Jumat, 07 Desember 2012

Minggu, 30 September 2012

Filsafat Ilmu


Filsafat Ilmu
Teori Pengetahuan Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ? Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi. Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.  Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah). Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan

EPISTEMOLOGI SUHRAWARDI DAN ALLAMAH THABATHABAI, SEBUAH PERBANDINGAN *) Oleh : Mas’oud Oumid, Iran


EPISTEMOLOGI SUHRAWARDI DAN ALLAMAH THABATHABAI,
SEBUAH PERBANDINGAN *)
Oleh : Mas’oud Oumid, Iran

Abstrak

Penghulu mazhab Iluminasi dalam dunia filsafat (Syaikh AL-Isyraq) serta Allamah Thabathaba’i, adalah dua orang filosof  yang dianggap satu mazhab. Kedua filosof ini membicarakan wilayah dan tema filsafat yang sama. Namun demikian, tentu saja, kesamaan pandangan di antara mereka bukan hanya diantara kedua filosof ini saja, tetapi juga dengan filosof-filosof lainnya yang pernah disebutkan dalam sejarah pemikiran filsafat. Akan tetapi dari sudut pandang yang lain, Suhrawardi dan Allamah Thabathaba’i dapat diberikan predikat sebagai pemikir yang besar dan berpengaruh dalam dunia filsafat.
Kedua filosof besar ini dapat disebut sebagai peletak dasar sebuah mazhab pemikiran (mu’assis). Wacana pemikiran filsafat setelah masa kedua filosof ini mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan filosof kontemporer saat ini banyak merujuk kepada keduanya yang telah meletakkan sebuah dasar pemikiran filsafat yang sangat kuat. Penjelasan pemikiran filsafat yang adiluhung serta metode yang kreatif dari kedua filosof besar ini, telah memberikan ilham dan menjadi referensi yang sangat bernilai bagi filosof-filosof yang datang setelahnya.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran dan memperbandingkan bagian-bagian epistemologi tertentu dalam pemikiran dan filsafat kedua filosof besar ini. Hal itu dilakukan untuk, selain memperlihatkan prinsip-prinsip epistemologi yang mereka anut, juga untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan pandangan mereka dalam bidang epistemologi tersebut.

1.      Defenisi Ilmu

Para filosof Islam menganggap bahwa ilmu, kesadaran dan ma’rifat, adalah bagian dari konsepsi bukti keberadaan diri, yang bebas dari genus logis dan differensia. a) Akan tetapi mereka tetap menganggap, bahwa karena ketiga elemen ini juga tetap harus dijelaskan secara filosofis, maka mereka akhirnya memberikan penjelasan filosofis dan analitis ketiga elemen tersebut ketika membahas topik ilmu. Dalam mendefenisikan ilmu, Suhrawardi mengatakan:

‘Ilmu adalah kehadiran sesuatu di dalam diri, yang bebas dari materialitas. Dengan kata lain, ‘ilmu adalah kehadiran sesuatu yang bebas dari materialitas di dalam diri; akan tetapi defenisi ini tidak bisa dianggap sebagai defenisi yang paling sempurna. Alasan ketidaksempurnaan ini adalah karena adanya persepsi, baik persepsi tentang diri, maupun persepsi tentang sesuatu yang lain (selain diri).(1)
belum terisi....
belum Terisi....
belum Terisi....
belum terisi......