harus memberontak dan melawan lingkaran-setan itu. Mungkin, yang kurang dipunyai oleh Sartre adalah tujuan hidup tertinggi, karena memang manusia 'ada' karena terlempar, 'ada' begitu saja sebagai en-soi, dan "sialnya" juga menjadi pour-soi.
Agaknya, Sartre terlalu negatif dan pesimistis dalam memandang dunia. Mungkin karena zeitgeist nya masanya begitu suram sehingga lahirlah pemikiran demikian.

2. Patut dipertanyakan lagi, misalnya : Apakah benar bahwa manusia yang berproses dan selalu menidak itu ingin kembali ke en-soi atau mensintesakannya dengan pour-soi. Kalau memang benar, mengapa manusia terkesan kelelahan dalam 'kutukan' kebebasan itu dan memutuskan bersintesa menjadi etre-en-soi-pour-soi ? Mengapa Sartre justru berpendapat ingin kembali ke sebuah keadaan dimana dia sendiri menilai keadaan itu memuakkan ? Mengapa tidak mencari jalan keluar yang lain ?

3. Terakhir, saya ingin membandingkannya Sartre dengan Ali Shariaty, seorang filsuf Islam pengagum Sartre. Agak mirip dengan para eksistensialis relijius diatas. Baginya tujuan perjalanan manusia adalah bersatu dengan Tuhan, dan kebebasan (bersama dengan kreativitas dan kesadaran) dinilai bukan sebagai kutukan tetapi justru sebagai anugerah dari Tuhan untuk memimpin dunia dan membangun peradaban. Justru karena kebebasan kita, menurut Shariaty, kita menghancurkan lingkaran setan diatas (yang digambarkan dengan empat penjara determinisme, yaitu sosiologisme, historisisme, biologisme, dan Ego) dan berjalan menuju Tuhan, ketika hidup atau sesudah kematian. Dan tujuan 'ada'-nya manusia bukannya kesia-siaan, tetapi setiap manusia--karena kebebasannya itu--mengemban misi profetik membangun dunia sebagai khalifah dan nanti akan dimintai pertanggungjawabannya akan tugas-tugasnya itu.

Bibliografi

Bakker, Anton. Metafisika Uimum (filsafat pengada dan dasar-dasar
               kenyataan). Kanisius : Yogyakarta, 1992.

Bertens, Kees. Fenomenologi Eksistensial. Gramedia :jakarta, 1987.

-------------. Filsafat Barat Abar XX Jilid 2 (Perancis). Gramedia
               Pustaka Utama : jakarta, 1996.

Drijarkara. Percikan Filsafat. Pembangunan Jakarta : 1981. Cet 4.

Edwards, Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan
                    Publishing Co : New York, 1972.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:  Yogyakarta,
                   1980.

Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness (the Principle text of modern
                   existentialism). Philosophical Library, Washington:1992.

Siswanto, Joko. Sistem-sistem metafisika barat, dari Aristoteles sampai
                Derrida. Pustaka Pelajar,Yogyakarta 1998

Sutrisno, Mudji. "Eksistensialisme, pergumulan untuk menjadi manusia" dalam
                  Para Filsuf Penggerak Jaman. Kanisius : Yogyakarta, 1987.



Modernitas dan Kematian Manusia
Oleh Romanus N. Lendong

Akar historis modernisme berawal dari jaman pencerahan, enlightement (1350-1600). Dalam era tersebut masyarakat Eropa membangkitkan kembali kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Dan banyak inspirasi rasional yang ditimba darinya sehingga kecenderungan berpikir dalam era tersebut mulai kegelapan dogmatis abad pertengahan yang dikuasai cara berpikir gereja. Faktor iman dan kepatuhan pada otoritas gereja mendapat porsi besar. Pada saat itu muncullah filsuf-filsuf kritis yang pemikirannya hingga kini menentukan irama jaman seperti Kant, Hegel, Marx, Comte, Nietzsche, Sartre dan sebagainya [1].

Suatu hal yang menentukan berkembangnya  modernisme adalah peralihan filasafat  dasar dari Theosentris kepada Antroposentris. Yang pertama dimaksudkan bahwa Tuhan menjadi sentra pemikiran kefilsafatan sementara yang terakhir menusia menjadi pusatnya. Dengan Theosentris manusia mengarahkan orientasi dan dasar hidupnya bagi kepenuhan hidup kerohaniahan untuk mencapai keselamatan jiwa, sementara yang terakhir manusia berusaha menggapai kelimpahan dan kenikmatan ketubuhan secara sporadis dan temporer. Hal ini dipersubur oleh pemikiran para filsuf yang merudusir peran transenden, seperti Comte yang yang memaklumkan kematian pengetahuan absolut, sebab tidak bisa diverifikasi, dan karena itu dianggap irasional. Sartre juga memperlihatkan sikap skeptismenya: ....ada tidaknya Tuhan, tidak ada yang berubah karenanya; Nietzsche dengan pikiran gilanya: God is dead, yang termanifestasikan dalam nihilismenya serta meramalkan lahirnya peradaban tanpa Allah. Tidak bias diabaikan juga Marx yang menatap sejarah sebagai dialektika pertentangan kelas dan mencemooh agama sebagai candu masyarakat.

Penggunaan rasio sebagai piranti melahirkan ilmu, pengetahuan dan teknologi merupakan prasyarat dasar bagi proyek modernitas. Magnis-Suseno [2] mencirikan masyarakat modern sebagai berikut:1) Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat yang berdasarkan industrialisasi. Industrialisasi menjadi darah daging masyarakat modern. Industrialisasi menjadi format dasar yang bukan hanya bidang ekonomi, melainkan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatannya, way of life nya dan sebagainya. 2) Implikasi dari industrialisasi adalah perubahan total dan mendalam dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut semua bidang kehidupan dan yang paling mencolok adalah penciptaan jalur-jalur komunikasi lokal, regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu lintas mengalami perkembangan revolusioner dan manusia difasilitasi mesin-mesin yang mempermudah pekerjaan. 3) Industrialisasi tingkat pertama sudah dilalui oleh negara-negara industri. Teknologi merupakan ilmu baru, yakni ilmu yang secara khusus yang meneliti kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk memanfaatkanya bagi produksi industrial. Gelombang pasca-industri kiranya akan melahirkan masyarakat informasi. 4) Masyarakat modern adalah masyarakat  yang kecuali dalam keadaan darurat dan luar biasa  tidak mengalami ketergantungan pada alam. Muncul kesan bahwa dengan otonomi rasionya apa saja bisa diciptakan manusia, serat semua maslah dapat dipecahkan.

Sementara itu, sumber-sumber masyarakat modern adalah: pertama, kapitalisme dan revolusi industri. Pelbagai bentuk ekonomi kapiltalis sudah dikenal sejak sebelum abad ke 17 yang ditandai munculnya kota-kota pelabuhan.

Tetapi kapitalisme dalam arti khas sebagai suatu sistem yang merevolusikan perekonomian lahir di Eropa Barat adan Utara (Inggris, Belanda, Belgia, Perancis) dalam abad ke 17. Hakekat kapitalisme adalah bahwa tujuan produksi bukanlah konsumsi melainkan penambahan modal. Kapitalisme bersifat
dinamis, sebab selalu berusaha memperluas produksi guna menguasai pasaran.

Kedua, penemuan subyektivitas modern. Dengan subyektivitas dimaksudkan bahwa manusia, dalam memandang alam, sesama dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia dalam subyektivitasnya, dengan kesadarannya, serta keunikannya menjadi titik acuan pengertian realitas. Subyektivitas dalam konterks ini mengacu pada Hegel dan Sartre. Menurut Hegel (1770-1832) manusia itu bukan substansi, melainkan subyek. Substansi disini dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai sesuatu  yang berada di dunia ibarat sebongkah batu di tengah sawah. Sedangkan subyek adalah pusat kesadaran, kesadaran akan kesadaran, pusat yang secara kritis melawankan diri terhadap relaitas dan dunia. Manusia tidak sekedar hadir dalam dunia, melainkan hadir dengan sadar, dengan berpikir, dengan berefleksi  serta mengambil jarak secar kritis dan bebas.  Ketiga, rasionalisme. Dengan rasio-nalisme dimaksud tuntutan agar semua klaim dan wewenang dipertanggungjawabkan secara argumentatif, tanpa pengandaian kepercayaan, jadi dapat diuniversalkan. Segi-segi rasionalisme: 1) Ciri pertama adalah kepercayaan terhadap kekuatan akal budi manusia. Segala hal harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar, dan sebuah klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. 2) Penolakan tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran rasional. Dalam bidang siosial politik, misalnya, rasionalisme menuntut kepemimpinan rasional. Pada bidang agama, klaim dogma tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh otoritas religius. 3) Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi, yakni pengamatan dan eksperimen serta bertumpu pada dalil-dalil ilmiah. 4) Rasionalisme membawa serta sekularisme. Sekularisasi ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja. Sekularisme menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat.

Modernisme adalah sebuah proses yang amat ambivalen, yang akan berjalan terus entah kita menyetujuinya atau tidak. Betapa dilematisnya modernisme yang dikonstruksi atas kemajuan iptek dapat dicermati dari kegalauan Robert Morisson, pemikir teknologi terkemuka dari Massachusets. Ia berkisar: "They are so very good at getting you to Paris in three hours, but so very poor at telling you what to do when you get there" [3] Kegalauan serupa juga dialami E.F. Schumacher, yang mendapatkan dirinya seakan-akan berada di negeri asing. Ortega Y. Gasset pernah mengatakan bahwa "kehidupan ditembakkan ke arah kita secara langsung". Kita tak dapat mengatakan: "Tahan dulu. Tunggu setelah segala sesuatunya telah saya pilih dan perhitungkan!"

Keputusan-keputusan harus diambil sementara kita belum siap; tujuan-tujuan harus dipilih sementara kita belum melihat dengan jelas. Ini teramat ganjil, dan sekilas pandang, sangat tidak masuk akal. Rupa-rupanya manusia "diprogram" secara tidak memadai.  Fenomena modernisme, yang diyakini sebagai pilihan tepat membebaskan manusia dari situasi ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, meski dalam arti terbatas menunjukkan kemajuan yang cukup spektakuler, tetapi juga menyisakan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks. Penggunaan rasio yang melahirkan kemajuan iptek merupakan embrio ekspansi wilayah, imperialisme. Modernisme, dengan demikian, disamping menawarkan kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi model-model belenggu baru yang jauh lebih dahsyat. Peter L. Berger [4] mengisyaratkan bahwa modernisme yang dicirikan oleh kemajuan iptek tidak lebih dari ideologi yang menutup-nutupi kenyataan imperialisme, eksploitasi, dan letergantungan.

Justifikasi pernyataan Berger ialah kenyataan lahirnya korelasi a-simetris antara bangsa barat yang menguasai dan mendominasi iptek dengan seperangkat nilai budayanya dengan bangsa Timur yang diberi atribut: underdeveloped countries atau eufemismenya, developing countries. Korelasi serupa inilah yang oleh Galtung dikatakan merupakan awal kekerasan, yakni situasi bilamana manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensial. Hal ini oleh Simon Weil digambarkan secara ekstrim: kekerasan adalah tindakan yang mereduksi seseorang atau kelompok menjadi barang. Tindakan terakhir dari reduksi itu ialah pembunuhan, yakni mereduksi seseorang menjadi mayat [5].

Secara garis besar ada dua paradigma yang saling bersaingan dalam menjelaskan dan menguraikan masalah kekayaan dan kemiskinan di antara bangsa-bangsa, yakni teori modernisasi dan imperialisme. Teori modernisasi dicirikan oleh pemakaian istilah-istilah: "modern", "pembangunan",
"pertum-buhan ekonomi", "diferensi institusional", dan "pembangunan bangsa" (nation building). Sementara imperialisme cenderung memakai istilah: "ketergantungan", "eksploitasi", dan "neokolonialisme" serta "pembebasan" [6].  Saya mereduksi modernitas di sini sebagai fenomena pembangunan. Di sini diperlihatkan tergusurnya nilai-nilai etis dan moral oleh target pembangunan untuk mencapai kemajuan fisikal.

Berger meyakini bahwa pembangunan pada dasarnya adalah suatu persoalan. Persoalan terutama bagi pembuat kebijakan bagi kepentingan rakyat banyak di suatu negara.  Bercermin pada korelasi a-simetris antara bangsa Barat dan bangsa Timur, pembangunan tidak lebih dari slogan yang melicinkan jalan penguasaan wilayah. Imperialisme melahirkan perbudakan, perendahan martabat manusia. Nilai-nilai budaya Timur yang tradisional disingkirkan, digantikan budaya barat yang modern.

Pembangunan merupakan persoalan terutama karena meniscayakan pengorbanan. Demi kelancaran lalu lintas, perlulah menggusur tanah rakyat. Gedung-gedung pencakar langit, mall, swalayan, lapangan golf, dan sebagainya merupakan hasil sulapan lahan pertanian sehingga rakyat kehilangan pekerjaan. Hak rakyat terhempas oleh kesewenangan negara selaku pemegang otoritas tunggal pembangunan. Mohtar Mas'oed (1994) memperlihatkan bahwa pembangunan di bidang ekonomi mengandaikan pengorbanan politik. Pembangunan ekonomi mendasarkan diri pada sifat rasional, efisiensi, efektivitas dan pragmatisme. Semenjak Orde Baru hal ini ditambah dengan faktor stabilitas yang meminimalkan partisipasi dan aspirasi politik rakyat.

Heru Nugroho (1996) mencermati munculnya perilaku konsumtif di kalangan masyarakat dan generasi muda sebagai implikasi pembangunan ekonomi yang kian mengglobal. Bagi generasi muda hal ini terlihat pada kegandrungan terhadap budaya Barat seperti musik pop, gaya hidup ABG, gaya hidup instant dan sebagainya. Bahkan, perilaku konsumtif tersebut sudah mengarah pada hedonisme, yakni gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan kebutuhan semata yang indikasinya adalah meningkatnya fenomena free sex, pemakaian obat-obat perangsang hingga tindak kriminal yang disulut oleh tidak terpenuhinya hasrat konsumtif secara wajar.

Tampaklah bahwa modernisme yang melahirkan "pembangunanisme" meminggirkan pertimbangan-pertimbangan etis sehingga menggusur nilai-nilai kemanusiaan. Harkat dan martabat manusia ditundukkan di bawah hasrat pemilikan harta dan kesenangan sesaat. Inilah indikasi yang oleh Louis Leahy (1989) disebut "kematian" manusia. Manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu realitas 'sui generis' dan khas, yang lebih tinggi, unik dan absolut terhadap alam semesta. Jauh daripada memberi arti (signifikasi) kepada realitas ekstern, sebaliknya realitas itu sendirilah yang secara total menentukan kondisi manusia.  Langkah antisipasi terhadap persoalan tersebut di atas tentu tidak mudah, butuh pengorbanan dan waktu panjang. Tetapi, mengakomodasi nilai-nilai meta-ekonomi seperti kejujuran, keadilan, serta dihormatinya harkat dan martabat manusia merupakan salah satu alternatif yang mestinya sudah lama dirintis.

Catatan akhir:  1. Budi Hardiman, F., 1990, Kritik Ideologi, Yogyakarta,
Kanisius, hlm. 46.  2. Magnis-Suseno, F., 1991, Filsafat Sebagai Ilmu
Kritis, Yogyakarta, kanisius, hlm. 56.  3. Mangunwijaya, Y.B. (ed.), 1983,
Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm.
ix.  4. Berger, Peter L., 1992, Pikiran Kembara, Yogyakarta, Kanisius, hlm.
14.  5. Lubis, Mochtar (peny.), 1988, Menggapai Dunia Damai, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, hlm. 48.  6. Berger, Peter L., 1983, Piramida
Pengorbanan Manusia, Bandung, IQRA, hlm. 22.


Filsafat dan Sastra
oleh Ridwan Pinat

MEN OF IDEAS

Dalam buku dengan judul diatas, Bryan Magee, berdialog dengan lima belas  filsuf kontemporer dari berbagai  negara. Antara lain  dari Inggris, AS,  dan Perancis. Dialog ini  mula-mula ditayangkan  melalui salah  satu saluran  televisi Inggris beberapa tahun silam. Setelah diadakan sedikit perubahan di sana-sini,  terutama penyesuaian dari bahasa lisan ke  bahasa tulisan agar dapat lebih  mudah dicerna oleh orang awam, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan anak judul  'Some Creators of Contemporary Philosophy'.

Melalui  prakata,  Magee  menegaskan  bahwa  penerbitan  dalam  bentuk  buku ini terdorong oleh keinginan untuk memperkenalkan kepada masyarakat yang lebih  luas beberapa wilayah yang menarik dalam aneka bidang filsafat. Pertanyaan-pertanyaan seperti siapa tokoh filsafat yang menyandang nama besar, apa yang mereka lakukan dan  kenapa  mereka  dianggap  besar,  apa  yang  dimaksudkan  dengan   filsafat eksistensialisme, filsafat moral, filsafat politik, filsafat sains, dan filsafat kesusastraan adalah  beberapa dari  seruntun pertanyaan  yang dijawab  oleh buku itu. Berbagai  bidang filsafat  ini dikupas  dalam bentuk  diskusi, dan  menjadi bacaan  yang  kian  menarik  karena  Bryan  Magee  memberi  penjelasan tambahan, mengambil kesimpulan serta menyuguhkan latar belakang sejarah lapangan  filsafat tertentu terutama filsafat Marxis, dan filsafat logika positif.

Bagi yang  ingin berkenalan  dengan filsafat,  pertanyaan paling  pertama muncul dalam  pikiran mungkin  adalah: apakah  filsafat? Dan  justru memang  pertanyaan filsafat yang  paling mendasar  inilah yang  diajukan oleh  Magee untuk  membuka bagian pertama  dari lima  belas diskusi  yang dihimpunnya  ke dalam bentuk buku yang diberinya judul 'Men of  Ideas'. Pertanyaan ini diserahkanya kepada  filsuf Inggris, Sir  Isaiah Berlin  dari Oxford,  dan penulis  biografi Marx.   Diskusi dengan Sir  Isaiah Berlin  yang diberi  judul 'Pengantar  ke Dalam Filsafat' ini berkisar pada berbagai permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan titik tolak  yang   diambil  oleh   filsafat  sebagaimana   secara  berlebar   panjang dibentangkan  oleh  Isaiah  Berlin, kurang  lebih  dapat  kita simpulkan  dengan mengatakan  bahwa  di  tengah perjuangan  mencari  pengetahuan  tentang manusia, mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pernyaan.

Pertama,  berbagai pertanyaan  mengenai dunia  semesta. Manusia  sepanjang masa mencoba menemukan serta menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan yang  menyangkut alam  semesta ini,  menurut Berlin, hanya bisa terjawab pada akhirnya  dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan itu  sendiri, menyelidiki,  mengamati,  menguji,  melakukan  percobaan  terhadap  semesta  dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan  itu bersifat  faktual, atau  sebagaimana yang dikatakan oleh  para  filsuf:  bersifat  empiris.  Atau  jelasnya,  pertanyaan pertanyaan yang berpaut dengan pengalaman.

Pertanyaan yang kedua  bersifat lebih  abstrak dan  formal. Misalnya  pertanyaan pertanyaan dalam bidang matematika  atau logika. Pertanyaan jenis  ini berkaitan dengan hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem formal,  dan oleh karena itu tidak dapat  dijawab hanya dengan meninjau alam  semesta. Dengan mengatakan hal ini, menurut  Berlin lagi, tidaklah dimaksudkan  bahwa pertanyaan itu berada  pada jarak  yang jauh  dari perhatian  kita sehari-hari. Satu sistem formal yang  sudah sangat  biasa kita  pakai dalam  kehidupan sehari-hari adalah aritmatik.

Sistem  itu kita  pergunakan setiap  hari untuk  menghitung sesuatu,  menentukan waktu, membilang uang  dan sebagainya. Suatu  sistem niskala memang  bisa sangat berguna dan penting dalam  kehidupan praktis kita sehari-hari.  Dengan demikian, terdapat  dua  golongan  besar  pertanyaan:  berbagai  pertanyaan  empiris  yang melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan pertanyaan-petanyaan formal  yang melibatkan upaya menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Hampir  seluruh pertanyaan, dan  karena itu  seluruh pengetahuan,  termasuk ke  dalam salah satu dari golongan pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan pertanyaan pertanyaan yang bersifat filosofis.  Hampir seluruh pertanyaan yang  menunjukkan tanda-tanda pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua golongan pertanyaan tadi.

Pertanyaan seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan  keadilan, tidak dapat  sekadar dijawab  hanya dengan  meneliti ikatan  suatu sistem formal atau meninjau fakta-fakta. Oleh sebab  itu kita tidak mengetahui apa  yang harus diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan yang menuntut jawaban tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana menemukan jawabannya  adalah awal dari  langkah filsafat.  Anggapan keliru  yang terlanjur  meluas di  tengah masyarakat adalah  perkiraan bahwa  filsafat dapat  memberikan petunjuk-petunjuk moral tentang bagaimana semestinya  kehidupan ini harus dijalani,  atau berharap bahwa filsafat dapat  menyodorkan penjelasan tantang  manusia dan alam  semesta, tentang  rahasia   kehidupan.  Atau,   dengan  lain   perkataan,  orang  mencoba menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban yang serba pasti.

Seorang filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya hanya sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah,  mengutuk atau memuji, atau memberi berbagai petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup. Tugas  seorang  filsuf,  menurut Berlin,  hanyalah  menempatkan  arah dari  satu tindakan dalam  hubungan moralnya.  Menentukan posisinya  berdasarkan suatu peta moral, menguhubungakan sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk nilai  ke dalam mana tindakan  itu tergolong. Menarik  garis dari berbagai  akibatnya yang mungkin  terjadi  serta  berbagai  implikasinya  yang  berpautan  atau  relevan, memberikan  berbagai   argumen  yang   pro  atau   menentangnya  dengan  seluruh pengetahuan, pengertian, kecakapan logika dan kedalaman moral yang dimiliki oleh sang filsuf.

Dengan  demikian,  maka  ia telah  menjalankan  tugasnya  bukan sebagai  seorang pengkhotbah  atau  juru  mudi  kehidupan,  melainkan  sekadar  sebagai   seorang penasehat filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh dari itu atau melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.

Berpijak  pada pandangan  tadi, Berlin  menyuarakan keberatannya  pada sebagian besar filsuf  moral dan  politik, mulai  dari Plato  dan Aristoteles sampai pada Immanuel Kant, Stuart  Mill, Moore, serta  kebanyakan para pemikir  kontemporer. Menurut  Berlin,  para filsuf  itu  justru berbuat  sebaliknya.  Mereka berusaha mengajarkan  bagaimana   membedakan  antara   yang  buruk   dengan  yang   baik, menganjurkan  penerapan  pola-pola yang  benar  ke dalam  tingkah  laku manusia. Kendati demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas  ganda: menyelidiki, khususnya mengecam pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai yang ditetapkan  atau  dirumuskan  oleh  manusia  dengan  pikiran  maupun tindakannya. Sedangkan tugas  lain adalah  menampung atau  melayani berbagai  pertanyaan yang tidak termasuk baik  ke dalam golongan  formal maupun ke  dalam golongan empiris yang telah disinggung dipermulaan tadi.

Buku  yang  diawali dengan  memperkenalkan  filsafat melalui  dialog  dengan Sir Isaiah Berlin  itu, kemudian  beranjak menelusuri  berbagai pokok  pikiran dalam banyak lapangan filsafat lainya.  Filsafat Marxis misalnya, dibicarakan  melalui dialog  dengan  Charles  Taylor  dari  All  Souls  College,  Oxford.    Filsafat eksistensialisme moderen  yang dikatakan  lahir sebagai  akibat pecahnya  perang dunia II, yang diduga bermula di Perancis. Tetapi sebenarnya berawal di  Jerman. Tokohnya bukan  Jean Paul  Sartre melainkan  Heiderger. Ini  dibicarakan melalui diskusi  dengan  William  Barret,  seorang guru  besar  filsafat  pada  New York University, pengarang  buku terkenal  'Irrational Man'.   Filsafat moral dibahas dalam tanya jawab dengan Prof. R.M. Hare.

Namun yang ingin  dibicarakan di sini  secara lebih panjang  lebar adalah bagian terakhir  itu: dialog  Magee dengan  Iris Murdoch,  seorang filsuf  dan novelis berdarah Irlandia terkenal yang  telah memperkaya khasanah kesusastraan  Inggris kontemprorer dengan  sejumlah novelnya,  dan seperti  Salman Rushdie,  ia pernah pula meraih hadiah  sastra prestisius: 'Booker's  Prize'. Beberapa filsuf  besar memang sekaligus pula  pengarang besar atau  pujangga besar. Mereka  juga banyak menetaskan buku-buku  kesusastraan. Contoh  yang paling  jelas adalah  Plato, St Augustine,  dan   Schopenhaeur.  Sejumlah   nama-nama  besar   lain  juga  dapat dikatambahkan dalam kaitan ini seperti Nietzsche, Descartes, Berkeley dan  Hume. Dan yang muncul abad ini: Bertrand Russel, serta Jean Paul Sartre. Kedua  filsuf yang  disebut  terakhir  ini  bahkan  berhasil  memenangkan  hadiah  Nobel dalam kesusastraan. Begitupun,  Magee berpendapat  bahwa kesusastraan  tidaklah begitu saja dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat. Kalau seorang filsuf  berhasil menciptakan karya  sastra yang  baik, ini  merupakan satu  kelebihan baginya. Ia menjadi tumpuan perhatian yang lebih menarik untuk dikaji.

Namun keberhasilannya mencipta karya sastra yang baik tidaklah dengan sendirinya membuatnya menjadi seorang filsuf yang baik. Karena kwalitas serta arti  penting filsafat bukan diperhitungkan berdasarkan nilai-nilai sastra atau estetika.  Hal ini agaknya memang perlu ditekankan  karena dalam beberapa segi antara  filsafat dengan  kesusastraan,  dua  bidang yang  sama  sekali  berbeda, ternyata  memang seringkali mengalami tumpang  tindih. Orang mencampur-baurkannya  sehingga tidak terlihat  lagi perbedaan  antara keduanya.   Dan masalah  inilah yang  menguasai diskusi Bryan Magee dengan Iris Murdoch, seorang yang seperti sudah  dikemukakan tadi, menyandang predikat filsuf yang sekaligus juga novelis internasional  yang produktif. Sayang ia telah berpulang belum lama berselang.  Pada  bagian  diskusi  pertama  dibicarakan  perbedaan  antara  filsafat  dengan kesusastraan.   Di  bagian   kedua  didiskusikan   ide-ide  filosofis   mengenai kesusastraan, dan di  bagian terakhir kedua  tokoh tadi membahas  filsafat dalam kesusastraan.

Menurut Iris Murdoch, filsafat  bertujuan memperjelas dan menerangkan,  filsafat mencoba memecahkan  persoalan-persoalan yang  sulit dan  sangat teknis sifatnya. Penulisan filsafat harus  dengan patuh berangkat  menuju tujuan itu.   Sedangkan kesusastraan adalah satu seni. Satu  segi dari suatu bentuk seni.   Kesusastraan mengemban   tujuan-tujuan   kesenian.   Kesusastraan   merupakan   satu   bentuk pengungkapan  diri, sementara  filsafat tidak  demikian halnya.  Filsafat tidak menuju  pada  satu bentuk  penyempurnaan  formal demi  kepentingan  filsafat itu sendiri, padahal kesusastraan bergelut dalam permasalahan kompleks dalam  bentuk estetika.  Kesusastraan mencoba  menghasilkan suatu  macam penyelesaian.   Karya sastra   berusaha  menciptakan   ilusi,  sementara   filsafat  justru   berjuang melenyapkan  ilusi. Karya  sastra adalah  karya seni,  sementara karya  filsafat adalah sesuatu yang lain.

Memang  ada, tutur  Murdoch, tetapi  sangat jarang,  karya filsafat  yang dapat sekaligus  dinilai  sebagai karya  sastra  atau seni  seperti  'Symposium' karya Plato. Ditegaskan pula olehnya bahwa adalah dalam kaitannya dengan bagian  karya filsafat  Plato yang  lain, 'Symposium'  dapat dinilai  sebagai satu  pernyataan filsafat. Banyak pemikir besar yang sekaligus juga pengarang besar, namun mereka tidak bisa  disebut filsuf.  Contoh yang  dikemukakan Iris  Murdoch adalah Soren Kierkergard  dan  Nietzsche, dua  tokoh  yang oleh  Dr  Fuad Hassan  dalam  buku 'Berkenalan dengan Existensialisme'  terbitan Universitas Indonesia  dibicarakan sebagai filsuf Existensialist.

Kendati  Murdoch  berpendapat  bahwa  kesusastraan  dan  filsafat  merupakan dua lapangan yang berlainan,  namun ia sendiri  ternyata tidak mampu  mendefinisikan apa  sebenarnya  yang  dimaksud  dengan  kesusastraan.  Walaupun  demikian,   ia mengatakan  orang  secara  kasar  memahami  apa  yang  diartikan  dengan istilah kesusastraan. Kesusastaran adalah bentuk seni yang menggunakan medium kata-kata. Karya  jurnalistik karena  itu juga  dapat dinilai  sebagai karya  kesusastraan. Tulisan ilmiah juga bisa  dianggap sebagai karyaa sastra.  Kesusastraan, menurut Murdoch, beragam bentuknya dan amat luas. Filsafat dinilainya sempit dan  sulit. Begitupun,  Murdoch  menandaskan  bahwa filsafat  bukan  suatu  jenis pencapaian sainstifik.  Filsafat  menggoncangkan konsep-konsep  semi-estetis  terhadap mana kita umumnya bergantung. Dan katanya  pula, siapa saja yang mengandalkan  sains, akan tersingkir ke luar wilayah filsafat. Filsafat adalah upaya untuk  mengamati berbagai konsep  yang paling  umum dan  mendalam. Bukanlah  ikhtiar yang gampang mengajak orang untuk dapat melihat tahap di mana filsafat melakukan operasinya.

Meskipun Iris Murdoch bisa menerima filsafat dan kesusastraan sebagai dua bidang yang berlainan, namun ia juga  mengakui bahwa terdapat pula persamaan  di antara keduanya. Filsafat dan kesusastraan, kata Murdoch, adalah pencari kebenaran  dan berupaya  mengungkapkan  kebenaran. Keduanya  merupakan  kegiatan yang  disadari serta dilandaskan pada pengertian,  atau bersifat kognitif. Kesusastraan  adalah aktivitas imajinatif,  begitu juga  halnya dengan  filsafat. Tetapi  pertanyaan pertanyaan yang  dikejar oleh  filsafat secara  keseluruhan tidak  serupa dengan pertanyaan-pertanyaan kongkrit yang ingin digapai oleh kesusastraan.

Berbagai  metoda  yang  diterapkan,  serta  suasana  yang  melingkupi  filsafat, sebagaimana  pada sains,  berusaha menangkis  berbagai godaan  fantasi pribadi, sementara imajinasi kreatif serta fantasi amat erat dan merupakan kekuatan  yang tidak dapat  dielakkan oleh  seorang pencipta  karya sastra.  Filsuf wanita  itu menilai bahwa hasrat untuk mengungkapkan diri, untuk memperjelas dan  menentukan nilai diri,  merupakan motivasi  yang kuat  untuk berkarya.  Dalam hal  ini yang dimaksudkan Murdoch adalah karya sastra.  Karena itu ia berpendapat bahwa  lebih menyenangkan untuk  menjadi seorang  seniman daripada  berusaha menjadi  seorang filsuf.

Sastra  bisa  dianggap  satu  tehnik  disiplin  untuk  membangkitkan emosi-emosi tertentu,  termasuk emosi-emosi  yang merangsang  sensasi khayalan  dan sensasi fisik. Sebagian besar wujud kesenian, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, dengan berbagai fantasi yang  tidak baik. Yang  ia maksudkan dengan  fantasi tidak baik itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan  bentuk-bentuk pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang  salah seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan.  Dengan alasan ini pulalah sementara filsuf berbalik memusuhi seni. Bahkan melalui salah satu bukunya  yang berjudul 'The Fire  and The Sun',  Iris Murdoch secara  khusus berbicara tentang sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya justru  sering  menggunakan  bentuk-bentuk seni.  Atau  seperti  dikatakan Bryan Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam karya-karya Plato. Lantas  kenapa Plato,  sebagaimana  yang  dinilai oleh  Murdoch,  bukan  hanya bapak  filsafat, melainkan  juga  seorang  filsuf  terbaik,  justru  mengambil  sikap  bermusuhan terhadap seni?

Dari  titik  tolak  pertanyaan  itulah  Murdoch  kemudian  berangkat menguraikan teorinya  mengenai  pandangan filsafat  terhadap  kesusastraan. Sebagai  seorang pakar teori politik, kata Murdoch, Plato takut terhadap kekuatan emosional  yang irrasional  dalam  seni.  Kekuatan untuk  menyebarkan  berbagai  kebohongan yang menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato menyepakati sensor yang  keras serta pembasmian para pengarang lakon  sandiwara. Plato taat pada agama,  dan ia merasa bahwa  seni memusuhi  agama dan  filsafat. Seni  menurut Plato  merupakan suatu pengganti yang egoistis bagi  disiplin agama. Kenyataan bahwa karya  Plato sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri secara  teoritis tidak  mengakuinya. Dikatakannya,  terdapat pertenggkaran  yang sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur Murdoch, pada  masa Plato  filsafat baru  saja muncul  atau lahir  dari berbagai bentuk puisi dan spekulasi teologis.  Filsafat memang mengalami kemajuan  dengan membatasi dirinya  sebagai sesuatu  yang tersendiri.  Pada masa  Plato, filsafat memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh belas memisahkan diri  ilmu alam. Pada abad  kedua puluh memisahka  diri dari psychologi.  Plato berpendapat seni  adalah  usaha meniru,  tetapi  peniruan yang  buruk.  Murdoch berpendapat, memang benar  bahwa lebih  banyak seni  yang buruk  daripada seni  yang bagus di sekitar kita.   Dan Ironisnya  orang justru  lebih menyukai  seni yang buruk itu daripada yang baik. Plato berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi pribadi, suatu bentuk  perayaan terhadap hal-hal  tanpa nilai atau  suatu bentuk penyelewengan dari hal-hal yang baik.

Selanjutnya  Murdoch   mengatakan  bahwa   Plato  menilai   seni  sebagai  usaha penjiplakan yang  remeh terhadap  obyek tertentu  tanpa mengandung  arti penting umum. Pendapat  Plato ini  menurut Murdoch  tidaklah secara  keseluruhan berbeda dengan  pandangan Bapak  psikologi, Sigmund  Freud. Freud  menilai seni  sebagai fantasi seorang seniman  yang berbicara langsung  kepada fantasi penikmat  karya seninya. Seni  dalam pandangan  Freud adalah  satu bentuk  hiburan pribadi, satu jembatan untuk  memperoleh kepuasan  yang tidak  sempat didapat  dalam kehidupan nyata. Oleh  karena itu,  kata Murdoch,  kita bisa  menyaksikan bagaimana sebuah cerita  menegangkan atau  filem yang  sentimental dengan  mudah bisa  merangsang fantasi  pribadi  para  pembaca atau  penonton.  Pornografi  adalah contoh  yang ekstrim dari seni tersebut.

Namun dipertanyakan oleh  Bryan Maggee apakah  kritik semacam itu  hanya berlaku untuk  seni  yang  buruk.  Bagaimana  halnya  dengan  seni  yang  baik? Menjawab pertanyaan ini, Iris  Murdoch mengatakan bahwa  seorang penikmat seni  bisa saja menggunakan hasil  seni untuk  melayani tujuannya  sendiri, dan  hanya seni yang bagus  sanggup  menolak tujuan-tujuan  yang  tidak baik  dengan  lebih berhasil. Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan citra  (image) yang  pornografis, padahal  karya seni  yang dipamerkan  di sana barangkali tidak semuanya  bisa menimbulkan citra  pornografis. Dan karena  itu, kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya  bahwa pornografi mendatangkan akibat yang  benar-benar merusak dan memerosotkan  nilai seni. Dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai,  seperti yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.

Lalu karya  seni bagaimana  yang dinilai  baik oleh  Murdoch? Saya kira, katanya menerangkan, karya seni yang baik  adalah karya seni yang mengandung  imajinasi, bukan  fantasi.  Karya  itu hendaknya  mampu  mematahkan  kebiasaaan kita  untuk berfantasi, dan  sekaligus mendorong  kita berusaha  untuk mendapatkan pandangan yang benar tentang hidup dan  kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil  melihat kenyataan dunia  yang luas  ini, karena  pandangan kita  dibutakan oleh  obsesi, kekhawatiran, rasa iri,  kejengkelan dan ketakutan.  Kita membangun dunia  kecil kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya. Seni yang bagus, karya seni  yang besar,  kata filsuf  wanita itu  pula, adalah  karya seni  yang bersifat  membebaskan,  yang  memungkinkan kita  untuk  melihat  dan mendapatkan kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kupuasan kita akan diri kita  sendiri. Karya  sastra  yang  baik,  tambah Murdoch,  adalah  karya  sastra  yang sanggup mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita  menaruh perhatian kepada  orang lain  serta masalah-masalah  lain, yang  sanggup membuat kita  bertenggang  rasa  dan  lapang  dada.  Dikatakannya  pula,  bahwa   dengan berpandangan demikian, bukan berarti dirinya hanya menilai seni semata-mata dari sudut  pendidikan serta  faedahnya saja.  Seni lebih  luas dari  gagasan-gagasan sempit  seperti itu,  tegas Murdoch.  Plato setidaknya  juga berpendapat  betapa pentingnya seni itu  dalam kehidupan manusia.  Dan Plato sekaligus  mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik tentang itu.

Iris  Murdoch  menilai  para  filsuf  secara  keseluruhan  tidak sungguh-sungguh berusaha menulis dengan baik tentang seni karena mereka menganggap seni  sebagai masalah kecil. Dalam pada itu Magee berpandapat bahwa tidak seperti hampir semua filsuf lainnya,  filsuf Perancis  Shopenhauer menilai  seni sebagai  titik pusat kehidupan manusia, dan sang filsuf  berbicara secara mendalam mengenai hal  itu. Memang benar, kata Murdoch, Schopenhaeur memang bertikai pendapat dengan  Plato. Ia bahkan memutar  balik pandangan Plato  tentang seni. Schopenhaeur  mengatakan bahwa seni menguakkan cadar  atau kabut subyektivitas, menangkap  arus pancaroba kehidupan, dan membuat kita bisa melihat dunia nyata serta menghayati keindahan. Ia menilai seni sebagai kegiatan kecendekiaan, aktivitas moral yang tinggi, satu usaha untuk  mengatasi diri  dan melihat  dunia. Sekalipun  demikian, ditegaskan oleh  Murdoch bahwa  Schopenhauer hanyalah  satu perkecualian  di kalangan  para filsuf yang benar-benar mencintai dan menghargai seni.

Dan untungnya,  ujar Murdoch,  seniman tidak  terlalu banyak  memperhatikan para filsuf. Filsafat terkadang bisa merusak  seni. Filsafat bisa membuat orang  buta terhadap beberapa  jenis seni,  atau hanya  mampu menghasilkan  jenis-jenis seni tertentu. Pendapat Murdoch  ini dikuatkan oleh  Bryan Magee dengan  mengemukakan contoh  justru di  dunia moderen.  Di antara  filsafat yang  merusak seni,  kata Magee, adalah Marxisme. Menurut teori Marxis, seni memiliki satu peranan khusus, yakni menjadi alat atau instrumen dari revolusi sosial.  Semua hasil seni Marxis itu, seperti dalam bentuk novel,  sandiwara, lukisan, seni rupa dan  sebagainya, dinilai Magee sebagai sampah. Alasannya, penciptaan seni Marxis itu sama  sekali tidak digerakkan oleh dorongan seni yang murni.

Dalam  pada itu  Murdoch menolak  anggapan bahwa  tugas seorang  seniman adalah melayani  atau mengabdi  kepada masyarakat.  Marxis, kata  Murdoch, beranggapan demikian:   tugas   seorang  seniman   mengabdi   kepada  masyarakat,   meskipun dikatakannya pula sudah lama timbul pertikaian pendapat mengenai hal itu. Segera setelah seorang pengarang  berkata kepada dirinya  sendiri, kata Murdoch,  bahwa saya  harus  mengubah  masyarakat  melalui  tulisan-tulisan  saya,  maka   besar kemungkinan pengarang  itu akan  merusak karya-karyanya.  Tapi apakah pernyataan Murdoch yang terakhir ini bisa  berlaku untuk Charles Dickens misalnya?  Charles Dickens salah seorang pengarang  besar Inggris dengan tujuan-tujuan  sosial yang murni. Ia  tidak  diragukan  lagi telah  berhasil  mendatangkan,  melalui karya karyanya,  pengaruh sosial  yang luas.  Dickens, kata  Murdoch, memang  berhasil berbuat banyak hal. Ia misalnya berhasil sebagai pengarang besar yang imajinatif dan seorang  kritikus sosial  yang kukuh  dan lantang.  Namun hal ini disebabkan oleh karena adanya berbagai skandal dalam masyarakat. Dickens sangat berhubungan erat dengan kegaduhan serta perubahan sosial yang secara amat mendalam  menjerat imajinasinya.  Dickens menjadi  pengarang besar berkat  kemampuannya menciptakan perwatakan  para  pelakunya,  di samping  karena  kedahsyatan  imajinasinya yang sedikit saja berkaitan dengan pembaharuan atau perubahan sosial.

Dengan  mengatakan itu,  Murdoch tetap  berkeras untuk  tidak beranggapan  bahwa seniman, atau sentengah seniman, mengemban satu tugas besar terhadap masyarakat. Seorang warga negara memang memikul tugas kemasyarakatan, dan seorang  pengarang memang mungkin kadang-kadang  merasa punya keharusan  menulis sebuah artikel  di surat kabar untuk membujuk atau meyakinkan masyarakat, namun itu merupakan  satu kegiatan  yang  lain sifatnya.  Kewajiban  seorang seniman  adalah  kepada seni, mengungkapkan kebenaran melalui media seni yang dipilihnya. Tugas utama  seorang pengarang adalah menciptakan karya-karya sastra sebaik yang dapat  dilakukannya, dan ia harus berusaha untuk dapat melaksanakanya. Sebuah karya teater yang penuh propaganda  dan bersikap  acuh tak  acuh terhadap  seni, mengandung  kemungkinan menjadi sebuah pernyataan yang  menyesatkan, walaupun karya teater  itu diilhami oleh sekian  prinsip yang  baik. Apabila  seni yang  betul-betul seni  dijadikan sebagai tujuan, kata Murdoch lebih lanjut, maka keadilanlah yang harus dijadikan tujuan utama.

Sebuah  tema  sosial yang  ditampilkan  melalui satu  bentuk  karya seni,  besar kemungkinan  akan  menjadi lebih  jelas  ditangkap maksudnya  walaupun  tema itu barangkali  kurang mengandung  daya untuk  meyakinkan masyarakat.  Dan seniman, sembarang  seniman, boleh  saja secara  sambil lalu  melayani masyarakat  dengan mengungkapkan  hal-hal yang  tidak diperhatikan  atau difahami  oleh masyarakat tersebut. Dalam setiap masyarakat,  kata Murdoch, terdapat propaganda,  memiliki kemungkinan-kemungkinan   propaganda,   sehingga   kemampuan   untuk  membedakan propaganda ini, termasuk usaha melestarikan kesucian serta kemandirian penerapan praktek-praktek seni adalah penting sekali. Satu masyarakat yang baik,  demikian Murdoch, adalah masyarakat di mana  para senimannya bisa melakukan berbagai  hal yang berlainan. Masyarakat yang buruk, adalah masyarakat yang menindas kebebasan seniman karena  masyarakat itu  tahu bahwa  seniman bisa  mengungkapkan berbagai kebenaran.





Descartes, Rene
diterjemahkan oleh Heriyadi

Hukum-hukum Descartes

Dalam karyanya Discourse on Method, setelah mengkritik pendidikan yang masih didominasi oleh Scholasticism pada masa itu, ia memperkenalkan metode baru. Yang menurutnya harus menjadi dasar bagi seluruh pendidikan dan riset sains serta filsafat.

Hukum-hukum tersebut adalah :
·         Untuk tidak menerima suatupun sebagai benar jika tidak secara rasional    jelas dan dapat dibedakan;
·         Menganalisa ide-ide yang kompleks dengan menyederhanakannya dalam elemen yang konstitutif, dimana rasio dapat memahaminya secara intuitif;
·         Merekostruksi, dimulai dari ide yang simple dan bekerja secara sintetis ke bagian yang kompleks;
·         Membuat sebuah enumerasi yang akurat dan lengkap dari data permasalahan, menggunakan langkah-langkah baik induktif maupun deduktif..

Menurut Descartes ide tidak dating dari pengalaman, akan tetapi intelektual menemukan dalam dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa hanya ide-ide inilah yang valid dalam ranah realitas. Jadi 'ke-konkret-an' atau validitas obyek dari sebuah ide tergantung dari kejelasan dan pembedaan itu sendiri.

Metafisika Descartes

Metode Descartes dalam metafisika dimulai dari pencariannya atas segala sesuatu yang 'jelas' dan 'berbeda', dan dari sinilah dia memulai pemikiran deduktifnya. Untuk memulai dengan pijakan yang kuat dia memperkenalkan 'metode keraguan', keraguan yang akan menjadi titik awal datangnya kepastian. Keraguan ini berbeda dengan para skeptis yang ragu untuk tetap ragu.

Premis awal yang disusun oleh Descartes adalah "Saya ragu" yang kemudian dilanjutkan dengan "Ketika seseorang ragu dia pasti berpikir". Dan dari sana muncul proposisi "Ketika saya berpikir maka saya ada" atau 'Cogito Ergo Sum'. Inilah yang menjadi landasan dari filsafat Descartes untuk menyatakan keberadaan Tuhan atau realitas primer (res cogitans).

Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes menggunakan tiga argument dasar yaitu :
·         "Cogito" telah memberikan kesadaran pada diriku sendiri atas keterbatasan diri dan ketidaksempurnaan keberadaan. Ini membuktikan bahwa aku tidak memberikan eksistensi pada diriku sendiri, dalam permasalahan tersebut, aku telah menyerahkan diriku pada sifat yang sempurna yang tidak kumiliki, dimana menjadi subyek yang diragukan.
·         Aku memiliki Ide kesempurnaan : jika aku tidak memilikinya, aku tidak akan pernah tahu bahwa aku tidak sempurna. Sekarang darimanakan datangnya ide kesempurnaan tersebut ? tidak dari diriku sendiri, karena aku tidak sempurna  dan kesempurnaan tidak datang dari yang tidak sempurna. Jadi datangnya dari Sesuatu yang Sempurna, yaitu Tuhan.
·         Analisis dari ide kesempurnaan melibatkan eksistensi dari Keberadaan yang Sempurna, bagai sebuah lembah yang termasuk dalam ide sebuah gunung, maka eksistensi juga termasuk dalam ide kesempurnaan tersebut.

Hal ini merupakan pembeda antara filsafat sebelum Descartes atau filsafat klasik dan filsafat modern. Dari Descartes filsafat dituntut dari 'ilmu keberadaan' (science of being) menuju 'ilmu pemikiran' (science of thought/epistimologi). Di mana filsafat ini lebih di dalami oleh Kant dan filsuf idealisme lainnya.

Karena pijakannya yang menggunakan rasio daripada pengalaman empiris maka Descartes dikenal sebagai filsuf rasionalis daratan bersama dengan Spinoza, dan Leibniz. Sementara tidak jauh dari jamannya dan tempatnya muncul tiga filsuf yang dikenal sebagai empiris-anglo saxon yaitu : Locke, Berkeley, dan Hume.

Dunia menurut Descartes mempunyai karakterisasi sebagai perpanjangan (res extensa), yang tidak terbatas. Dalam perpanjangan ini, kekuatan Tuhan menempati kekuatan atau gaya dan pergerakan, yang ditentukan oleh prinsip kausalitas absolut. "Dunia adalah sebuah mesin besar", dunia anorganik,
tumbuhan, binatang, dan bahkan manusia, sepanjang tubuhnya yang menjadi perhatian, adalah mesin yang diperintah oleh hukum pergerakan kausalitas. 

Kritik terhadap Filsafat Descartes

Filsafat rasionalis Descartes yang mengandalkan rasionalitas mengabaikan pengalaman empiris sebagai dasar kebenaran, hal inilah yang ditolak oleh filsuf empirisme, yang pada waktu hampir bersamaan tumbuh di Inggris. Filsafat empirisme mengatakan bahwa bukanlah rasio yang menyusun kebenaran, akan tetapi pengalamanlah yang nantinya membawa manusia dalam kebenaran.

John Locke, salah satu filsuf empirisme mengatakan bahwa manusia itu seperti tabula rasa yaitu kertas putih yang nantinya akan ditulisi dengan pengalamannya di dunia nyata. Dan inilah yang bertolak belakang dengan filsafat rasionalisme terutama Descartes.

Setelah empirisme kritik timbul dari Spinoza, salah satu filsuf rasionalis yang berada di Belanda. Dengan pantheismenya dia membantah dualisme antara pemikiran dan tubuh yang dikemukakan oleh Descartes.

Kritik yang sangat tajam justru disampaikan oleh Kant dalam karyanya "Critique of Pure Reason", di sini kant mengatakan bahwa kebenaran tidak dating dari rasio murni atau empiris murni melainkan gabungan dari keduanya yang dibedakan atas a priori dan a posteriori.

Beberapa yang masih menjadi perdebatan tentang filsafat Descartes adalah metodenya yang meragukan segala sesuatu. Dari keragu-raguannya yang meragukan segala hal bahkan dia hamper mengatakan bahwa semuanya salah, dia mengajukan premis di mana dia memiliki ide tentang Tuhan sebagai keberadaan sempurna. Problematika ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan hangat. Yang menjadi sorotan adalah inkonsistensi yang dilakukan Descartes dalam metodenya. Ketika menyatakan bahwa segalanya diragukan, pada saat yang sama dia memakai anggapan-anggapan rasio umum dan secara terus-menerus dia pergunakan. Seperti dalam 'Cogito Ergo Sum' yang menggunakan kontradiksi ini, dimana Descartes menempatkan 'berpikir' dan 'ragu' sebagai bukti keberadaannya atau eksistensinya. Karena pada pokoknya Descartes berpikiran bahwa tidak mungkin berpikirdan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis dapat terjadi bersamaan. Seharusnya ketika dia meragukan segalanya berpikir dan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis bisa saja terjadi dalam waktu yang bersamaan. Sehingga pernyataan nya tentang 'Cogito Ergo Sum' tidak memiliki nilai obyektif yang real.

Kontradiksi pada pemikiran Descartes ini berakibat munculnya hasil yang ganda dalam setiap karya filsafatnya. Seperti dalam pembuktian keberadaan Tuhan, sekaligus Descartes membuktikan bahwa eksistensi Tuhan itu sendiri tidak mungkin. Karena dengan metode keraguan yang menjadi landasan berpikirnya, maka seluruh karya filsafatnya diragukan secara fundamental dan inkonsisten.

Ketertarikannya pada alat mekanik pada waktu itu membuat Descartes sangatterinspirasi oleh cara kerja alat-alat tersebut sehingga dia pun mengatakan bahwa dunia merupakan sebuah mesin besar yang bergerak di bawah hukum-hukum pergerakan kausalitas universal. Efek dari filsafatnya ini adalah termekanisasikannya seluruh aspek hidup manusia yang kemudian hari dikritik oleh para pemikir postmodern seperti Foucault, Lyotard, dan Marcuse. Akan tetapi dari semua kelemahan yang ditemukan dalam karyanya tersebut, Descartes merupakan pionir dalam filsafat modern yang berjasa bagi tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat modern.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar